Abstract

This qualitative case study investigates the development of intellectual competence through dialogic learning at an Islamic boarding school. Employing participatory observation, the study explores the process of fostering intellectual competence through discussions within and outside formal learning activities, encouraging critical thinking towards diverse viewpoints, promoting confident expression grounded in literature, and active participation in scientific competitions. Results demonstrate that dialogic learning enhances students' critical thinking skills and encourages active engagement in scholarly pursuits, both locally and nationally. This research underscores the significance of dialogic pedagogy in nurturing intellectual competence within Islamic educational contexts, offering implications for fostering critical thinking and scholarly engagement in diverse educational settings.

Highlights :

  • Dialogic learning fosters critical thinking: Encouraging discussions outside formal activities cultivates a critical attitude towards diverse opinions.
  • Confidence in expression through literature: Instilling the courage to express opinions grounded in literature enhances intellectual competence.
  • Active participation in scientific competitions: Engagement in local and national competitions promotes scholarly pursuits and intellectual growth.

Keywords: Dialogic learning, Intellectual competence, Islamic boarding schools, Critical thinking, Scholarly engagement

Pendahuluan

Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tradisional, yang mana para peserta didiknya tinggal dan belajar bersama dibawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan “Kiai”. Pesantren juga merupakan lembaga pendidikan islam tertua yang merupakan sebuah produk yang mengandung keaslian budaya Indonesia [1], selain itu pesantren di percaya oleh masyarakat umum dapat menumbuhkan kepribadian yang positif melalui pembinaan. Sehingga perilaku yang diperbuat santri dapat terkontrol. Hal inilah yang menjadikan salah satu daya tarik pesantren bagi orang tua [2]. Salah satu kepribadian yang positif adalah karakter mandiri yang baik, dimana sikap mandiri siswa ditunjukkan dengan perilaku mandirinya terhadap orang lain, dimana siswa tidak mau melempar tugas dan tanggung jawab kepada orang lain [3], dan kepribadian yang berakhlak mulia, berbudi luhur, serta berperilaku baik pada kehidupan sehari-hari dalam sesama manusia, lingkungan dan Sang pencipta [4]. Namun di pesantren, pembinaan tidak hanya di lakukan untuk memupuk perilaku positif santri, melainkan mengembangkan beberapa kecakapan (skill) agar berdaya di masyarakat. Memperoleh keterampilan tertentu membutuhkan kompetensi intelektual yang tinggi.

Santri yang memiliki kompetensi intelektual yang tinggi dianggap memiliki potensi tinggi dalam menunjukkan hasil positif di lingkungan masyarakat dan diharapkan memiliki kualitas kerja yang tinggi dalam menuntut ilmu. Menunjukkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan yang dapat menentukan dan dibutuhkan di lingkungan masyarakat. Ditambah lagi pada zaman revolusi 4.0 yang serba otomatis sumber daya manusai yang tetap dibutuhkan yakni kompetensi non teknis meliputi kemampuan memecahkan masalah kompleks, berfikir kritis, kreatif, manajemen manusia, kemampuan berkoordinasi, memiliki kecerdaan emosional, membuat keputusan memiliki kemampuan negosiasi dan fleksibitas kognitif [5].

Masalah seputar hukum fiqih di masyarakat memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Oleh karena itu, pendakwah di desa maupun di kota harus memahami berbagai aspek teknis terkait. Dalam hal agama di lingkungan masyarakat, banyak hal yang sulit untuk diprediksi. Karena itu, para santri yang akan menjadi pendakwah harus dilengkapi dengan kemampuan berpikir secara kritis dan kemampuan memecahkan masalah dengan baik, agar dapat berperan efektif dalam masyarakat. Namun demikian, untuk menghadapi berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat, kemampuan literasi yang baik juga menjadi sangat penting bagi para santri. Hal ini memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan masyarakat secara lebih baik [6]. Literasi berperan sebagai dasar yang solid bagi kemampuan berfikir kritis dan pemecahan masalah yang baik, dan juga memastikan bahwa jawaban-jawaban yang diberikan oleh para santri dapat dipertanggungjawabkan [7].

Pembinaan kompetensi intelektual pesantren pada umumnya sangat lekat dengan sosok Kyai. Dimana kyai menjadi role model dalam aktifitas ibadah maupun aktifitas social [8]. Pembinaan seperti itu disebut pembelajaran monologis, yang mana pembelajaran hanya dilakukan satu arah dan berpatokan satu topik dalam pembelajaran, sehingga kompetensi intelektual santri tidak dapat diasah secara maksimal. Untuk meningkatkan kompetensi intelektual dibutuhkan pembelajaran yang mampu memikat santri berperan aktif dalam proses pembelajaran [9], Pembelajaran dialogis menjadi salah satu caranya. Dimana peran pendidik dan peserta didik setara atau sederajat [10], karena hubungan antara ustadz maupun ustadzah dan santri sangat berpengaruh, maka dari itu pendidik harus mampu menciptakan proses pembelajaran yang aktif sehingga interaksi pendidik dan peserta didik dapat berjalan dengan baik [11]. Di samping hubungan santriwati dan guru, kegiatan yang ada di pesantren sangat dibutuhkan untuk melatih mental para santri [12].

