Islamic Education
DOI: 10.21070/ijis.v12i3.1707

TPB Influence on Type 2 Diabetes Coding: Al-Islam H.M. Mawardi Hospital


Pengaruh TPB pada Kode Diabetes Tipe 2: RS Umum Al-Islam H.M. Mawardi

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

TPB analysis type 2 diabetes mellitus outpatient coders coding behavior healthcare management

Abstract

This study applies the Theory of Planned Behavior (TPB) to qualitatively analyze the factors influencing coders' intentions in coding type 2 diabetes mellitus at a general hospital. Conducted from February to July 2023, data were collected through interviews and questionnaires with two outpatient coder officers. Findings indicate that coding background, officer acumen, workload, legibility of doctors' writing, availability of coding resources, data clarity, familial support, peer influence, and environmental factors significantly influence coders' intentions. Moreover, factors such as coder knowledge and experience, as well as opportunities for continuous learning, play pivotal roles. These findings underscore the importance of addressing various determinants to enhance coding accuracy and efficiency, thereby improving healthcare management and resource allocation.

Highlights :

  • Coders' intentions in coding T2DM elucidated through TPB analysis.
  • Influential factors include coding background, workload, and availability of resources.
  • Addressing determinants crucial for enhancing coding accuracy and healthcare efficiency.

Keywords: TPB analysis, type 2 diabetes mellitus, outpatient coders, coding behavior, healthcare management

Pendahuluan

Peraturan menteri kesehatan (Permenkes) No.24 tahun 2022 menyebutkan bahwa rekam medis merupakan berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan dan tindakan pelayanan lain yang sudah diberikan kepada pasien. Pada perkembangan pelayanan kesehatan, rekam medis menjadi salah satu faktor pendukung terpenting. Manajemen yang sangat penting dalam melaksanakan pelayanan kesehatan ialah mengkode diagnosa dalam menunjang keakuratan kode diagnosis. Semua pelayanan medis dan non medis di pelayanan kesehatan harus di dokumentasikan dalam suatu berkas yang disebut rekam medis [1].

Jika dilihat dari isi rekam medis angka kelengkapan dokumen rekam medis pasien harus 100% dan harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik, termasuk pemberian kode diagnosis yang akan berimbas pada jumlah biaya yang harus dikeluarkan pasien atau BPJS untuk pelayanan rumah sakit [2]. Tindakan pengkodean adalah kegiatan memberikan kode penyakit sesuai dengan klasifikasi berdasarkan ICD-10 dan kode dapat dikatakan akurat jika sesuai dengan kondisi pasien serta semua tindakan yang telah diberikan kepada pasien dengan kondisi pasien secara lengkap dengan mengikuti kaidah klasifikasi yaitu ICD-10 sebagaimana penggunaanya diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 50 Tahun 1998 [3], [4]. Dokter merupakan pihak yang berwenang dalam menegakkan diagnosa dan perekam medis yang menetapkan kode diagnosa dan tidak boleh merubah diagnosa. Sebab itu, diagnosa harus rinci agar hasil kode menjadi akurat [4].

Berdasarkan Kepmenkes RI No.HK.01.07/Menkes/312/2020 mengenai standar Profesi Perekam Medis Dan Informasi Kesehatan bahwasannya komponen kompetensi perekam medis salah satunya yaitu area keterampilan klasifikasi klinis, kodifikasi penyakit dan masalah kesehatan lainnya, serta prosedur klinis [5]. Klasifikasi penyakit adalah sistem yang mengelompokkan penyakit-penyakit dan prosedur-prosedur yang sejenis keadaan satu grup nomor kode penyakit dan tindakan yang sejenis dan telah disepakati mengacu kepada International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem Tenth Revisions (ICD-10) yang digunakan untuk menafsirkan diagnosa penyakit dan masalah terkait dari kata menjadi kode alfanumerik yang akan memudahkan penyimpanan, mengambil data kembali serta analisis data [6]. Buku ICD-10 terdapat 22 bab pengelompokkan atau pengklasifikasian penyakit termasuk kode diagnosa dari semua system yang telah di klasifikasikan berdasarkan kelompok penyakit tertentu salah satunya untuk penyakit diabetes melitus.

Menurut World Health Organization Tahun 2018 diabetes melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa) atau bisa juga ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara efektif untuk menghasilkan. Diabetes merupakan masalah kesehatan yang sangat penting, salah satu dari empat penyakit tidak menular prioritas menjadi sasaran aksi para pemimpin dunia [7]. Perawatan diabetes paling baik dikombinasikan dengan kepatuhan pasien terhadap perawatan yang direkomendasikan oleh profesional medis untuk hasil terbaik. Keberhasilan penatalaksanaan penyakit bergantung pada kepatuhan terhadap pengobatan penyakit pada pasien diabetes melitus. Dengan kepatuhan yang baik, maka pengobatan dapat dilakukan secara optimal dan pasien dapat merasakan kualitas kesehatannya [2].

