Abstract

This study investigates the relationship between social support, religiosity, and parenting stress among mothers of children with special needs. Utilizing Likert scale-based psychological assessments, data were collected from 30 mothers at Mi Nurul Islam Mojokerto. The analysis revealed significant correlations between social support, religiosity, and parenting stress, suggesting that higher levels of social support and religiosity were associated with reduced parenting stress among these mothers. This study underscores the importance of considering both social support and religiosity as potential factors in mitigating parenting stress among mothers of children with special needs, thus emphasizing the need for tailored interventions to support this vulnerable population

Highlights :

  • The study investigates the relationship between social support, religiosity, and parenting stress among mothers of children with special needs.
  • Data from 30 mothers at Mi Nurul Islam Mojokerto were collected and analyzed using Likert scale-based psychological assessments.
  • Higher levels of social support and religiosity were found to be associated with reduced parenting stress, underscoring the importance of tailored interventions for this vulnerable population.

Keywords: Parenting stress, Social support, Religiosity, Special needs children, Psychological scales

Pendahuluan

Kehadiran Anak adalah sebuah harapan untuk setiap pasangan suami istri. Anak yang nantinya lahir tersebut akan memiliki masa depan yang dipenuhi harapan kebaikan akan keluarga. Gelar orang tua juga akan mereka miliki ketika anak tersebut telah terlahir dan hadir diantara mereka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) orang tua terdiri dari ibu dan ayah, ibu adalah individu yang berjenis kelamin perempuan. Baik yang melahirkan sendiri ataupun turut dalam mengasuh anak walaupun bukan anak yang dilahirkan dari rahimnya, sedangkan ayah berjenis kelamin laki-laki yang memiliki anak baik secara langsung (Kadung) maupun tidak. Cohen [1]menjelaskan bahwa ibu memiliki peran yang besar dan krusial dalam proses tumbuh kembang anak karena kedekatannya dengan anak jika dibandingkan dengan ayah yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Peran yang melekat pada ibu dapat menjadi sumber Stress tersendiri bagi seorang ibu, Stress itu akan semakin besar jika ibu memiliki anak dengan diagnosa berkebutuhan khusus[2].

Baik yang melahirkan sendiri ataupun turut dalam mengasuh anak walaupun bukan anak yang dilahirkan dari rahimnya sedangkan ayah berjenis kelamin laki-laki yang memiliki anak baik secara langsung (Kadung) maupun tidak. Cohen [1] menjelaskan bahwa ibu memiliki peran yang besar dan krusial dalam proses tumbuh kembang anak karena kedekatannya dengan anak jika dibandingkan dengan ayah yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Peran yang melekat pada ibu dapat menjadi sumber Stress tersendiri bagi seorang ibu, Stress itu akan semakin besar jika ibu memiliki anak dengan diagnosa berkebutuhan khusus.

Para orang tua juga berharap anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik. Padahal, proses tumbuh kembang anak tidak selalu selaras dengan yang diharapkan orang tua. Dalam beberapa kasus, orang tua harus menerima fakta bahwa bayi yang lahir memiliki gangguan . Berbagai kebertasan berupa kemampuan komunikasi, perilaku, dan interaksi sosial akan muncul bersamaan dengan adanya gangguan yang dimiliki anak. Autisme adalah salah satu gangguan yang dimiliki oleh beberapa anak yang kurang beruntung. Autisme terdiri dari 2 kata, yaitu auto yang berarti diri sendiri sedangkan isme pemahaman atau pandangan sehingga adalah pandangan anak yang seolah-olah mempunyai dunia sendiri gangguan ini sering juga disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD)[3]. Gangguan Autisme bukanlah gangguan yang dapat digolongkan kedalam golongan ganggua jiwa. Hal ini dikarenakan gangguan Autisme terjadi karena ada gangguan perkembangan diotak sehingga tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Koegel dan Lazbenik mengatakan bahwa gangguan neurobiologis berupa gangguan dalam system syaraf adalah penyebab utama dari gangguan autisme [4].

Ciri yang Nampak pada gangguan Autism adalah sulit membina hubungan dengan orang lain selain itu juga susah melakukan empati atau simpati dengan orang-orang yang berada disekitar[5]. Selain itu bahwa ada tiga gejala dasar yang dapat dilihat pada dirinya dalam banyak kasus sebagainya (1) penurunan kemampuan menafsirkan emosi orang lain dan intens; (2) mengurangi akses untuk interaksi sosial dan komunikasi; dan (3) keasyikan dengan subjek atau aktivitas.