Pembelajaran dialogis merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang dibangun oleh ustadz atau ustadzah kepada santri baik didalam kelas maupun diluar kelas melalui diskusi dan tanya jawab sehingga membangun keingintahuan santri. Suasana pembelajaran dialogis sangat kental di Pesantren Putri Persatuan Islam (PERSIS) Bangil. Meskipun Pesantren Putri PERSIS Bangil akan memasuki usia satu abad, ia tetap eksis sebagai lembaga pendidikan islam yang berpegang teguh pada pemahaman dan pengamalan Al-Qur’an dan As-sunnah era digital saat ini. Salah satunya terlihat saat proses pembelajaran berlangsung, dimana terdapat salah satu santriwati maju kedepan untuk menyampaikan tema pembelajaran hari itu, sesudah santriwati didepan menjelaskan, satu persatu teman-temannya mulai mengangkat tangannya untuk bertanya, ada juga yang memberikan beberapa tanggapan serta pendapatnya yang bertolak belakang dengan apa yang disampaikan santriwati didepan sehingga terjadi dialogsasi diantara keduanya. Pembelajaran dialogis juga dapat dilihat ketika santriwati sedang istirahat, hubungan antara santriwati dengan ustadz-ustadzahnya sangat dekat bahkan tak jarang santriwati bercerita tentang masalah-masalah yang dihadapinya.

Penelitian dan publikasi tentang pembinaan kompetensi intelektual telah dikaji oleh para praktisi pendidikan maupun peneliti sebelumnya. Berikut hasil penelitian terdahulu, menurut Muslim meningkatkan kemampuan argumentasi pada pembelajaran fisika, Pelaksanaanya guru menyajikan salah satu peristiwa yang berkaitan dengan topik permasalahan yang akan dibahas. Selanjutnya siswadiberikan lembar kerja sesuai dengan prosedur TAP (Toulmin’s Argumen Pattern), lembar kerja yang diberikan berisi beberapa pertanyaan dan tugas untuk mengajukan klai, memberikan data dan bukti mengapasiswa tersebut mengajukan klaim tersebut, serta memberikan alasan yang mendukung data. Sumber argument harus dituliskan pada lembar kerja siswa. Tahap selanjutnya, diskusi argument kelompok, yang mana guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil. Setiap anggota kelompok melakukan diskusi tentang masing-masing klaim dengan disertai data, bukti dan alasannya. Dari hasil diskusi argumen yang dilakukan setiap kelompok dipilih hasil terbaik kemudian ditulis ulang untuk dipersentasikan didepan kelas. Tahap diskusi argumentasi kelas, guru memberikan kesempatan setiap perwakilan kelompokuntuk mempresentasikan argument kelompoknya. Siswa dari kelompok lain dapat menanggapi, mendukung dan menyanggah apabila terjadi perbedaan klaim, bukti dan data yang kuat. Tahap mediasi kelas, guru mengumpulkan argument disetiap kelompok dan membahas bersama-sama kelebihan dan kekurangan dari argument yang dikumpulkan. Guru mengarahkan diskusi siswa pada pembahasan argument dan memfokuskan analisis pada permasalahan yang tidak sama. Pada tahap ini, diperoleh argument akhir yang disepakati siswa. Pada tahap selanjutnya guru melakukan integrasi pengetahuan dengan cara mengajak siswa berdiskusi secara menyeluruh untuk memadukan beberapa informasi yang dikaitkan dengan materi yang dipelajari. Tahap terakhir, guru dan siswa mengambil kesimpulan bersama tentang hasil pembelajaran hari ini [13].

Mengembangkan potensi intelektual siswa, guru melakukan beberapa upaya dengan berpedoman pada kompetensi dasar dan indikator materi pembelajaran. Dalam proses pembelajaran guru harus memfungsikan semua bagian otak siswa mulai dari mengembangkan daya ingat siswa, berfikir kreatif, pengisian pada memori otak siswa, dan kemampuan dalam menganalisa suatu keadaan dan mengembangkan fungsi penalaran. Dimana siswa mampu mencipatakan ide-ide inovatif, memecahkan masalah secara rasional dan berfikir secara komprehensif [14]. Perkembangan kompetensi intelektual yang dimiliki oleh siswa tidak akan lepas dari tingkat kompetensi yang dimiliki oleh guru, karena hal ini sangat membantu siswa untuk memperoleh prestasi belajar siswa lebih maksimal. Tanpa adanya kompetensi yang baik maka dapat menghambat semangat peserta didik dalam belajar karena gurunya tidak mampu memahami keadaan dan kondisi peserta didik sehingga terkadang peserta didiknya kurang antusias dalam mengikuti proses pembelajaran [15].

Sedangkan, menurut Mulyatno dan Pradana, untuk mengetahui berbagai persoalan yang di hadapi peserta didik guru melakukan proses komunikasi dialogis yang intensif terhadap orang tua, seperti guru melibatkan orang tua dalam mengenali bakat anak serta menentukan model pembelajaran yang akan dipakai sehingga mampu mengembangkan bakat yang dimiliki oleh anak, guru melakukan sharing bersama secara berkala tentang perkembangan anak, guru melakukan komunikasi untuk selalu mendampingi peserta didik dalam menggunakan hp hanya untuk kepentingan belajar, guru melakukan komunikasi sesuai dengan jadwal keadaan keluarga [16].

Penelitian ini dilakukan untuk memotret proses pembentukan kompentensi intelekual pada pesantren, sehingga pesantren dapat mengimplementasikannya ditengah arus globalisasi yang terjadi saat ini. Disamping itu penelitian ini menitikfokuskan pada pembinaan kompetensi intelektual santri di pesantren melalui pembelajaran dialogis yang dilaksanakan di pesantren sehingga dapat membangun hubungan antara ustadz dan ustadzah.

