Abstract
This research explores the intersection between empiricism and Islamic epistemology, focusing on the limitations of sensory perception in capturing reality. Although empiricism plays an important role in Islamic thought, its exclusive reliance on sensory experience limits the understanding of phenomena beyond perception. Through a comparative analysis of Islamic philosophical texts and empirical literature, this study reveals the compatibility of empirical inquiry with metaphysical insights in Islam. By advocating a holistic approach to acquiring knowledge, this research contributes to the broader philosophical discourse, emphasizing the synthesis of empirical methods with spiritual insights for a comprehensive understanding of reality.
Highlights :
- Empirical limitations: Highlighting the constraints of sensory perception in grasping reality.
- Compatibility of methodologies: Demonstrating the harmony between empirical inquiry and Islamic metaphysical principles.
- Synthesis of knowledge: Advocating for a holistic approach that integrates empirical methods and spiritual insights for a comprehensive understanding of reality.
Keywords: Empiricism, Islamic epistemology, Sensory perception, Metaphysical insights, Holistic approach
Pendahuluan
Dari mana/apa aku yang ada dalam tubuh kita ini mengetahui keberadaan dunia? Jawabnya melalui indera.
Ya, indera manusia memiliki peran yang sangat besar dalam mewujudkan interaksi antara aku dengan dunia eksternal. Indera manusia terdapat lima atau pancaindera. Pancaindera menjadi perantara untuk aku bisa mengakses berbagai fenomena yang bisa ditangkap olehnya.
Pancaindera itu adalah penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan; mata, telinga, hidung, kulit dan lidah.
Penglihatan memampukan kita mencerap dunia warna dan bentuk. Pendengaran membuat kita mengetahui suara. Hidung membuat kita bisa mencium bau. Perabaan memungkinkan kita untuk mengetahui suhu dan tekstur permukaan. Sedangkan pengecapan membuat kita mengatahui cita rasa.
Metode
Penelitian ini menggunakan analisis komparatif terhadap teks-teks filosofis utama dari tradisi empirisme Barat dan kesarjanaan Islam. Dengan menggunakan sumber-sumber utama seperti Al-Quran, Hadis, dan karya-karya filsuf seperti David Hume, penelitian ini berusaha untuk menggambarkan kontur epistemologi dari masing-masing tradisi dan mengidentifikasi titik-titik pertemuan dan perbedaan.
Hasil dan Pembahasan
Kehilangan salah satu dari pancaindera itu mengakibatkan seseorang terkurangi mekanisme pengindraannya, namun masih bisa ditutupi/di-cover oleh indera lain yang menguat.
Orang yang dinyatakan meninggal dunia, tidak akan mampu menggunakan kanal inderanya untuk mengakses dunia luar. Karenanya tidak heran jika orang tidur pun bisa dianggap “mati” karena tidak ada interaksi dengan dunia eksternalnya[1].
Dalam sebuah hadits menyebutkan Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk membaca doa saat bangun dari tidur, “Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da ma amatana wa ilahi nusyur,” dimana kita memuji sekaligus bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya telah mengembalikan kesadaran atau menghidupkan kita kembali setelah mematikan kita.
Tidur tersebut adalah sebuah kondisi “mati” yang mana manusia tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri. Tidur itu adalah kematian kecil, yakni dikarenakan seluruh pancaindera kita tidak berfungsi, terlepas ini bagian dari skenario peran dan fungsi ruh yang “menghidupkan dan mematikan” tubuh.
Aktivitas mengindera, yakni mempersepsi sekitar dengan perangkat indera kita, telah masuk dalam perdebatan filosofis yang sangat panjang. Di Barat, bahkan diskusinya telah berada pada posisi ekstrem, yakni menjadi kriteria kebenaran, yang terkenal dengan adagium “seeing is believing,” bahwa untuk membenarkan atau meyakini sesuatu maka keberadaannya harus terlihat oleh mata. Bahwa keyakinan harus didukung oleh fakta yang terindera.