Organisasi International Diabetes Federation (IDF) menjelaskan bahwa sedikitnya terdapat 463 juta orang pada usia sekitar 20-79 tahun di seluruh dunia menderita diabetes melitus pada tahun 2019. Angka dipredikasi terus meningkat hingga mencapai 578 juta ditahun 2030 dan 700 juta ditahun 2045 [9].

Mengingat pentingnya peran petugas koder dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit masih banyak dijumpai ketidakakuratan pengisian kode diagnosis penyakit pada pasien rawat jalan dan hasilnya akan terjadi banyaknya klaim terpending maka peneliti bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui faktor perilaku atau tindakan petugas koder yang mempengaruhi niat dalam melakukan tindakan tersebut. Penelitian ini mengaplikasikan Theory Of Planned Behaviour (TPB) yang dikhususkan pada niat individu untuk melakukan tindakan yang dapat di prediksi dengan oleh tiga faktor yaitu belief and evaluations, subjective norm, perceived behavioral control [10].Munculnya niat untuk berperilaku tersebut terhadap tindakan pemberian kode, yaitu 1) belief and evaluations yang merupakan keyakinan berperilaku dalam memenuhi tindakan pemberian kode penyakit dan evaluasi hasil terhadap niat untuk melakukan tindakan (beliefs strength and outcome evaluation), 2) subjective norm merupakan keyakinan tentang harapan normatif oranglain terhadap niat untuk melakukan tindakan (normative beliefs) dan 3) perceived behavioral control merupakan keyakinan dan persepsi mengeani seberapa besar pengaruh faktor-faktor yang mendukung dan faktor-faktor penghambat pemberian kode penyakit terhadap niat untuk melakukan tindakan (control belief and perceived power) [11].

Faktor tersebut secara kolektif yang akan mempengaruhi niat setiap individu ketika mengambil keputusan terhadap suatu tindakan yang bersifat suka rela dan dibawah kontrol setiap individu yang dapat diprediksi Teori perilaku direncanakan Theory Of Planned Behavior (TPB) yang dikembangkan oleh Ajzen (1991) [12]. Teori ini menyatakan bahwa seseorang dapat melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tergantung dari niat atau keyakinan dari setiap individu secara spesifik. Theory of planned behaviour (TPB) telah terbukti berhasil memprediksi niat individu untuk berperilaku dalam berbagai konteks [11].

Berdasarkan pada data awal di Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi Tahun 2023 terdapat 2 petugas koder unit casemix rawat jalan dengan latar belakang S1 Keperawatan dan D4 Perekam medis dan informasi kesehatan. Pengkodean dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIMRS). Proses pengkodean dilakukan oleh petugas koder biasanya setelah memberikan pelayanan dan tindakan. Setelah dilakukan observasi dari Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi Tahun 2022 dimana diagnosis utama penyakit diabetes melitus tipe 2 pada berkas rekam medis pasien rawat jalan BPJS banyak yang tidak akurat. Berdasarkan hasil kajian tersebut, peneliti melakukan perhitungan tingkat akurasi dan menjelaskan faktor yang mempengaruhi tindakan petugas koder dalam melakukan koding penyakit diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit H.M Mawardi dengan mengumpulkan data penyakit rawat jalan pasien BPJS pada bulan Desember pada tahun 2022 dan terdapat kasus dengan diagnosis penyakit diabetes melitus tipe 2 berjumlah 735 kasus. Objek yang digunakan dalam pengambilan data awal ini yaitu berkas rekam medis pasien rawat jalan dengan diagnosis diabetes melitus tipe 2 pada bulan desember tahun 2022 yang berjumlah 735 berkas rekam medis. Selama pengambilan data awal di Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi, peneliti telah meneliti 30 berkas rekam medis yang digunakan untuk data awal dan juga melakukan wawancara.

Berikut hasil survei awal peneliti terhadap 30 data berkas rekam medis pasien diabetes mellitus tipe 2 :

Keterangan Pemberian Kode Diagnosis Jumlah Berkas Rekam Medis Persentase (%)
Akurat 5 17%
Tidak akurat 25 83%
Jumlah 30 100%
Table 1.Persentase Keakuratan dan ketidakakuratan kode penyakit

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terdapat 5 berkas rekam medis dengan kode yang akurat (17%) dan 25 berkas rekam medis dengan kode yang tidak akurat (83%). Maka dari itu, pentingnya peran petugas koder dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit diabetes melitus tipe 2 yang dapat diukur menggunakan Theory Of Planned Behaviour (TPB) dengan konstruk: 1) belief and evaluations: keuntungan/manfaat dan kerugian dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit; 2) subjective norm: orang atau kelompok yang mendukung dan tidak mendukung dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit; 3) perceived behavioral control: hal hal yang mempermudah dan menyulitkan maupun hambatan dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit [13].