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu, bagaimana pembinaan kompetensi intelektual serta pembelajaran dialogis di pesantren. Tujuan pada penelitian ini yaitu Menganalisis dan memahami pembinaan kompetensi intelektual santri melalui pola pembelajaran dialogis di Pesantren Putri Persatuan Islam (PERSIS) Bangil Pasuruan, dan Menganalisis dan memahami wujud pencapaian pembinaan kompetensi intelektual santri melalui pembelajaran dialogis di Pesantren Putri Persatuan Islam (PERSIS) Bangil Pasuruan..

Metode

Jenis penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Dimana peneliti berusaha mencermati realitas dan memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena sosial dan pola nilai yang terjadi secara dinamis dan alami. Subyek dalam penelitian ini ialah santri yang yang tercatat aktif belajar di pesantren putri persatuan islam (PERSIS) Bangil Pasuruan tahun pelajaran 2022-2023. Sumber data penelitian ini yakni, pimpinan pesantren (Mudir), adapun informasi lain sebagai data pendukung yakni, waka kurikulum, waka kesiswaan, waka HUMAS, ustadz dan ustadzah, santriwati, dan kepala asrama. Teknik pengumpulan data pada peneltian inimenggunakan jenis observasi pastisipatif pasif dimana peneliti terlibat langsung dalam mengamati kegiatan, kemudian hasil dari observasi dilanjutkan pendalaman menggunakan metode wawancara mendalam. Analisis data akan menggunakan model interaktif Miles and Huberman yang terdiri atas empat alur kegiatan yang bersamaan, yaitu: pengumpulan data, kondensasi data, display data dan verifikasi data [17]

Hasil dan Pembahasan

A. Pembahasan

Pembinaan di pesantren pada hakikatnya adalah hasil dari penggabungan keseluruhan rangkaian kegiatan pembinaan yang ada dalam pesantren dengan unsur-unsur saling memengaruhi dan terpadu menjadi satu kesatuan yang memiliki arah pada pencapaian tujuan yaitu membentuk karakter santri yang islami [18]. Pembinaan dibangun melalui pendekatan holistic yang melihat pendidikan sebagai bagian penting dari kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu, pendidikan pesantren di desain untuk menyentuh seluruh aspek kehidupan para santri. pembinaan yang dilakukan oleh pesantren tidak jauh berbeda dengan proses pengasuhan.

Pada pesantren, pengasuhan identik dengan merubah perilaku serta tingkah laku santri yang arogan menjadi rendah hati. Dimana banyak orang tua memilih menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren beranggapan bahwa, jika anak dididik dengan pedoman agama maka ia akan memiliki pedoman bagus dalam berpikir dan beperilaku sehingga tidak akan terpengaruh dengan pergaulan remaja yang negative dimasyarakat [19]. Pengasuhan pada Pesantren dalam mendalami ilmu agama menjadi tolok ukur orang tua dalam memilih Pesantren [20].

Pesantren Putri PERSIS merupakan salah satu pesantren tertua diantara 200 pesantren yang ada di Kabupaten Pasuruan. Meskipun menjadi salah satu pesantren tertua, Pesantren Putri tetap unggul sebagai lembaga pendidikan islam yang berpegang teguh pada pemahaman dan pengamalan al-Qur’an dan as-Sunnah. Di era yang serba digital seperti yang terjadi saat ini, Pesantren Putri PERSIS Bangil tetap konsisten dengan komitmen visi dan misi pendidikannya, yakni mencetak kader-kader islam yang berakhlak dengan kompetensi keilmuan bidang hukum islam. Pesantren PERSIS Putri Bangil memiliki kurang lebih 200 santri. Santri yang menempuh pendidikan di dominasi dari Kabupaten Pasuruan. Orang tua para santriwati memiliki pandangan modernis dalam islam. Sebagaimana pendapat Nuschosish Madjid bahwa orang memiliki pandangan islam yang berkemajuan dapat menerima suatu kebenaran-kebenaran yang baru dari orang lain, akan tetapi harus sesuai dengan pedoman Al-Qur’an dan Hadist [21].

Figure 1.Pintu masuk Pesantren PersisGambar

Figure 2.Halaman Pesantren PERSIS

Pesantren PERSIS Putri Bangil memiliki keunikan dibandingkan dengan pesantren lainnya. Salah satu ciri khasnya adalah hubungan yang erat antara santriwati dengan ustadz atau ustadzah. Hubungan ini bisa sebanding dengan hubungan kedua orang tua mereka sendiri. Bahkan, dengan ustadzah yang usianya tak jauh berbeda, mereka dianggap seperti kakak. Di pesantren lain, sikap mengawali interaksi antara santri dengan pengasuh, pimpinan atau guru mereka di tunjukkan dengan sikap santri yang tidak berani mengetuk pintu kantor pengasuh, pimpinan pesantren, atau guru dengan kata lain, mereka harus menunggu hingga keluar [22]. Namun, berbeda dengan santriwati PERSIS, mereka berani mengetuk pintu kantor semua tenaga pendidik di pesantren, namun tetap memperhatikan waktu dan masuk ke dalam kantor hanya setelah diberi izin. Santri di pesantren lainnya menunjukkan sikap menghormati kepada guru-guru mereka dengan gestur tubuh yang khas. Ketika berjabat tangan (salim), mereka akan merendahkan posisi tubuhnya lebih rendah dari posisi guru, lalu mereka akan menarik pelan tangan guru seakan-akan tangan kyai bisa masuk ke dalam tubuh mereka. Setelah itu, mereka mencium punggung tangan guru dua kali atau punggung tangan satu kali dan telapak tangan satu kali sebagai tanda penghormatan [23]. Tetapi, di PERSIS Putri, penghormatan terhadap ustadz dan ustadzah dilakukan dengan sewajarnya, di mana sikap tunduk saat berjabat tangan dengan menundukkan kepala, tetapi tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi. Hal ini karena santriwati di sana beranggapan bahwa manusia merupakan makhluk yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan, meskipun mereka adalah cucu kyai, ulama, atau memiliki gelar tinggi sekalipun. Menurut pandangan mereka, ilmu atau pengetahuan selalu berkembang seiring berjalannya waktu, dan penting bagi setiap individu untuk terus menuntut ilmu dengan baik.