Diyakini bahwa indera inilah satu-satunya pintu untuk dapat menangkap eksistensi yang ada di luar kita. Dalam bahasa Yunani pengalaman inderawi ini adalah emperia. Pemikiran atau paham ini terangkum dalam filsafat empirisme. Filsuf seperti John Locke dan David Hume berargumen bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi. Sesuatu itu dianggap benar, dalam pengertian eksistensinya, jika ia dialami oleh indera[2].
Implikasi dari pengertian ini luar biasa. Penganut paham empirisme akan menolak segala bentuk fakta yang tidak dapat diindera. Dalam konteks ini, penganut paham empirisme akan menolak pemahaman tentang metafisika, pengetahuan di balik fenomena (objek yang terlihat indera). Metafisika dianggap sebagai pengetahuan yang spekulatif karena objeknya tidak dapat diketahui secara pasti. Kepastian itu adalah melalui indera. Karenanya, mereka menolak eksistensi spiritual seperti Tuhan, apalagi malaikat dan ataupun jin serta setan.
Bahkan pada level kausalitas, hukum sebab-akibat yang secara masyhur mudah dipahami. Avant Garde paham empirisme David Hume, filsuf Skotlandia abad ke-18, memberikan bantahan keberadaannya. Hal ini karena kausalitas atau hukum sebab akibat tidak bsia diindera keberadaannya atau diamati secara langsung. David Hume menuliskan argumentasinya dalam dua bukunya A Treatise of Human Nature (1739-1740) dan An Enquiry Concerning Human Understanding (1748).
Menurut Hume, ketika kita menyaksikan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan, kita tidak benar-benar melihat “kekuatan” atau “koneksi” yang menyebabkan peristiwa pertama menghasilkan peristiwa kedua. Yang kita amati hanyalah keteraturan dan pengulangan dari peristiwa-peristiwa tersebut[3]. Sebagai contoh, dalam olah raga bola biliar, jika kita melihat bola A menabrak bola B dan bola B kemudian bergerak, kita hanya melihat bahwa peristiwa A dan peristiwa B terjadi secara berurutan, bukan hubungan kausal langsung antara keduanya.
Hume menekankan bahwa pemahaman kita tentang hubungan kausal bersifat terbatas dan didasarkan pada kebiasaan dan pengalaman, bukan pada observasi langsung atau pengetahuan murni. Pandangan Hume ini memiliki dampak besar pada perkembangan filsafat modern, khususnya dalam skeptisisme dan empirisme.
Islam memandang indera ini sangatlah penting. Segala bentuk aktivitas manusia tidak bisa dilepaskan dari pengalaman empiris. Dalam hal ibadah perlu melihat tanda-tanda alam seperti hilal untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa umat Islam memulai puasa bila telah melihat bulan dan mengakhiri puasa juga dengan melihat bulan.
Dalam konteks ini, pengalaman inderawi berperan penting. Sehingga diperlukan kecakapan dan kecermatan untuk melihat bulan secara kasat mata maupun melalui peneropongan. Namun kadangkala terdapat saksi yang berbeda pandangan satu sama lain dalam melihat hilal, sehingga diperlukan sumpah.
Fenomena alam ini memang terdapat anomali-anomali. Misalnya ketika melihat jalanan di siang hari yang terik akan terlihat seperti berair. Namun ketika didekati ternyata tidak ada. Demikian halnya dengan fenomena patahnya pensil yang terlihat dalam segelas air. Secara empiris memang orang akan melihat itu patah, meski sebenarnya tidak. Sehingga orang pun mengatakan appearance can be deceiving, bahwa apa yang tampak oleh mata bisa menipu.
Namun, “tipuan-tipuan” alam itu sebenarnya bisa diatasi. Selama seseorang tidak mempercayai seratus persen inderanya. Karena di balik atau di dalam alam ini terdapat hukum-hukum yang mengatur relasi atau pergerakannya, atau yang secara umum disebut sebagai hukum alam yang tidak kasat mata. Konsep hukum alam ini dalam Islam diajarkan bahwa Allah menciptakan alam semesta dengan hukum yang teratur dan sistematis yang mengaturnya, dan manusia diajak untuk mempelajari, memahami, serta mengambil manfaat dari hukum-hukum alam tersebut[4].