Dalam penelitian yang dilakukan [14] menghasilkan uji inner model diketahui R2 konstruk niat berperilaku sebesar 0,554. Angka tersebut menunjukkan bahwa konstruk niat berperilaku dipengaruhi oleh konstruk sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku sebesar 55,4% yang menegaskan bahwa belief and evaluations, subjective norm, perceived behavioral control berpengaruh signifikan yang dirasakan dan merupakan hal yang penting dalam membentuk niat petugas koder untuk melakukan koding penyakit diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi [14]. Penelitian juga dilakukan oleh [15] menunjukkan bahwa variabel sikap, norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku berhubungan positif signifikan dengan niat melakukan tindakan, semakin tinggi sikap, norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku sesorang maka semakin tinggi niatnya untuk melakukan tindakan tersebut. Sikap, norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku secara bersamasama menunjukkan niat sebesar (SE =70,7%) sedangkan variabel norma subjektif menjadi variabel yang paling tinggi pengaruhnya [15].

Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian “Analisis faktor yang mempengaruhi tindakan petugas koder dalam melakukan koding penyakit diabetes melitus Tipe 2 menggunakan Theory Of Planned Behaviour (TPB) di Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi Tahun 2023”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar penelitian lanjutan maupun pertimbangan penyusunan sebagai perbaikan perilaku tindakan petugas koder dalam melakukan koding penyakit diabetes melitus tipe 2 Menggunakan Theory Of Planned Behaviour (TPB) di Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi Tahun 2023.

Metode

Penelitian yang dilaksanakan bertempat di Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi pada unit kerja Casemix BPJS. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif dengan pendekatan studi kasus deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi tindakan petugas koder untuk melakukan koding penyakit diabetes mellitus tipe 2 menggunakan Theory Of Planned Behaviour (TPB) Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Juli Tahun 2023. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam yang disusun berdasarkan kerangka Theory Of Planned Behaviour (TPB) yang telah ditentukan kepada 2 orang informan atau petugas coder rawat jalan unit Casemix BPJS.

Melalui penelitian ini akan menjelaskan faktor yang mempengaruhi tindakan petugas koder dalam melakukan koding penyakit diabetes melitus tipe 2 dengan bantuan kerangka Theory Of Planned Behaviour (TPB). Pedoman wawancara merupakan instrumen pada penelitian ini yang disusun berdasarkan kerangka Theory Of Planned Behaviour (TPB), dengan tiga pertanyaan utama, yaitu: 1) belief and evaluations mengenai keuntungan/manfaat dan kerugian dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit; 2) subjective norm mengenai orang atau kelompok yang mendukung dan tidak mendukung dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit; 3) perceived behavioral control mengenai hal hal yang mempermudah dan menyulitkan maupun hambatan dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit. Selain itu, digunakan alat bantu berupa perekam suara (voice recorder) untuk mendokumentasikan data berupa kalimat yang disampaikan oleh informan dan perekaman hanya dilakukan jika informan menyetujuinya. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa jawa bagi informan yang tidak dapat berbahasa Indonesia dan wawancara berlangsung selama 15-20 menit.

Hasil wawancara dalam bentuk rekaman (audio-file) dan di transkripkan kedalam bentuk tulisan yang sistematis dan disimpulkan. Analisis ini dilakukan dengan mengacu pada Theory Of Planned Behaviour (TPB) yaitu: 1) belief and evaluations yaitu Keyakinan dan evaluasi akan hasil terhadap niat untuk melakukan tindakan atau perilaku tersebut, 2) Subjective Norm yaitu keyakinan individu terhadap harapan normatif individu atau orang lain yang menjadi referensi seperti keluarga atau teman terhadap niat untuk melakukan tindakan atau perilaku tersebut, 3) perceived behavioral control yaitu kontrol perilaku terhadap niat untuk melakukan tindakan atau perilaku tersebut [16]. Hasil kuisioner akan di sajikan dalam bentuk tabel dalam lampiran. Terdapat empat variabel dalam penelitian ini yaitu : niat pemberian kode diagnosis penyakit diabetes melitus tipe 2 sebagai variabel terikat dan faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan petugas koder dalam melakukan koding penyakit diabetes mellitus tipe 2 menggunakan Theory Of Planned Behaviour (TPB) mengacu pada: belief and evaluations, subjective norm, dan perceived behavioral control sebagai variabel bebas.

Figure 1.Kerangka Teori Penelitian. Sumber : dimodifikasi [17]

Hasil dan Pembahasan

3.1 Karakteristik Informan Data ini merupakan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara pada informan penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah petugas coder penyakit di Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi pada unit kerja casemix BPJS. Diantaranya informan utama sebagai penanggung jawab coder rawat jalan dan informan kedua sebagai staf koding di Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi pada unit kerja Casemix BPJS rawat jalan.