Pendidikan di Pesantren PERSIS memiliki dua jalur yang berbeda. Pertama, untuk santri yang mulai dari Madrasah Tsanawiyah, mereka akan menempuh pendidikan selama enam tahun. Sementara itu, santriwati yang baru masuk dari Madrasah Aliyah akan mengikuti program "Takhasus" yang berdurasi lima tahun. Program "Takhasus" dirancang khusus untuk santri Madrasah Aliyah dan berfokus pada pendalaman ilmu agama. Selama satu tahun, santriwati akan diberikan dasar-dasar keilmuan yang kuat di bidang agama. Mata pelajaran dalam program ini sepenuhnya terkait dengan pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, nahwu-saraf, ushul fiqih, musthalah hadist, sirah nabawiyah, dan lain sebagainya. Pelajaran umum tidak termasuk dalam program "Takhasus”. Sementara itu, santriwati yang menempuh jalur pendidikan normal selama enam tahun akan secara bertahap belajar ilmu agama mulai dari Madrasah Tsanawiyah.

Pembinaan pada Pesantren Putri PERSIS Bangil tidak hanya memfokuskan membina etika dalam perilaku santriwati namun juga membina pola berfikir sehingga santri lebih kritis dalam keadaan disekitarnya. Membina pola berfikir santri membutuhkan metode yang mendukung santri lebih aktif dalam kegiatan asrama atau kegiatan pembelajaran sekolah. Pembinaan yang dilakukan Pesantren Putri PERSIS saling berkaitan dengan kegiatan sekolah, yang mana Pesantren ini memiliki gedung sekolah yang terintegrasi dengan lingkungan asrama putri, sehingga proses pembelajaran yang berlangsung berada dalam satu lingkungan. Hal ini memudahkan proses pembinaan kompetensi intelektual para santri yang dilakukan oleh ustadz dan ustadzah.

Peningkatan kompetensi intelektual melalui pembelajaran dialogis merupakan bagian dari pendekatan pembelajaran di Pesantren PERSIS Putri. Di sana, semua pembelajaran yang disampaikan oleh ustadz dan ustadzah menggunakan metode diskusi. Dengan memanfaatkan metode diskusi dalam pembelajaran, santriwati tidak hanya belajar tentang materi pelajaran, tetapi juga mengembangkan kemampuan berbicara, menghargai perbedaan pendapat, dan kemampuan sosial yang berharga dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, ide pendirian organisasi PERSIS berasal dari pertemuan berkala yang bersifat kenduri. Dalam acara kenduri, selain makan bersama, topik yang dibahas adalah masalah-masalah di masyarakat dan gerakan keagamaan, sehingga menciptakan diskusi panjang dalam acara tersebut [24]. Oleh karena itu, dalam memberikan pemahaman keagamaan di pesantren, PERSIS menggunakan diskusi.

Figure 3.Proses Argumentasi dalam Pembelajaran

Figure 4.Proses Diskusi dalam Kelas

Salah satu contoh bagaimana sekolah dan pesantren membangun kompetensi intelektual melalui pendekatan pembelajaran dialogis dapat dilihat ketika ada waktu senggang, seperti saat istirahat. Selama istirahat, santriwati dengan penuh keyakinan saling berdiskusi dengan ustadz-ustadzah mereka tentang materi pelajaran yang diajarkan pada hari tersebut. Jika ada santriwati yang tidak mengerti pembelajaran tertentu atau beberapa santriwati yang merasa bingung, mereka akan mengajukan pertanyaan langsung kepada ustadzah selama istirahat berlangsung. Sebagai contoh, saat menghadapi pelajaran matematika yang membingungkan, seorang santriwati bisa mengunjungi kantor guru saat bel istirahat berbunyi. Di kantor guru, santri mendengarkan dengan penuh perhatian penjelasan yang diberikan guru, dan dia mengajukan pertanyaan jika ada hal yang belum dimengerti. Setelah merasa memahami, guru memberikan beberapa soal dengan tingkat kesulitan berbeda: mudah, sedang, dan sulit. Jika santriwati berhasil menjawab semua soal, ini menunjukkan bahwa santri telah memahami materi dengan baik.

