Islamic Education
DOI: 10.21070/ijis.v4i0.1577

Ismail Raji Al-Faruqi's Concept of Islamization of Perspective Science and Its Relevance for Islamic Education Curriculum


Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Prespektif Ismail Raji Al-Faruqi dan Relevansi Bagi Kurikulum Pendidikan Islam

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Raji Al-Faruqi Kurikulum Pendidikan Islam

Abstract

This article aims to add scientific references about the concept of Islamization of Ismail Raji Al-Faruqi's perspective of science and its relevance to the Islamic education curriculum, so that later if anyone looks for references on the concept of Islamization of Ismail Raji Al-Faruqi's perspective of science, there can be more, thus can make it easier for readers. The type of research used is library research where the data is obtained from the literature using a philosophical approach. The results of the study found that Ismail Raji Al-Faruqi's concept of Islamization of science is with 12 active steps so that it is hoped that there will be no dichotomy. And the relevance of Ismail Raji al-Faruqi's thoughts for the Islamic education curriculum can be seen in three meaningful points which are philosophically stated so that there is relevance for the quality of the Islamic education curriculum.

Pendahuluan

Ilmu ialah perihal yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Allah meletakkan ilmu bagaikan perihal yang tidak bisa ditinggalkan, Apalagi perintah awal yang ada pada Al- Quran merupakan ajakan kepada manusia menekuni ilmu yang diawali dengan membaca. Ilmu bermanfaat bagaikan mesin yang menggerakkan pemikiran serta kegiatannmanusia. Besar martabat manusia atas Allah didetetapkan dari amal ibadahnya. Ketika beramal, manusia tidak bisa terlepas dari kontrol serta kemampuan dalam penguasaan ilmu yang baik dan juga benar..Nabi Muhammad SAW dan generasissetelahnya senantiasa menekankan untuk selalu peningkatan tradisikkeilmuan.

Dunia Islam sempat menggapai masa kecemerlangan pada bidang sains, teknologi, serta filsafat. Persisnya ketika Dinasti Abbasiyah memerintah dan berkuasa kurang lebih abad-8 hingga abad-15. Kala itu sarjana muslim jadi jembatan serta perantara untuk perkembangan ilmu pengetahuan diera modern. Berkat perantara Islamlah yang menjadikan ilmu-ilmu pengetahuan menjadi merasakan sebuah transmisi, diseminasiiisertapproliferasi kedalam duniaaBarat sehingga menunjang timbulnya masa Renaisans yang ada di Eropa. Dari dunia Islamlah kaum barat menemukan jalan dalam mengkaji serta meningkatkan ilmu-ilmu pengetahuan modern.[1]

Para sarjana muslim pada abad pertengahan memberikan banyak sumbangan dalam memajukan bebagai ilmu-ilmu pengetahuan. Banyak dari sarjana-sarjana Islam yang menjadi ahli diberbagai bidang, seperti menjadi ahli ilmu bumi, matematika, kimia, bidang kedokteran dan lain sebagainya. Mereka juga meramaikan berbagai disiplin-disiplin ilmu pengetahuannYunani, serta memperkuat berbagai dasar dan memperluas jangkauan terhadap berkembangannya ilmu pengetahuan yang modern.[2]

Menjelang abad 21 ada hal yang menarik, kemajuan Barat telah menjadi magnet bagi perkembangan berbagai negara. Kemajuan mekanis selanjutnya adalah keberadaan yang tak terbatas. Barat berubah menjadi simbol bangunan abad ke-21. Barat dapat membuat penemuan-penemuan baru yang sangat maju diberbagai bidang sains. Majunya sains Barat tidak terlepas dengan energi serta upaya negara Barat itu sendiri dalam membangun wawasannya, yang di luar dugaan juga berkontribusi sangat luar biasa terhadap kemajuan keilmuan dunia Islam.[3]