No Informan Jenis Kelamin Usia Pendidikan Jabatan Struktural
1 Informan 1 P 41 - 50 Tahun S1 Keperawatan Penanggung jawab koder rawat jalan
2 Informan 2 P 21 - 30 Tahun D3 Rekam Medis Staf koder
Table 2.Karakteristik Informan

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bajwa jumlah informan penelitian adalah 2 orang. Karakteristik informan meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan dan Jabatan Struktural di Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi pada unit kerja Casemix BPJS. Informan dalam penelitian ini sebanyak 2 Orang di Rumah Sakit Umum Al-Islam H.M Mawardi pada unit kerja Casemix BPJS. Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa seluruh informan berjenis kelamin perempuan, informan pertama sebagai penanggung jawab koder Rawat Jalan berjenis kelamin Perempuan dan informan pertama berusia 41 - 50 Tahun dengan pendidikan terakhir S1 Keperawatan sedangkan informan kedua dalam penelitian ini sebagai staf koder yang berpendidikan D3 Rekam Medis dan berjenis kelamin perempuan yang berusia 21 – 30 Tahun Tahun.

3.2 Beliefs And Evaluations Pada Theory Of Planned Behavior (TPB), sikap didasarkan pada belief dan evaluasinya terhadap penilaian positif atau negatif dari perilaku petugas coder pada tindakan pemberian kode penyakit diabetes melitus tipe 2 [18]. Pada penelitian ini perilaku beliefs and evaluations direpresentasikan oleh apa yang diyakini sebagai keyakinan kekuatan kemudahan maupun kelemahan petugas dalam melakukan tindakan pemberian kode penyakit diabetes melitus tipe 2. Keyakinan individu meliputi belief strength (kekuatan keyakinan) ialah dimana individu yakin jika ia melakukan tingkah laku tertentu akan mengarahkannya pada konsekuensi tertentu, yaitu konsekuensi yang memberikan kemudahan maupun kelemahan dalam melakukan tindakan pengkodean [19]. Outcome evaluation (evaluasi hasil) merupakan hasil dari belief strength (kekuatan keyakinan) yang akan dievaluasi dalam melakukan tindakan pengkodean besarnya tingkat harapan individu terhadap hasil dari keyakinan [20].

Apabila seseorang meyakini bahwa tindakan pemberian kode penyakit dapat memberikan hasilyang positif dan dinilai perlu. Beberapa penelitian seperti [14] menunjukan bahwa variabel belief and outcome evaluation terhadap tindakan pemberian kode penyakit berpengaruh terhadap niat melakukan tindakan pemberian kode penyakit [14]. Jadi, seseorang akan berniat berperilaku mengikuti sikapnya terhadap suatu perilaku. Dari hasil wawancara kepada 2 orang informan mengatakan kemudahan dalam melakukan tindakan pemberian kode penyakit diabetes melitus tipe 2 adalah adanya SPO atau panduan, sesuai latar belakang pendidikan dan tersedianya buku ICD-10 online.

“Ya menurut saya gampangnya karena sudah ada panduan atau SPO dan juga bisa merujuk dalam ICD-10 online dan meskipun kadang disistem beda kodenya. Tapi kalau diklaimnya kodenya benar dan sesuai, bisa menemukan kode yang tepat maka membuat rumah sakit akan menjadi lebih untung dalam hal tarif dan juga memperbaiki mutu pelayanan rumah sakitnya..” (Informan 1).
“Mudah karena sesuai dengan profesi saya dan saya sudah paham ICD-10. Jadi kalau kita mengkoding dan kodenya Benar ya kita itu bisa diklaim kan ya. Nanti diganti sama BPJS, kan kita tujuannya ngoding juga buat diklaim di BPJS biar rumah sakit mendapatkan keuntungan..” (Informan 2).
Table 3.

Dari hasil 2 orang informan mengatakan kelemahan dalam melakukan tindakan pemberian kode penyakit diabetes melitus tipe 2 diantaranya seperti latar pendidikan petugas, beban kerja, petugas kurang teliti, tulisan dokter tidak terbaca, tidak lengkapnya data.

“Kalo dari saya memang kelemahannya karena saya bukan perekam medis, latar pendidikan saya keperawatan, tapi karena petugas di RS ini itu banyak yang tidak bisa baca diagnosa akhirnya saya yang ditunjuk oleh atasan dan menurut saya beban kerjanya agak tinggi karena pasien BPJS disini banyak dan kita juga harus menatap layar komputer yang cukup lama jadinya kadang mata sakit jadi kurang teliti dan gak fokus, terus juga kadang ada tulisan dokter yang tidak bisa terbaca dengan jelas, karena kita salah mengkode itu kaitannya dengan uang. kalau kode diagnosis tidak lengkap, maka pembayaran tidak sesuai dengan tindakan. kalau kode salah, maka pembayaran akan salah..” (Informan 1)
“Ya menurut saya pribadi, kadang banyaknya pasien BPJS yang harus di koding itu, terus kadang ada diagnosa yang gak jelas terus gak ada tanda tangan dokternya..”(Informan 2)
Table 4.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh [21] dimana dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi beliefs and evaluations terhadap niat petugas koder dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit diabetes melitus tipe 2 dapat disimpulkan yaitu latar pendidikan koder, petugas kurang teliti beban kerja, tulisan dokter tidak terbaca jelas, adanya SPO dan buku ICD-10, kejelasan dan kelengkapan penulisan data.