Figure 5.Pembimbingan Tugas Akhir

Tidak hanya tentang pembelajaran, santriwati bisa menceritakan masalah-masalah keluarganya ketika tidak bisa menemukan jawaban yang tepat. Sebagai contoh, topik yang dibahas adalah tentang persoalan fiqih dalam keluarga. Seorang santriwati menceritakan pengalaman pribadinya dengan didampingi oleh seorang ustadzah. Kisah yang disampaikan melibatkan saudaranya yang menghadapi masalah dalam keluarganya, di mana suaminya sedang sakit dan tidak mampu bekerja, sehingga istrinya yang mencari nafkah. Namun, ketika ditinggal istrinya bekerja, sang suami sangat malas, tidak mendidik anak-anaknya, keburukan istri diumbar kesana kemari ditambah lagi tidak menjalankan sholat lima waktu. Tetangga yang prihatin dengan situasi ini memberitahukan hal ini kepada istrinya.. Meskipun sang istri ingin mengajukan gugatan cerai, dia merasa takut akan dosa yang mungkin timbul. Ustadzah memberikan tanggapan dengan merujuk pada hadis dan ayat Al-Quran, menjelaskan bahwa keputusan terkait masalah ini harus diambil dengan pertimbangan matang. Jika kerugian yang timbul lebih besar daripada manfaatnya, maka perlu dipertimbangkan untuk bercerai. Setelah mendengar penjelasan ustadzah, santri memahami bahwa bercerai bukanlah solusi yang ideal dalam menyelesaikan masalah keluarga. Namun, dalam situasi yang sangat sulit, perceraian bisa menjadi pilihan terakhir.

Hubungan erat antara santriwati sangat nyata di PERSIS Putri Bangil. Tidak ada perbedaan perlakuan antara santri MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah), semuanya diperlakukan sama. Ini disebabkan oleh pengaturan kamar di asrama yang selalu memperhatikan siapa yang menjadi teman sekamar. Hal ini mengakibatkan semua santriwati saling mengenal satu sama lain. Kedekatan di antara santri tampak terutama waktu senggang. Baik di lorong kelas, taman, aula, maupun di dalam masjid. Mereka terlibat dalam dialog tentang berbagai topik. Salah satunya adalah mengenai hukum berhijab. Mereka memperhatikan bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami sepenuhnya tentang arti menutup aurat dalam Islam, termasuk tata cara dan persyaratannya. Mereka juga membicarakan bagaimana banyak artis yang dengan bebas melepaskan penggunaan hijab mereka, dikarenakan mereka merasa belum siap secara hati.

Usai melaksanakan sholat dhuhur, beberapa santriwati nampak tetap berada di dalam masjid dan terlibat dalam diskusi tentang maraknya kasus pembunuhan dalam masyarakat. Salah satu penyebab utama kasus pembunuhan tersebut adalah dendam yang timbul terhadap lawan jenis. Mendengar topik tersebut, salah satu santriwati mengemukakan pandangannya, bahwa inilah salah satu konsekuensi buruk dari berpacaran. Di lain pihak, santriwati lain menyatakan bahwa menjalin hubungan dengan lawan jenis bisa diterima jika bertujuan untuk saling memperbaiki diri. Ketika perbedaan pendapat yang tajam muncul, beberapa santriwati sempat terlibat dalam perdebatan. Namun, pada akhirnya, mereka berhasil menemukan titik tengah dan saling menghargai pandangan yang berbeda.

Figure 6.Dialog antara Santri dengan Santri

Sementara bagi santriwati baru, mungkin merasa agak tidak familiar dengan gerakan yang berbeda dari kakak kelasnya. Ia akan merasa nyaman untuk mengajukan pertanyaan tentang perbedaan tersebut. Hal ini disebabkan karena pengajaran agama di MTs (Madrasah Tsanawiyah) dilakukan secara bertahap. Sebagai contoh, dalam gerakan setelah takbiratul ihram, masyarakat umumnya melipatkan kedua tangan di depan perut atau dada bagian bawah. Namun, di kalangan santriwati PERSIS, mereka meletakkan kedua tangannya di dada bagian atas. Ketika pertanyaan tersebut diajukan, sebagai kakak kelas tentu saja mereka akan menjelaskan alasannya secara rinci. Dan jika mereka ingin memahami lebih lanjut, disarankan untuk bertanya langsung kepada ustadz atau ustadzah yang memiliki pemahaman lebih mendalam dalam ilmu agama.

Meskipun santriwati mengalami pertumbuhan dan perkembangan di lingkungan pesantren, mereka diharapkan tetap memiliki pengetahuan tentang dunia luar. Oleh karena itu, penggunaan handphone dan computer diizinkan namun dengan batasan. Santri diizinkan menggunakan handphone hanya pada hari Jumat dan hanya selama satu jam. Ada prosedur yang harus diikuti: pertama, santriwati harus menghubungi orang tua selama 10 menit, kemudian baru diizinkan menggunakan internet dan media sosial. Namun, ada persyaratan, termasuk ketentuan bahwa histori internet tidak boleh dihapus saat browsing. Pengawasan penggunaan handphone dilakukan oleh pengasuh dengan bantuan organisasi Persatuan Pelajar Pesantren PERSIS Putri (P4P) dalam bidang kedisiplinan. Setelah waktu yang ditentukan berakhir, handphone dikumpulkan kembali di ruangan P4P bidang kedisiplinan. Kemudian, dilakukan pemeriksaan handphone satu per satu. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa santri mampu mengatur penggunaan handphone dengan baik. Setelah menghubungi orang tua selama 10 menit, membuka media sosial selama 10 menit, dan melihat berita terbaru yang sedang tren selama 15 menit, sisanya digunakan untuk membuka aplikasi kitab-kitab berbahasa Indonesia yang bisa diunduh, serta untuk mempersiapkan topik dalam kegiatan muhadharah yang akan datang. Penggunaan computer juga hampir sama dengan penggunaan handphone. Namun dalam penggunaan computer harus izin terlebih dahulu kepada ustadz maupun ustadzah yang bertugas piket. Dikarenakan siswa yang menggunakan lab computer harus di bawah pengawasan ustadz atau ustadzah, untuk mencegah santriwati membuka hal-halyang tidak dipebolehkan pesantren dan untuk memastikan computer dimatikan dengan benar demi pemeliharaan lab computer.