Kemajuan ilmu pengetahuan saat ini yang diciptakan oleh Barat telah memberikan dampak yang luar biasa dalam perkembangan ilmu. Padahal, kemajuan ilmu pengetahuan yang diciptakan Barat juga memiliki konsekuensi negatif bagi keberadaan manusia, khususnya bagi umat Islam. Sains saat ini dikumpulkan dan dibuat di atas dasar sekuler, khususnya mengisolasi agama dari sains. Sekularisme itu sendiri memiliki makna, umum atau material (tidak ketat atau bersifat dunia lain). Barat menganggap bahwa sains netral, karenanya tidak ada suatu hal yang boleh ikut campur, termasuk agama. Sains modern kaum barat yang gersang akan nilai-nilai agama sangat tidak sinkron dengan ajaran-ajaran agama yang selalu mengedepankan syariat. Sebab Islam ekstensif, seluruh aktivitas memiliki aturan yang sudah ada ketentuannya termasuk pada bidang keilmuan. Sehingga jika umat Islam mengakui sains Barat begitu saja tanpa ada pertimbangan, maka akan berdampak negatif bagi kehidupan.[4]

Hal semacam ini juga mempengaruhi pendidikan Islam. Pendidikan Barat saat ini yang memang menempatkan penekanan yang lebih terhadap rasionalitas akal dan menganggap kualitas nilai agama tidak begitu berarti. Pengajaran Islam di negara-negara Muslim telah dipukul oleh kerangka kerja yang diperoleh dari Barat. Ini terjadi karena pemikiran Barat pada dasarnya diambil dan diterapkan, tanpa dorongan untuk menyesuaikan diri. Dengan tujuan agar yang ada bukanlah harmonisasi, melainkan penyuluhan.

Oleh Sebab itu, pada konferensi 1 (pertama) Di Mekkah tahun 1979 yang menganjurkan dibuatnya konsep kurikulum terkini atas dasar pengelompokan terkini “new classification” mengenai ilmu pengetahuan. Rapat ini menyangkal pengelompokan yang diiringi di Eropa serta Amerika, yang setelah itu diimport ke negara- negara mukmin.[5]

Menurut Al-Faruqi, kurikulum pendidikan di negeri muslim yang cenderung di desak mengalami 2 kurikulum yang berbeda- beda ataupun lebih cermatnya berlawanan yaitu yang Islami serta bagian yang modern, mesti segera diakhiri. Sebab aplikasi kedua bagian kurikulum itu nyatanya selama menghasilkan situasi yang beku, karena bagian kurikulum yang Islami tetap tidak mengalami perubahan dan progresivitas, bahkan sebagiannya lebih terlihat konservatif dan bernuansa kepentingan pribadi. Sedangkan pada bagian kurikulum yang lain (modern curriculum) direncanakan untuk tidak sempat berkaitan dengan kenyataan serta kemodernan, sehingga pada tataran outputnya tidak merupakan saingan bagi alumnus dari lembaga- lembaga sekuler. Sementara itu pada tataran hipotesa-filosofis, sudah lumayan nyata dikemukanan sebagian prinsip pokok rancangan kurikulum Islam yang bernafas “integritas” yang dikemukakan para pemikir dan ilmuwan muslim

Untuk mengalahkan masalah dualitas tersebut, peneliti abad ke-20 benar-benar mengajukan rencana untuk menegakkan kembali gagasan pendidikan Islam sehingga persoalan pendidikan semacam dualitas atau dikotomi tersebut menjadi berkurang dan tidak ada akan terjadi. Pemikiran atau gagasan tersebut adalah Islamisasi ilmu. Islamisasi adalah reaksi atas perkembangan Barat yang bersifat sekuler. Salah satu pengagas Islamisasi Ilmu pengetahuan adalah cendekiawannserta filosof yang muslim yakni IsmailaRajiaal-Faruqi. Beliau ini lahirapada tanggala1 Januaria1921, diaJaffa,aPalestina. Iadseorangrpakar pada bidang disiplin filsafat serta pada perbandinganaagama.[6]