3.3 Perceived Behavioral Control Perceived behavioral control merupakan persepsi kontrol perilaku bahwa suatu tindakan tersebut mudah dilakukan atau sulit dilakukan dibawah kontrol individu dan batasan apapun yang dapat menghambat perilaku tersebut [22]. Fishbein dan Ajzen (2005) mendefinisikan perceived behavioral control sebagai persepsi seseorang tentang pengendalian diri sejauh mana setiap individu mampu atau memiliki kendali atas melakukan perilaku tertentu yang dapat dinilai dari beberapa indikator yaitu 1). Keyakinan sumber daya pribadi, pengetahuan, keterampilan, kemampuan melakukan tindakan pemberian kode penyakit (control belief) dan 2). Peluang dan elemen yang mempengaruhi hasil dalam melakukan tindakan pemberian kode penyakit (perceived power)[23].

Hasil penelitian [14] menunjukkan bahwa persepsi kontrol perilaku ini berpengaruh positif terhadap niat tindakan pemberian kode penyakit. Faktor ini diukur dengan penilaian terhadap kekuatan untuk mendukung atau menghambat perilaku, yang disebut kekuatan yang dirasakan. Dari hasil wawancara kepada 2 orang informan mengatakan hal-hal yang mendukung atau memudahkan dalam melakukan tindakan pemberian kode penyakit diabetes melitus tipe 2 adalah adanya panduan/SPO, tersedianya buku ICD-10 online, fasilitas yang memadai dan latar belakang pendidikan.

“Mudahnya ya karena kita ada SPO dan SK dari Rumah sakit karena setiap bagian dari organisasi rumah sakit harus punya SOP yang harus kita sesuaikan dengan peraturan yang dikeluarkan oleh direktur, ICD-10 atau ICD-9, peraturan BPJS seperti permenkes No.03 tahun 2023 dan ketiga berita acara yang dikeluakan dari BPJS dan fasilitasnya disini menurut saya juga sudah memadai dan dulu saya juga pernah diikutkan pelatihan mengenai INA-CBGS sekali..” (Petugas 1).
“Iya kalau mudahnya itu karena ada acuan peraturan peraturan yang sudah dijelaskan sama bu ima dan sesuai sama kompetensiku tapi kalau pelatihan aku gak pernah tapi kalau seminar dulu pernah ikut..”(Petugas 2).
Table 5.

Dari hasil wawancara kepada 2 orang informan mengatakan hal-hal yang menghambat dalam melakukan tindakan pemberian kode penyakit diabetes melitus tipe 2 adalah beban kerja, tidak ada pelatihan, petugas tidak teliti, rekam medis masih manual dan latar belakang pendidikan.

“Kendalanya mungkin tidak sesuai dengan kompetensi saya tapi lambat laun suka dan terbiasa apalagi tanggung jawab yang sedang saya jalani. Kalau hambatannya untuk saya perlu belajar kembali mengenai ICD-10 dan ICD-9 sekaligus aturan aturan BPJS karena kompetensi saya di bidang perawat, dan jarang diikutkan pelatihan khusus untuk pengkodean bagi unit casemix karena aturan BPJS itu banyak mbak” (Petugas 1).
“Kalau hambatannya masih manualnya kertas itu ya, jadi iya kadang kadang kalo banyak pasien itu ya jadi gak teliti karena banyak yang perlu di klaim dan jadi beban kerja, dan saya juga belum pernah ikut pelatihan khusus dibidang pengkodean”(Petugas 2)..
Table 6.

Dari hasil wawancara kepada 2 orang informan mengatakan kesulitan dalam melakukan tindakan pemberian kode penyakit diabetes melitus tipe 2 adalah beban kerja, tulisan dokter tidak terbaca, ketidak lengkapan pengisian, petugas tidak teliti dan singkatan medis berbeda.