Semua kegiatan yang dilakukan di Pesantren Putri PERSIS bangil di bantu oleh organisasi Persatuan Pesantren Putri PERSIS atau bisa disebut deNgan P4P. Secara fungsi P4P memiliki fungsi yang sama dengan OSIS pada umumnya yakni Sebagai pembentukan karakter kepemimpinan [25]. P4P dibagi menjadi beberapa bidang salah satunya : (1) bidang kedisiplinan, bertugas menyelesaikan persoalan perilaku menyimpang santriwati, ketika terjadi penyimpangan perilaku di pesantren bidang kedisplinan yang mengatasinya namun ketika dirasa penyimpangan perilaku yang keterlaluan maka, bidang kedisiplinan akan bermusyawarah dengan pengasuh tetang langkah apa yang akan di ambil selanjutnya. (2) bidang kesehatan jasmani, bertugas menjaga kesehatan para santriwati. (3) bidang kesenian bertugas sebagai pengadaan event kesenian dalam mengembangkan potensi yang dimiliki santriwati, dll. Dalam pengadaan kegiatan diluar jam pembelajaran maupun kegiatan pesantren. P4P biasanya mengadakan kegiatan yang mampu mengembangkan kreatifitas santriwati. Disinilah para santriwati dilatih memiliki pikiran kreatif dalam menciptakan sesuatu supaya acara tersebut tidak garing namun mendapatkan antuasiasme para santriwati yang mengikutinya. Sebelum pelaksanaan kegiatan semua ketua dari setiap bidang melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan pertimbangan pengasuh. Kegiatan yang telah di terlaksana antara lain lomba Mading antar kelas, lomba kebersihan dan menghias kelas, pentas seni dengan menampilkan bakat setiap santriwati, dan kegiatan lainnya.

Figure 7.Kreativitas santri

Pembinaan kompetensi intelektual tidak terbatas pada kegiatan sekolah, tetapi juga dapat dilihat dalam kegiatan pesantren, khususnya pada program kajian keagamaan. Dalam program kajian, pesantren mengundang pemateri dari luar untuk memberikan penjelasan tentang topik tertentu. Prosesnya dimulai dengan pemateri menjelaskan topik yang akan disampaikannya. Setelah penjelasan selesai, diadakan sesi tanya jawab. Para santriwati sangat antusias untuk bertanya, dan tidak hanya satu atau dua, tapi banyak yang mengangkat tangan untuk bertanya langsung kepada pemateri. Jika santri merasa jawaban pembicara kurang tepat, mereka tidak segan-segan untuk bertanya kembali, menyampaikan topik yang sama tetapi dalam konteks yang berbeda. Tujuannya agar santriwati dapat menemukan jawaban yang sesuai dengan wawasan mereka. Melalui kehadiran pemateri dari luar, harapannya santri dapat mengasah ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh dari pesantren. Selain itu, hal ini juga dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka dan mendorong para santri untuk menjadi seorang pendakwah atau penyebar ilmu agama yang baik di tengah masyarakat.

Figure 8.Kajian Keagamaan dengan Pemateri Luar

Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Pesantren PERSIS adalah kemampuannya dalam membentuk generasi pendakwah yang mampu memberikan kontribusi positif pada desa-desa kecil. Pesantren ini bertujuan untuk tidak hanya mencetak generasi berilmu agama di daerah perkotaan saja, tetapi juga di daerah pedesaan. Membentuk pendakwah yang memiliki dasar-dasar ilmu agama dilakukan melalui kegiatan muhadarah. Kegiatan muhadarah ini dianggap sangat penting bagi santri pesantren karena lulusan pesantren diharapkan memiliki kemampuan berpidato secara terampil. Kegiatan muhadarah menjadi wajib di pesantren karena memiliki beberapa manfaat bagi santri. Pertama, dengan adanya kegiatan muhadarah, minat baca santri dalam ilmu agama menjadi tinggi. Kedua, melalui kegiatan ini, mental santri dilatih untuk siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Pesantren menyelenggarakan kegiatan muhadarah setiap hari Kamis dengan tiga pemateri yang berbeda dan tema yang berbeda setiap minggunya. Implementasi dari kegiatan muhadarah ini memberikan manfaat bagi santri, seperti meningkatkan kepercayaan diri mereka, kemampuan bahasa mereka lebih tertata, dan santri lebih tanggap dalam memahami konteks dan dalil-dalil dari pertanyaan yang diajukan.Salah satu program pesantren lain yang mendukung pembinaan kompetensi intelektual santri adalah program pengabdian tahunan. Setiap bulan Ramadhan, santri akan melakukan pengabdian di desa terdekat. Kegiatan pengabdian Ramadhan berlangsung selama satu bulan penuh. Selama pengabdian Ramadhan, santri akan terlibat dalam berbagai peran, seperti menjadi guru di TPQ atau Madin, guru di TK, atau menjadi pemateri dalam pengajian di desa. Melalui kegiatan pengabdian Ramadhan ini, santri mendapatkan beberapa manfaat. Pertama, mereka mengembangkan jiwa sosial dan berbaur dengan masyarakat di desa. Kedua, mereka mempelajari ciri khas desa berdasarkan ilmu agama. Ketiga, santri dapat mengenali dan menyesuaikan diri dengan keadaan di desa, karena setiap desa memiliki adat istiadat yang berbeda-beda. Hal ini memungkinkan santri untuk mempelajari berbagai gaya dakwah yang sesuai dan dapat diterima oleh masyarakat setempat melalui berbagai literatur yang ada.