Bagi al-Faruqi, Pengetian Islamisasi ialah usaha dalam mendefinisikan ulang, merancang dan memikirkan kembali argumen-argumen dan rasionalisasi yang berkenaan dengan data tersebut, menimbang kembali kesimpulan dn tafsiran, menimbang ulang tujuan-tujuan serta melaksanakan semua itu dengan sedemikian rupa sampai dengan disiplin-disiplin ilmu tersebut dapat memperbanyak wawasan Islam serta bermanfaat bagi cita-cita umat Islam. Serta untuk menuangkan kembali totalitas khazanah wawasan penganut khalayak bagi pengetahuan Islam, tidaklah kewajiban yang mudah yang wajib dialami oleh cendikiawan- cendikiawan serta pemimipin- pemimpin Islam dikala ini. Sebab seperti itu, dalam melandingkan ide, gagasan, pemikiranya mengenai Islamisasi ilmu, al-Faruqi meletakan “prinsip tauhid” sebagai konsep pandangan, serta metodologi dan metode hidup umat Islam.[7]

Merujuk pada pemaparan latar belakang tersebut, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji gagasan Islamisasi pengetahuan prespektif Ismail Raji Al-Faruqi dan mencari pentingnya pertimbangan pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi dengan kurikulum pendidikan pendidikan Islam.

Metode Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini, ialah penelitian kepustakaan (Library Research), yakni penelitian dengan berpusat pada pembahasan kepustakaan, analisis yang dilakukan dengan mengikuti dan mengkaji tulisan atau bahan pustaka tersebut.[8] Kemudian, untuk pendekatan dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan ialah pendekatan filosofis. Pendekatan filosofis ialah pendekatan dalam analisis dengan menggunakan pemikiran, serta serta logika dan argument-argumen.[9] Dalam menganalisis data yang didapatakan dengan menggakan metode deskriftif, metode induktif, dan metode historis.

Hasil dan Pembahasan

Secara umum, yang dimaksud oleh al-Faruqi bahwa Islamisasi ilmu sebagai reaksi positif kepada kenyataan pegetahuan-pengetahuan yang modern, dengan sifat yang sekularistik di satu bagian, serta Islam dengan sifat yang sangat religious di bagian yang lain. Dalam kerangka bentuk pengetahuan-pengetahuan terkini yang utuh, dan integral tanpa adanya pembelahan satu sama lain. Adapun dengan lebih detail, tujuan-tujuan yang dimaksud yakni;

a. Kepiawaian dalam menguasai bidang keilmuan modern

b. Kepandaian pengetahuan khazanah peninggalan Islam.

c. Merancang agar relevansi Islam untuk merelasikan antar disiplin ilmu modern.

d..Mengkontruksi dan memadukan ajaran serta khazanah peninggaln Islam dengan cara inovatif antar keilmuan modern.

e..konseling gerakan pandangan Islam ke jalan-jalan yang menggapai pemuasan pola hukum ketetapan Allah.

Dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, al-Faruqi menata 12 tahap dengan cara bersambungan wajib ditempuh,[10] yakni:

  1. Kemampuan penguasaan ilmu modern, kemampuan spesifik. Pada tahap yang awal ini, disiplin ilmu era modern wajib dipilah jadi, prinsip- prinsip, tata cara, kategori-kategori, tema-tema serta problema. Penguraian itu wajib terkonsep daftar isi suatu kitab kajian (pelajaran) yang berhubungan dengan aspek metodologi disiplin-disiplin ilmu.
  2. Peninjauan disiplin-disiplin ilmu. Dalam tahap ini, tiap disiplin-disiplin ilmu modern wajib disurvei serta ditulis dalam bentuk rancangan (desain) mengenai asal-usul, kemajuan serta perkembangan metodologinya, besarnya cakupannya serta pemberian pandangan yang sudah diserahkan para utamanya.
  3. Kemampuan khazanah Islam, suatu antologi. Pada langkah ini, perlu dicari hingga sepanjang mana khazanah Islam memegang serta mangulas subjek disiplin ilmu modern tertentu. Tujuannya supaya bisa ditemui relevansi di antara khazanah barat serta Islam. Sebab banyak ilmuan muslim lulusan barat tidak memahami khazanah Islam itu sendiri, setelah itu mengangap bahwa khazanah keilmuan Islam tidak mangulas disiplin ilmu yang dipelajari.
  4. Kemampuan khazanah ilmiah Islam tahap analysis. Langkah ini diadakan kepada khazanah Islam dengan latar belakang historis serta hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan. Uraian asal usul ini bisa menegaskan bermacam wawasan pengetahuan Islam itu sendiri. Tetapi, uraian ini tidak dapat dicoba dengan cara asal- asalan. Wajib terbuat catatan urutan prioritas, serta yang sangat penting ialah bahwa prinsip-prinsip utama, permasalahan utama serta tema-tema, ialah tajuk-tajuk yang memiliki relevansinya pada kasus era saat ini wajib menjadi target penting riset serta pendidikan Islam.
  5. Determinasi relevansi Islam yang khas kepada disiplin bidang keilmuan. Pada langkah ini, hakekat disiplin ilmu modern bersama tata cara dasar, prinsip, tujuan, hasil capaian serta seluruh keterbatasannya, seluruhnya dihubungkan dengan khazanah Islam. Sedemikian itu pula relevansi-relevansi khazanah Islam khusus pada tiap- tiap ilmu wajib diturunkan dengan cara logis dari kontribusi mereka.
  6. Evaluasi kritis kepada disiplin keilmuan modern serta tingkatan kemajuannya di era saat ini. Sehabis mendiskripsikan serta menganalisa bermacam bagian serta relevansi antara khazanah Islam serta Barat, saat ini melaksanakan analisa kritis kepada tiap-tiap ilmu diamati dari ujung Islam. Inilah tahap penting dalam Islamisasi ilmu.
  7. Evaluasi kritis kepada khazanah Islam serta tingkatan kemajuannya pada saat ini. Yang diartikan khazanah Islam merupakan al Quran serta Sunnah. Tetapi, ini tidak memberi rarti kalau kedua sumber itu wajib jadi pokok kritik ataupun evaluasi. Transcendence al Quran serta normativitas sunnah merupakan ajang yang tidak diperdebatkan. Namun, pemahaman mukmin kepada keduanya yang historis kontekstual bisa dipertanyakan, apalagi wajib senantiasa ditaksir serta dikritik bersumber pada prinsip- prinsip dari sumber utama itu.
  8. Survey kasus yang dialami umat Muslim. Sehabis dilakukannya analisa dengan cara kritis kepada keilmuan modern ataupun khazanah Islam, tahap selanjutnya merupakan melangsungkan survey kepada bermacam masalah internal di seluruh aspek. Dilema ekonomi, sosial serta politik yang dialami negeri Islam ini sesungguhnya tidak berlainan dengan fenomena gunung es secara kelesuhan akhlak serta intelektual yang terselubung. Agar dapat mengenali seluruhnya diperlukan survey empiris serta analisa kritis dengan cara konprehensif.
  9. Survey kasus yang dialami manusia. Beberapa dari pengetahuan serta visi Islam merupakan tanggung-jawabnya pada keselamatan umat muslim, namun juga berhubungan dengan keselamatan semua umat manusia yang ada di dunia dengan semua hiterogenitasnya, apalagi melingkupi semua alam semesta (rahmat li al-alamin). Sebab itu, ilmuan mukmin wajib terpanggil untuk ikut serta menghadapi masalah manusiawi serta membuat pemecahan masalah terbaik serupa visi atau tujuan Islam.
  10. Uraian sintesa inovatif dan sintesa. Ketika telah menguasai perkara yang dialami umat dunia, hingga waktunya mencari inovatif untuk bangun serta tampak sebagai protektor serta pengembang peradaban manusia. Sintesa inovatif yang cermat wajib terbuat di antara keilmuan Islam konvensional serta disiplin keilmuan modern untuk bisa menerobos kebekuan intelektual sepanjang kurun waktu yang telah terjadi. Khazanah keilmuan Islam wajib terpaut dengan output keilmuan modern serta wajib mulai mendorong barisan pengetahuan hingga batas pemandangan lebih jauh dari apa yang dapat diprediksikan oleh ilmu modern. Sintesa inovatif ini wajib sanggup membagikan solusi untuk permasalahan dunia, di samping permasalahan yang timbul dari impian Islam.
  11. Manifestasi kembali disiplin keilmuan modern ke dalam framework Islam. Bersumber pada wawasan- wawasan terkini mengenai arti Islam dan pilihan-pilihan inovatif untuk realisasi makna itu, hingga ditulislah buku-buku bacaan yang direkomendasikan untuk perguruan tinggi, dalam seluruh aspek ilmu. Inilah pucuk dari aksi islamisasi pengetahuan. Tetapi, penyusunan buku-buku bacaan ini sendiri bukan pendapatan akhir. Buku-buku bacaan sebagai prinsip untuk kemajuan berikutnya. Sebab itu, essei-essei yang mencerminkan dobrakan pemikiran untuk topik serta cabang- cabang ilmu wajib pula ditulis sebagai “wawasan latar belakang” ataupun “bidang relevansi” yang dari situ dinantikan hendak timbul pengetahuan terbaru Islam untuk tiap- tiap cabang ilmu modern.
  12. Penyebaran keilmuan yang sudah diislamkan. Setelah keilmuan modern dapat dituangkan dengan cara cakap dalam framework Islam, tahap terakhir merupakan megedarkan kreasi-kreasi itu ke semua umat Islam. Karena, kreasi-kreasi yang bernilai itu tidak akan mempunyai arti bila cuma dinikmati oleh sebagian orang saja ataupun dalam golongan terbatas.