“Sulit atau tidak itu banyak faktor sebenarnya, kalau dibilang sulit bilamana memang kita sudah mengkode sebisanya kita tapi BPJS mengembalikan atau terjadi pending, jadi kita mikir dua kali misal, kode apa yang perlu diperbaiki atau kode apa yang mau dipakai. Belum lagi kita kadang tidak bisa membaca tulisan dokter kalau diagnosanya tidak jelas ya takutnya juga salah mengkode, ketidaklengkapan pengisian rekam medis atau tidak terisinya diagnosa, tanda tangannya, pengobatan dan anamnesa yang lain. Karena kodenya berbeda beda dan di BPJS banyak kode yang tidak sesuai kaidah ICD-10 yang terbaru jugakan. Yang terjadi pending klaim itu perlu di audit lagi dan di koding lagi. Kalau diagnosanya tidak terbaca ya mungkin bisa konfirmasi kedokter dulu ajaa atau tanya teman terdekat ..”(Petugas 1).
“Yang buat sulit itu kadang kita tidak teliti, kadang tulisan dokternya gak jelas, kadang ada yang kosong nggak diisi diagnosanya, pakai kata kata singkat, itu semua nantinya pengaruh ke keakuratan kode kalau kodenya salah ya bakal di kembalikan, kalau dikembalikan ya tetap kita menyocokkan ke ICD-10, kan acuan disitu kita ngoding. Tapi meskipun kadang ada kesulitan kita juga harus profesional juga ya, karena juga manusia tidak luput dari kesalahan..” (Petugas 2).
Table 7.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan [24] dalam penelitiannya tindakan pemberian kode yang dilakukan masih belum akurat dan rendah karena dipengaruhi oleh faktor antara lain pengetahuan koder tentang diagnosis penyakit, pengalaman kerja dalam bidang kodefikasi diagnosis penyakit, peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga koder atau diikutkan pelatihan, latar belakang sesuai dengan kompetensi keilmuannya yang akan bertanggung jawab dalam hal tindakan pengkodean diagnosis penyakit dan kelengkapan pengisian data. Jadi persepsi kontrol terhadap perilaku dapat meningkatkan niat seseorang untuk melakukan tindakan pemberian kode penyakit yaitu suatu tindakan yang akan bermanfaat bagi suatu organisasi sehingga persepsi kontrol perilaku berpengaruh signifikan terhadap niat melakukan tindakan pemberian kode penyakit [14].

3.4 Subjective Norm Menurut Ajzen (1985), subjective norm merupakan fungsi yang didasarkan dari belief yang disebut dengan normative belief yaitu belief mengenai setuju dan tidak setuju dari orang atau individu atau kelompok yang berpengaruh pada individu misalnya orang tua, teman sejawat, lingkungan sekitar atau rekan kerja dan lainnya terhadap suatu perilaku mengenai perlu atau tidaknya hal tersebut dilakukan [23]. Penelitian yang dilakukan oleh [14] menyimpulkan bahwa subjective norm (norma subjektif) berpengaruh positif terhadap niat melakukan tindakan pemberian kode diagnosis penyakit diabetes melitus tipe 2 karena seseorang akan melakukan tindakan dengan melihat sesuatu disekitarnya karena ia yakin bahwa orang-orang disekitar organisasi tersebut merupakan acuan dan adanya dukungan dari pimpinan dan rekan kerja akan menumbuhkan niat seseorang untuk melakukan tindakan pemberian kode penyakit diabetes melitus tipe 2. Pada penelitian ini untuk subjective norm terbentuk karena peran atasan, keluarga atau orang tua dan teman sejawat yang merasa lebih yakin dan percaya mengenai tindakan pengkodean yang dilakukan petugas koder. Hasil wawancara kepada 2 orang informan mengenai kelompok atau individu yang mendukung tindakan pemberian kode penyakit diketahui sebagai berikut.

“Jadi yang setuju hanya atasan dan saya mengikuti aturan dari rumah sakit. karena masalah penempatan dan awal profesi saya perawat tetapi rumah sakit membutuhkan petugas koder dan saya bisa sedikit sedikit membaca diagnosa dokter dan dari perintah dari atasan sudah ada SK yg turun ditempatkan di bagian casemix..”(Informan 1).
“Yang mendukung saya pasti Keluarga seperti kedua orang tua, teman teman sejawat dan atasan setuju ya kalo ditempatkan disini..” (Informan 2).
Table 8.

Hasil penelitian terdahulu oleh [19] menunjukkan bahwa subjective norm dapat mempengaruhi niat seseorang dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit. Pada kondisi ini menjelaskan bahwa banyaknya orang disekitar individu seperti teman sejawat, orang tua dan keluarga yang menjadi pendukung dalam melakukan tindakan pengkodean penyakit [19].

Hasil wawancara kepada 2 orang informan mengenai kelompok atau individu yang tidak mendukung tindakan pemberian kode penyakit diketahui sebagai berikut.

“Ya ada, otomatis teman teman sejawat dan keluarga karena saya sudah menikah dan memang dari awal ilmunya saya perawat bukan perekam medis. Jadi harusnya tidak melupakan profesi awal tapi kalau sudah terjun dirumah sakit harus disisihkan dulu, dirumah dengan pekerjaan disini..” (Informan 1)
“Enggak ada karena sesuai gitu ya sama jurusan aku taulah ilmunya..” (Informan 2)
Table 9.

Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang juga meneliti tentang normative beliefs pada niat seseorang dalam berperilaku pemberian kode penyakit, bahwa keluarga adalah orang – orang yang berperan dalam keputusan untuk berperilaku, baik berupa dukungan maupun penolakan [25].

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa belief and evaluation, subjective norm dan perceived behavioral control berpengaruh positif terhadap tindakan pemberian kode penyakit sebagaimana dinyatakan oleh Theory Of Planned Behavior (TPB)dimana merupakan hal yang penting dalam membentuk niat untuk melakukan tindakan pemberian kode penyakit. Dapat disimpulkan faktor penentu atau yang mempengaruhi niat dari tindakan petugas koder dalam melakukan pemberian kode diagnosis penyakit diabetes melitus tipe 2 dalam Theory Of Planned Behavior (TPB) meliputi antara lain :

1. Belief and evaluations yang menunjukan bahwa dari latar pendidikan koder, ketelitian petugas, beban kerja, tulisan dokter tidak terbaca jelas, adanya SPO dan buku ICD-10, kejelasan dan kelengkapan penulisan data itu akan menghasilkan evaluasi yang positif maupun evaluasi negatif yang terjadi dilingkungan atau kantor mereka bekerja mereka saat ini seperti tertundanya klaim dan terjadinya audit koding. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belief and evaluation berpengaruh positif terhadap niat petugas koder dalam melakukan tindakan pemberian kode penyakit diabetes melitus tipe 2,

2. Faktor subjective norm yang berupa indikatornya pandangan orang sekitar dalam hasil penelitian menujukkan bahwa seperti teman sejawat, keluarga dan pimpinan berpengaruh positif terhadap dukungan maupun harapan dari tindakan pemberian kode penyakit diabetes melitus tipe 2 karena seseorang akan melakukan tindakan tersebut dengan melihat sesuatu yang terjadi dilingkungan atau kantor mereka bekerja saat ini karena ia yakin bahwa orang-orang disekitar seperti seperti dari teman sejawat, keluarga dan pimpinan memberi dukungan yang akan menumbuhkan niat seseorang untuk melakukan tindakan tersebut,

3. Perceived behavioral control faktor yang dapat disimpulkan yaitu pengetahuan koder tentang diagnosis penyakit, Tersedianya SPO dan buku ICD-10, Pengalaman kerja dalam bidang kodefikasi diagnosis penyakit, Peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga koder atau diikutkan pelatihan, Latar belakang sesuai dengan kompetensi keilmuannya, Ketelitian petugas. Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan menjadi petugas koder, tingkat pengendalian menjadi petugas koder dan keinginan menjadi petugas koder merupakan tanggung jawab terhadap perilaku diri sendiri. Jadi persepsi kontrol terhadap perilaku dapat meningkatkan niat petugas koder dalam melakukan tindakan pemberian kode.