Ada banyak ayat dalam al-Quran tentang alam semesta. Allah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, masing-masig begerak dalam garis edarnya (al-Anbiya’ :33) yang bergerak menurut perhitungan (ar-Rahman:5; az-Zumar: 5). Demikian juga dengan fenomena di Bumi tentang kapal yang berlayar (mengambang) di laut, turunya air hujan yang menghidupkan, tersebarnya hewan dan pergerakan awan yang dipengaruhi oleh langit dan bumi (al-Baqarah: 164).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa benda-benda langit seperti Matahari dan Bulan memiliki orbit yang tetap dan teratur, menunjukkan adanya keteraturan dalam ciptaan Allah. Pergerakan benda-benda langit dalam orbitnya menunjukkan kebijaksanaan dan kekuasaan Allah dalam menciptakan dan mengatur alam semesta[5]. Semua menjelaskan tentang hukum alam yang memang telah diciptakan Allah dengan perhitungan.
Demikian juga dengan argumentasi David Hume yang membantah pergerakan bola biliar, bahwa di balik pergerakan bola biliar tersebut ada hukum-hukum yang telah ditetapkan padanya[6]. Orang Islam meyakini terdapat hukum-hukum alam yang mengatur tentang pergerakan tersebut dan yang mengatur adalah Tuhan alam semesta.
Dalam pandangan Islam, penganut empirisme telah membatasi realitas hanya pada lima aspek yang ada pada indera. Padahal realitasnya, banyak hal yang tidak dapat ditangkap oleh indera, dan seringkali indera menipu. Empirisme ini membatasi eksistensi dunia “lain.” Dunia lain yang dimaksud di sini adalah dunia yang tidak dapat dicerap oleh indera.
Dalam hal ini, realitas dalam pengertian empirisme telah terbingkai hanya pada lima aspek indera. Ibaratnya menjaring ikan di laut. Ukuran jaring menentukan ukuran ikan yang akan ditangkap oleh jaring. Karenanya, ikan-ikan yang lebih kecil dari ukuran jaring dan atau ikan yang telalu besar dari ukuran keseluruhan jaring tidak akan tertangkap oleh jaring.
Namun, kembali kepada premis dasar kaum empirisme bahwa hanya indera yang menjadi ukuran kebenaran, sehingga menolak eksistensi adanya hukum alam dengan menggantinya dengan argumen bahwa itu terjadi adalah karena kebiasaan[7]. Dan, memang boleh jadi di sinilah kita kaum muslim berpisah dengan paham empirisme, karena indera bagi kaum Muslim hanyalah media untuk berinteraksi dunia eksternal dengan aku dan elemen lain dalam diri manusia. Wallahu’alam.
Simpulan
Artikel ini menyelidiki hubungan antara empirisme dan epistemologi Islam, menyoroti keterbatasan pengalaman sensorik dalam menangkap realitas. Sementara empirisme memiliki peran penting dalam pemikiran Islam, ketergantungan eksklusifnya pada pengalaman sensorik membatasi pemahaman fenomena di luar persepsi. Dengan menekankan sintesis antara metode empiris dan wawasan spiritual, artikel ini memberikan kontribusi bagi diskursus filosofis, menyoroti perlunya penelitian lanjutan untuk menjelajahi hubungan antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas dalam pemikiran Islam.
References
- Al-Quranul Karim.
- Al-Hadits.
- D. Hume, "The Philosophical Works of David Hume," vol. 1, Longmans, Green, and Company, 1874.
- A. Gupta, "Empiricism and Experience," Oxford University Press, 2006.
- D. E. Soles, "Locke’s Empiricism and the Postulation of Unobservables," *Journal of the History of Philosophy*, vol. 23, no. 3, pp. 339-369, 1985.
- E. Conee and R. Feldman, "Evidentialism: Essays in Epistemology," Clarendon Press, 2004.
- A. Wijaya, "Satu Islam, Ragam Epistemologi," IRCiSoD, 2020.