Data yang dikumpulkan oleh Badan Penelitian Statistik (BPS) Sejak tahun 2010, Ada sekitar 140.000 anak dibawah umur 17 tahun yang mengidap gangguan Autisme [6]. Anak autis akan dapat diandalkan untuk berkomunikasi dan berperilaku [7]. Kondisi keterbatasan anak dengan gangguan dapat menimbulkan Stress pada orang tua. Hasilnya penelitian orang tua melaporkan tingkat Stress yang tinggi ketika berhadapan dengan anak-anak remaja dibandingkan dengan pre-remaja dan juga terlihat bahwa gaya pengasuhan permisif diadopsi ketika berhadapan dengan anak-anak pra-remaja. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar orangtua(81% dalam rentang klinis) memiliki tingkat Stress yang tinggi , oleh karena itu konseling, terapi dan penelitian yang tepat harus diberikan kepada orang tua untuk bentuk pola asuh yang paling tepat. Studi ini juga akan memberikan saran untuk perawatan yang tepat dan gaya pengasuhan yang paling efektif yang harus diadopsi oleh mereka dan juga untuk memberikan strategi koping yang tepat untuk mengenali orang tua, terutama ibu untuk memerangi tingkat Stress mereka yang tinggi. Penelitian ini membantu para orang untuk memilki pemahaman yang lebih baik tentang bentuk pola asuh yang efektif, pengaruh Stress ketika menghadapi anak dengan Austisme Spectrum Disorder. Dalam penelitian terdahulu ‘’Parenting Style and parents level of stress having children with autistic Spectrum disorder(CWASD) di Vietnam dengan populasi orang tua yang memiliki anak usia 3 sampai 6 tahun memberikan gambaran mengenai tingkat Stress yang dialami orang tua. Penelitian tersebut menggambarkan bahwa tingkat Stress pengasuhan akan lebih tinggi ditemukan pada ibu jika dibandinggkan dengan Ayah[8]. Adapun penelitian didukung dengan hasil penelitian terdahulu tentang’’ Family resilience and parenting stress in poor families’’ menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga ytang lebih rendah akan cenderung mengalami stress yang tinggi[9].

Stress pengasuhan dapat diartikan sebagai perasaan tidak menyenangkan, tidak nyaman, dan timbulnya sebuah kesulitan sebagai response langsung dari kegiatan dan pengalaman mengasuh anak [10]. Abidin mengatakan bahwa upaya dari adaptasi terhadap kegiatan mengasuh yang menantang, interaksi yang terjadi didalamnya, dan gaya pola asuh akan memunculkan response berupa kecemasan , perasaan tegang, dan beberapa reaksi fisiologis [11]. Stress akan menghasilkan energi pada individu untuk melakukan sesuatu agar dapat keluar dari Stressor, namun Stress yang berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan fisik, seperti ; gangguan pencernaan, kelelahan, sakit kepala, dan lainnya. Gangguan lain akibat Stress adalah bentuk gangguan psikologis yang lebih berat, seperti: kecemasan, depresi, gangguan mood bahkan keinginan untuk melakukan percobaan bunuh diri atau gangguan jiwa berat [12]. Salah satu artikel yang ditulis oleh Ramadhani penganiayaan orang tua terhadap anak yang ada dipalembang dengan ibu yang membunuh anaknya dikarenakan emosi kepada pasangannya dan melampiaskan kepada sang anak Bentuk lain dari Stress pengasuhan adalah penelantaran terhadap anak [13].

Stress pengasuhan dapat dijelaskan dalam beberapa aspek- aspek yang dapat dibagi menjadi 3 aspek. 3 aspek tersebut adalah Parent Domain, Child Domain, dan Parent Child Relationships [2]. Parent Domain didefinisikan sebagai Persepsi orang tua akan kecakapan mereka dalam merawat anaknya. Aspek ini biasanya berkaitan dengan kurang adanya dukungan dari kehidupan sosial disekitar, perasaan bersalah dan sebagainya. Child Domain didefinisikan sebagai penyebab dari Stress pengasuhan yang berhubungan dengan anak seperti kemampuan adaptasi dengan lingkungan, anak yang selalu meminta bantuan, emosi anak, sukar untuk patuh pada perintah dan situasi lainnya. Aspek terakhir yaitu Parent Child Relationships berhubungan dengan perasaan orang tua kepada anaknya seperti tidak adanya penguatan positif yang dirasakan oleh orang tua dari keberadaan anaknya, kondisi dari anak yang tidak memenuhi ekspetasi orang tua, dan tidak terciptanya sebuah kelekatan antara orang tua dan anak. Pola pengasuhan lain yang cenderung dilakukan oleh ibu dengan Stress pengasuhan yang tinggi adalah penelantaran.

Stress pengasuhan dipengaruhi oleh 4 faktor utama faktor tersebut diantaranya adalah Tuntutan, Kemampuan dari individu, sumber daya dari luar diri (eksternal) seseorang, dan Penilaian. Faktor yang dapat memancing stress orang tua adalah kemampuan eksternal dari orang tua seperti kurang adanya bantuan dan dukungan dari orang sekitar baik itu keluarga ataupun pemerintah Negara. Dukungan positif seperti dukungan sosial adalah hal yang sangat diperlukan orang tua dengan anak berkebutuhan khsusus untuk menjalankan tugasnya untuk mengasuh buah hati mereka [15]

Dukungan sosial sebagai sebuah dukungan untuk meningkatkan perasaan seseorang berupa pemberian rasa nyaman, memberikan penghargaan, dan perhatian ataupun dukungan dalam bentuk lain seperti dukungan berupa bantuan fisik, Psikologis, yang diterima oleh individu yang membutuhkan pertolongan dari individu lain atau kelompok. Pendapat lain oleh Saroson dalam [16] mengatakan bahwa dukungan sosial diartikan sebagai situasi dimana terjadi proses bertukar bantuan antara dua indiviu dengan individu lain sebagai sebuah pemberian dan penerimaan dukungan. Contoh situasi tersebut adalah bantuan berupa pemberian kenyamanan yang diberikan keluarga atau orang-orang terdekat.