Figure 9.Pembekalan Pengabdian Masyarakat

B. Hasil Penelitian

Hasil dari pembinaan kompetensi intelektual melalui pembelajaran dialogis di Pesantren Putri PERSIS Bangil sebagai berikut :

a. Kritis terhadap pendapat orang lain Sikap kritis santri terhadap pendapat orang lain ditunjukkan melalui sikap atau kemampuan menilai dan menganalisis pendapat, pendapat atau pendirian orang lain secara objektif dan rasional. Ini termasuk kemampuan untuk menyaring informasi, menimbang bukti yang tersedia, dan membangun argumen berdasarkan fakta dan logika di masyarakat. Memiliki sikap kritis tidak selalu menolak pendapat orang lain tanpa adanya alasan melainkan mencari pemahaman yang lebih dalam terhadap pemikiran orang lain. Dimana santri tidak segan-segan untuk menyangga pendapat orang lain apabila tidak sesuai dengan pemahaman yang diterimanya.

b. Berani mengemukakan argument berdasarkan literature Timbulnya tingkat kepercayaan diri pada santri dan pembiasaan diskusi berdampak pada keberanian santri dalam mengemukakan pendapatnya sesuai dengan referensi yang telah dibaca. Dalam beragumen santri akan menyampaikan pendapatnya yang di dukung melalui beberapa referensi tepercaya sehingga argument yang disampaikan oleh santri dapat di pertanggungjawabkan.

c. Aktif dalam ajang kompetisi ilmiah Santri aktif mengikuti berbagai lomba tingkat sekolah dan nasional. Sehingga dapat dilihat beberapa prentasi yang telah di raih oleh para santri antara lain ajang penulisan karya ilmiah yang2 diselenggarakan oleh ustadz adi hidayat, pidato bahasa Indonesia tingkat MA, pidato Bahasa inggris, pidato Bahasa Arab dalam acara Aksioma tingkat KKM MTs, Kaligrafi tingkat KKM MTs, Vlog (Film Pendek) PORSENI tingkat KKM MTs, Fahmil Qu’an tingkat MA, Lomba Debat dan sebagainya

d. Tidak cepat puas dalam ilmu pengetahuan Santri yang memiliki intelelektual yang tinggi seringkali memiliki keinginan yang kuat untuk mengetahui segalanya. Mereka selalu haus akan ilmu pengetahuan dan tidak akan pernah puas hanya dengan membaca satu buku. Mereka selalu ingin menjelajahi berbagai tempat atau melakukan analisis mendalam sehingga menemukan jawaban yang tepat. Oleh karena itu dapat ditandai dengan perpustakaan yang selalu ramai setiap saat.

Simpulan

Pembinaan kompetensi intelektual santri melalui pola pembelajaran dialogis dapat dilihat dalam kegiatan pembelajaran sekolah dan kegiatan pesantren. Namun hal pertama yang paling penting, pesantren akan memberikan pembekalan khusus dalam dasar-dasar ilmu agama. Kegiatan pembelajaran sekolah dalam menumbuhkan kompetensi intelektual santri dilakukan dengan cara diskusi dan tanya jawab dikarenakan dalam prosesnya santri semakin aktif dan secara tidak langsung akan terbentuk dialogsasi antara santri dengan pemateri. Sedangkan dalam kegiatan pesantren terdapat kegiatan muhadarah. Kegiatan muhadarah dilakukan dengan menguji seberapa tingkat pemahaman santri dalam mengutarakan keilmuan yang dimilikinya. Disamping menguji tingkat pemahaman santri, kegiatan muhadarah juga memiliki tujuan dalam membina mental santri supaya santri akan terbiasa dengan mengutarakan pendapatnya dihadapan masyarakat. Dialogsasi tidak hanya terjadi dengan ustadz maupun ustadzah namun santri dengan santri juga. Dialog santri dengan ustadz dan ustdzah tidak hanya seputar materi pembelajaran namun masalah-masalah yang dihadapi siswa terkait masalah hukum di keluarga ataupun dimasyarakat. sedangkan dialogsasi santri dengan santri terkait permasalahan yang viral di masyakarat.