Tidak hanya itu, dalam memesatkan rancangan Islamisasi, pertama, “perlu untuk dilakukan seminar-seminar serta konferensi dengan melibatkan banyak ahli pada bidang-bidang keilmuan, sehingga dapat untuk memecahkan berbagai persoalan-persoalan disiplin ilmu pengetahuan”. Kedua, “lokakarya untuk pembinaan staf”. Sehabis suatu buku-buku pelajaran serta catatan prolog ditulis dengan ketentuan 1 hingga 12 di atas, hingga dibutuhkan karyawan tutor yang berpengalaman. Para pakar yang membuat produk itu wajib berjumpa para karyawan tutor buat membahas dekat praanggapan tidak tercatat, dampak- dampak tidak tersangka dari filosofi, prinsip serta jalan keluar permasalahan yang dicakup buku itu. Tidak hanya itu, dalam pertemuan itu wajib pula dijajaki dekat permasalahan prosedur pengajaran yang dibutuhkan buat menguasai buku- buku yang diartikan, alhasil para karyawan tutor bisa tertolong dalam upayanya menggapai tujuan akhir selaku lebih berdaya guna.

Relevansi pemikiran dari Ismail Raji al-Faruqi bagi kurikulum pendidikan Islam dapat dilihat pada tiga point berarti yang dengan cara filosofis butuh dikemukakan dalam hubungannya dengan ajuan membenarkan mutu kurikulum pembelajaran muslim. Pertama, “kemestian umat muslim untuk menguasai khazanah klasik Islam yang lebih dikenal dengan religious sciences”. Kedua, “kemestian umat Islam agar mencermati dan menguasai khazanah keilmuan Barat yang modern, dengan upaya menelaah serta menguasai secara kritis dengan cara prespektif qur’ani”. Ketiga, “dari kedua pola khazanah tadi, kemudian komunitas umat muslim perlu untuk mengakomodir antara kedua khazanah tersebut untuk diadakan sintesis kreatif, sehingga hal tersebut bisa menjadi disiplin pelajaran Islam terpadu serta utuh, dan tidak adanya dikotomis, dengan nilai-nilai tauhid”.[11]