References

  1. W. Maryati, A. O. Wannay, and D. P. Suci, "Hubungan Kelengkapan Informasi Medis Dan Keakuratan Kode Diagnosis Diabetes Mellitus," J. Rekam Medis dan Inf. Kesehat., vol. 1, no. 2, pp. 96, Dec. 2018, doi: 10.31983/jrmik.v1i2.3852.
  2. E. R. Loren, R. A. Wijayanti, and N. Nikmatun, "Analisis Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode Diagnosis Penyakit Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya," J. Rekam Med. dan Inf. Kesehat., vol. 1, no. 3, pp. 129–140, Aug. 2020, doi: 10.25047/j-remi.v1i3.1974.
  3. "Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 1998 tentang Pemberlakuan Klasifikasi Statistik Internasional Mengenai Penyakit Revisi Kesepuluh."
  4. M. A. Putri and R. A. Yenni, "Analisis Keakuratan Kode Diagnosa Penyakit Berdasarkan Icd -10 Di RSUD M.Natsir Solok Tahun 2022," vol. 3, 2022.
  5. "Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 312 Tahun 2020 Tentang Standar Profesi Perekam Medis Dan Informasi Kesehatan."
  6. "Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 844 Tahun 2006 Tentang Penetapan Kode Data Bidang Kesehatan."
  7. K. Handynata, L. Indawati, D. Happy Putra, and P. Fannya, "Tinjauan Ketepatan Kodifikasi Penyakit Diabetes Mellitus Tipe II Pada Jumlah Pasien Dalam Menunjang Laporan Surveilans Kesehatan Rawat Jalan Di Rumah Sakit Anna Medika," J. Kesehat. Tambusai, vol. 3, no. 1, pp. 235–244, Mar. 2022, doi: 10.31004/jkt.v3i1.3977.
  8. C. Buana, T. Tarwoto, D. M. Bakara, Y. Sutriyanti, and S. Sridiany, "Implementasi Health Believe Models Dalam Perilaku Pencegahan Komplikasi Diabetes Mellitus: Implementation Of Health Believe Models In Prevention Behavior Of Diabetes Mellitus Complications," Qual. J. Kesehat., vol. 17, no. 1, pp. 10–18, 2023.
  9. "Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tetap produktif, Cegah dan atasi diabetes mellitus," Infodatin pusat data dan informasi kementrian kesehatan Republik Indonesia.
  10. A. Febtrina, A. W. Ahmad, and R. Mustika, "Pengaruh Pelaksanaan Self Assessment System, Pengetahuan Perpajakan, dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Restoran di Kota Padang," J. Akunt. Bisnis dan Ekon. Indones. JABEI, vol. 1, no. 1, pp. 15–24, 2022.
  11. Z. H. F. Anam and B. Ichsan, "Perilaku Sadari Sebagai Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Pada Mahasiswa Dilihat Dengan Metode Theory Of Planned Behaviour," Pros. Univ. Res. Colloq., pp. 565–573, 2021.
  12. M. Mahyarni, "Theory Of Reasoned Action Dan Theory Of Planned Behavior (Sebuah Kajian Historis Tentang Perilaku)," J. El-Riyasah, vol. 4, no. 1, pp. 13, Dec. 2020, doi: 10.24014/jel.v4i1.17.
  13. Jan Arianto Asther, "Attitude Toward Behavior, Subjective Norm, Dan Perceive Behavioral Control Sebagai Prediktor Terhadap Kepatuhan Berlalu Lintas Pada Pengendara Motor Di Kota Makassar," Universitas Bosowa, 2022.
  14. A. Oktrivina, "Attitude, Subjective Norm An Perceived Behavior Control On Whistleblowing Intention In Avoiding Fraud," J. Ris. Akunt. Dan Keuang., vol. 4, no. 2, pp. 175–186, 2022.
  15. M. H. Widiyastono, "Correlation Of Attitudes, Subjective Norms And Perceived Behavioral Control With Intentions Covid-19 Booster Vaccines," Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2022.
  16. H. Kamela, "Pengaruh Faktor-Faktor Theory Planned Of Behaviour (TPB) Terhadap Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak: Studi Kasus KPP Palembang Ilir Barat," J. Appl. Account. Tax., vol. 5, no. 2, pp. 201–209, 2020.
  17. O. C. Otieno, S. Liyala, B. C. Odongo, and S. Abeka, "Theory Of Reasoned Action As An Underpinning To Technological Innovation Adoption Studies," World J. Comput. Appl. Technol., vol. 4, no. 1, pp. 1–7, May 2019, doi: 10.13189/wjcat.2016.040101.
  18. M. Murtasidah and F. Tridiyawati, "Studi Kualitatif Faktor Penghambat Persalinan Di Tenaga Kesehatan Berdasarkan Theory Of Planned Behavior," J. Keperawatan Jiwa, vol. 11, no. 3, pp. 629–636, 2023.
  19. N. N. A. Seni and N. M. D. Ratnadi, "Theory Of Planned Behavior Untuk Memprediksi Niat Berinvestasi," E-J. Ekon. Dan Bisnis Univ. Udayana, pp. 4043, Dec. 2017, doi: 10.24843/EEB.2017.v06.i12.p01.
  20. A. Widayati, "Perilaku kesehatan (Health Behavior): Aplikasi Teori Perilaku untuk Promosi Kesehatan. Sanata Dharma University Press, 2020.
  21. V. Y. Budiyani, A. S. Wariyanti, and S. Wahyuningsih, "Literature Review Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan Petugas Koding Diagnosis Berdasarkan Unsur 5M," Indones. J. Health Inf. Manag., vol. 1, no. 1, pp. 14–20, 2021.
  22. M. H. Widiyastono, "Correlation of Attitudes, Subjective Norms and Perceived Behavioral Control with Intentions Covid-19 Booster Vaccines," Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2022.
  23. A. B. N. Romadhoni and A. Guspul, "Pengaruh Attitude, Subjective Norm, Dan Perceived Behavioral Control Terhadap Minat Beli Jasa Transportasi Online," J. Econ. Bus. Eng. JEBE, vol. 2, no. 1, pp. 76–81, 2020.
  24. E. S. D. Hastuti and M. Ali, "Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Akurasi Kode Diagnosis di Puskesmas Rawat Jalan Kota Malang," J. Kedokt. Brawijaya, vol. 30, no. 3, pp. 228–234, Feb. 2019, doi: 10.21776/ub.jkb.2019.030.03.12.
  25. R. E. Gs, K. S. M, D. Fadilla, S. D. R, and I. G. A. Dyah, "Peningkatan Pemahaman Perilaku Swamedikasi dengan Metode Theory Planned Behaviour dalam Promosi Kesehatan," J. Pengabdi. Harapan Ibu JPHI, vol. 4, no. 1, pp. 7, Apr. 2022, doi: 10.30644/jphi.v4i1.627.