References

  1. A. Kadir, "Sistem Pembinaan Pondok Pesantren," Shautut Tarb., vol. 01, no. 02, pp. 76–99, 2012.
  2. R. Saputri, Hambali, and Gimin, "Analysis of Motivation Parents Choose Pondok Pesantren as Moral Development Facilities in SMA Pondok Pesantren Babussalam Pekanbaru," pp. 1–13, Year not provided.
  3. A. Arif, A. Fattah, and W. Amrullah, "Pembinaan Karakter dalam Meningkatkan Kemandirian Santri di Pondok Pesantren MA DDI Pattojo Kabupaten Soppeng," vol. 11, no. 1, pp. 112–130, 2020.
  4. N. Haliza, "Pola Pembinaan Akhlak di Pondok Pesantren Unwanul Falah Paok Lombok ( Studi Komparatif Asrama dan Non Asrama )," vol. 21, no. 1, pp. 55–71, 2023.
  5. L. Rohida, "Pengaruh Era Revolusi Industri 4.0 terhadap Kompetensi Sumber Daya Manusia," J. Manaj. dan Bisnis Indones., vol. 6, no. 1, pp. 114–136, 2018, doi: 10.31843/jmbi.v6i1.187.
  6. M. Rifauddin, N. N. Ariyanti, and B. A. Pratama, "Pembinaan Literasi di Pondok Pesantren sebagai Bekal Santri Hidup Bermasyarakat," vol. 1, pp. 99–112, 2020.
  7. M. Hasan, H. Maulidyanti, M. I. T. Tahir, and N. Arisah, "Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Peserta Didik Melalui Kegiatan Literasi," J. Ideas, vol. 8, no. 1, pp. 477–486, 2022, doi: 10.32884/ideas.v8i2.698.
  8. Z. Dhofier, "Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia," Cetakan ke. Jakarta: LP3ES, 2011.
  9. Warsono and Hariyanto, "Pembelajaran Aktif: Teori dan Asesmen," Cet. ke-2. PT Remaja Rosdakarya Offset, 2013.
  10. I. Rizqi Meilya, Fakhruddin, and R. Ekosiswoyo, "Pengelolaan Pembelajaran Dialogis Paulo Freire pada Program Paket B di Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah Desa Kalibening Salatiga Jawa Tengah," J. Nonform. Educ. Community Empower., vol. 3, no. 1, p. 11, 2014, [Online]. Available: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jnfc.
  11. G. Herin, "Pola Interaksi Satu Arah dalam Proses Pembelajaran di Kelas XI SMA Negeri 6 Makassar," Sos. Pendidik. Sosiologi-FIS UNM, pp. 21–24, 2017.
  12. S. N. Khayatun, Z. Widya, R. Ning Tyas, and L. N. Anisa, "Pembentukan Mental Santri Putri Melalui Manajemen Kegiatan Muhadhoroh di Pondok Pesantren Bustanul ‘Ulum," Inisiasi J. Manaj. Pendidik. Islam, vol. 1, no. 1, pp. 32–39, 2021, [Online]. Available: http://ejournal.iaingawi.ac.id/index.php/inisiasi/article/view/594.
  13. M. Muslim, "Implementasi Model Pembelajaran Argumentasi Dialogis dalam Pembelajaran Fisika untuk Meningkatkan Kemampuan Argumentasi Ilmiah Siswa SMA," J. Penelit. Pengemb. Pendidik. Fis., vol. 1, no. 2, pp. 13–18, 2015, doi: 10.21009/1.01203.
  14. S. Susrizal, "Guru PAI dan Usahanya Mengembangkan Potensi Intelektual Siswa dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran," Batusangkar Int. Conf., vol. October 12, pp. 321–330, 2020.
  15. R. A. Putri, N. Ramayani, and D. Syahfitri, "Pengaruh Kompetensi Pedagogik Guru Terhadap Prestasi," J. Phys. A Math. Theor., vol. 44, no. 8, pp. 1–13, 2019.
  16. C. B. Mulyatno and A. W. Pradana, "Komunikasi Dialogis Guru dan Orangtua dalam Mendampingi Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi Covid-19," Ijd-Demos, vol. 4, no. 1, pp. 478–490, 2022, doi: 10.37950/ijd.v4i1.221.
  17. Sugiyono, "Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D," Cet-11. Jl. Gegerkalong Hilir No. 84 Bandung: ALFABETA, cv, 2010.
  18. H. Purnomo, "Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren," Cetakan 1. Jl. Raya Pleret KM 2 Banguntapan Yogyakarta 55791: Bildung Pustaka Utama (CV. Bildung Nusantara), 2017.
  19. M. Arsita, N. Nurhadi, and A. C. Budiati, "Rasionalitas Pilihan Orang Tua Terhadap Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Remaja Awal," Suparyanto dan Rosad (2015, vol. 5, no. 3, pp. 248–253, 2020.
  20. S. Syaiful, "Preferensi Orang Tua Dalam Memilih Pondok Pesantren Sebagai Tempat Pendidikan Bagi Anak," J. Konseling Pendidik. Islam, vol. 1, no. 2, pp. 118–128, 2020, doi: 10.32806/jkpi.v1i2.27.
  21. Yusnaini, "Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi Islam," 2017. [Online]. Available: http://repository.uinsu.ac.id/id/eprint/3497%0Ahttp://repository.uinsu.ac.id/3497/1/PDF.pdf.
  22. D. L. Lindawati, A. Nurlaeli, and Akil, "Analisis Adab Mencari Ilmu dalam Kitab Ta'limul Muta'alim dan Implikasinya terhadap Pendidikan Karakter di SMAIT Harapan Umat Karawang," 2021.
  23. S. Syaehotin and A. Y. Atho'illah, "Ta'dzim Santri Kepada Kiai (Studi Makna Penghormatan Murid kepada Guru di Pesantren)," Al Qodiri J. Pendidikan, Sos. dan Keagamaan, vol. 18, no. 1, pp. 240–248, 2020.
  24. D. W. Anas, B. Khaeruman, M. T. Rahman, and L. Awaludin, "Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam," vol. 2, no. February, p. 580, 2015.
  25. I. A. Toni, "Peranan Organisasi Siswa Intra Sekolah (Osis) Dalam Membentuk Karakter Siswa Di SMK Negeri 2 Salatiga," Satya Widya, vol. 35, no. 1, pp. 54–61, 2019, doi: 10.24246/j.sw.2019.v35.i1.p54-61.