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terkait konsep Islamisasi ilmu pengetahuan prespektifIsmail Raji Al-Faruqi dan relevansi bagi kurikulum pendidikan Islam adalah kepiawaian disiplin ilmu-ilmu yang modern, survey disiplin-disiplin ilmu, kepiawaian khazanah Islam, kepiawaian khazanah Islam tahapan analisa, penetapan relevansi Islam yang khas kepada disiplin ilmu, penelitian kritis kepada disiplin keilmuan modern serta tingkatan perkembangnan pada waktu saat ini, evaluasi kritis kepada khazanah Islam serta tingkatan perkembangan dimasa kini, survei kasus yang dialami khalayak, analisa sintesa produktif, manifestasi kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam, penyebaran ilmu- ilmu yang sudah diIslamkan.

Relevansi pemikiran Ismail Raji al-Faruqi bagi kurikulum pendidikan Islam dapat dilihat pada tiga point berarti yang dengan cara filosofis butuh dikemukakan dalam hubungannya dengan ajuan membenarkan mutu kurikulum pembelajaran muslim. Pertama, “kemestian umat muslim untuk menguasai khazanah klasik Islam yang lebih dikenal dengan religious sciences”. Kedua, “kemestian umat Islam agar mencermati dan menguasai khazanah keilmuan Barat yang modern, dengan upaya menelaah serta menguasai secara kritis dengan cara prespektif qur’ani”. Ketiga, “dari kedua pola khazanah tadi, kemudian komunitas umat muslim perlu untuk mengakomodir antara kedua khazanah tersebut untuk diadakan sintesis kreatif, sehingga hal tersebut bisa menjadi disiplin pelajaran Islam terpadu serta utuh, dan tidak adanya dikotomis, dengan nilai-nilai tauhid”.

References

  1. Purwanto. Agus. Ayat-Ayat Semesta: Sisi-Sisi Al-Qur’an yang Terlupakan. (Bandung: PT Mizan Publika, 2015)
  2. Hasyim Asy’ari, “Renaisans Eropa Dan Transmisi Keilmuan Islam Ke Eropa,” JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam) 2, no. 1 (2018): 1.
  3. Nur Afifah Az Zahroh, “Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al-Faruqi Dan Relevansi Dengan Tujuan Pendidikan Islam,” Electronik Theses 15, no. 29 (2018): 77-88
  4. Zuhdiyah,a“IslamisasiaIlmu IsmailgRaji Al-Faruqi,”aTadrib Vol. Li No.a2 EdisiaDesembera2016, 9
  5. Syamsul Rijal, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Perspektif Ismail Raji Al-Faruqi Dan Implikasinya Dalam Pendidikan,” Jurnal Pemikiran, Pendidikan dan Penelitian Ke-Islaman 4, no. 2 (2018): 01–13.
  6. The Stature and Ismail Raji, “Ketokohan Ismail Raji Al-Faruqi (1921-1986).,” Islamiyyat : Jurnal Antarabangsa Pengajian Islam; International Journal of Islamic Studies 34 (2012): 27–32.
  7. Nanda Septiana, “Kajian Terhadap Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi Tentang Islamisasi Sains,” Journal of Islamic Education (JIE) 20, no. 1 (2020): 20–34.
  8. Ruslan, Rosady. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004)
  9. Anton Barker dan Ahmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. (Yogyakrta: Kambius, 1990) [10] Raji al-Faruqi, Ismail Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka. 1984)
  10. Abdurahmansyah.“Sintetis Kreatif Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Islam Ismail Raji al-Faruqi.” (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002)