Dukungan sosial adalah sebuah hal yang krusial dalam psikologi komunitas karena dukungan sosial berpotensi dapat membantu individu untuk memahami hubungan yang mereka miliki dengan orang lain sebagai suatu komunitas. Rasa senang, pemberian perhatian, penghargaan akan sesuatu, ataupun pemberian bantuan yang berasal dari orang lain atau kelompok adalah definisi dari dukungan sosial. Dukungan sosial adalah salah satu dari bagian fungsi dari ikatan sosial dimana kualitas umum dari suatu hubungan interpersonal dapat tergambarkan oleh ikatan sosial [17].

Dalam penelitian menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah hal yang penting karena orang-orang sekitar seperti teman dapat membantu untuk mendukung anak yang memiliki disabilitas untuk memberikan motivasi anak untuk lebih giat belajar. Dukungan ini dapat menjadi suatu pemberian kebutuhan pendidikan yang efektif yang akan bermanfaat bagi kedua belah pihak dari segi pendidikan ataupun lingkungan sosial. Penting untuk setiap individu untuk memiliki perasaan untuk memberikan dukungan sosial dapat dilakukan melalui penyampaian verbal seperti pemberian pujian, ataupun non verbal seperti pemberian hadiah. Individu yang menghadapi suatu permasalahan juga akan sangat membutuhkan dukungan sosial dalam bentuk pendampingan untuk membantu individu tersebut[18].

Manfaat dukungan sosial bagi anak berkebutuhan khusus diantaranya adalah membantu untuk mengurangi tingkat Stress, meningkatkan kendali diri melatih kesabaran serta memberikan relaksasi, dan juga meningkatkan keterampilan [19]. Sementara itu Individu yang memberikan dukungan sosial kepada orang-orang disekitarnya juga akan mendapatkan beberapa hal positif diantaranya meningkatkan rasa percaya kepada diri sendiri yang baik, perasaan diterima oleh lingkungan, merasa orang disekitarnya menyayanginya, merasa diperhatikan oleh lingkungan, dan merasa diberi pengakuan oleh lingkungan. Individu yang mendapatkan dukungan sosial yang cukup akan cenderung terhindar dari perasaan stress yang berlebihan. Anak berkebutuhan khusus akan memiliki kecakapan sosial yang lebih baik ketika bersekolah disekolah umum kepercayaan diri akan meningkat ketika seseorang memberikan atau mendapatkan dukungan sosial [20]. Dampak positif lain dari dukungan sosial dijelaskan oleh penelitian terdahulu tentang’’ Penggunaan Media gambar seri untuk mengingkatkan kemampuan menyimak’’ yang menjelaskan bahwa dukungan sosial dari individu dapat berpengaruh pada prestasi belajar seorang siswa[21].

Menurut beberapa apsek dukungan sosial ialah: a). Mencakup dukungan secara emosional yang terdiri atas pemberian ekspresi berupa simpati, atensi, dan rasa peduli kepada individu . b) Dukungan penghargaan yang berupa pemberian apresisasi positif pada orang sekitar. c) Dukungan Instrumental yang berkaitan dengan memberikan bantuan jasa ataupun bantuan langsung. d) dukungan informasi yang terdiri dari nasehat dan saran, petunjuk dan umpan balik [22].

Doa adalah sebuah media yang sering digunakan orang-orang untuk mengatasi emosi negatif yang berkaitan dengan ketidakberdayaan dan juga perasaan Stress. Sedangkan Religiusitas memiliki manfaat yang sangat penting bagi ibu yang memiliki anak jika ditinjau dari banyak aspek. Dister mendefinisikan religiusitas sebagai terjadinya keseragaman didalam diri karena terjadinya sebuah proses internalisasi agama didalam diri individu [23] Religiusitas dapat mendukung ibu tunggal dengan status sosial ekonomi yang rendah dalam menjalani kehidupan mengasuh anaknya. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa religiusitas dapat menjadi tameng atau factor protektif yang melindungi seseorang dari peristiwa yang bersifat menekan. hal yang serupa sekaligus menekankan bahwa religiusitas dapat mendorong perilaku pengasuhan yang positif dari orang tua terhadap anak [24]

Hasil penelitiain dari Ano dan Vasconcelles[18] menyebutkan bahwa nilai agama secara signifikat mempengaruhi penyesuaian terhadap stress pengasuhan. Religiusitas sebagai bentuk keberagaman dalam konteks keterdekatan yang lebih tinggi dari manusia kepada yang maha kuasa dimana itu memberikan rasa aman[25]. Semakin manusia mengakui adanya tuhan dan kekuasaan-nya, maka akan semakin tinggi tingkat religiusitasnya. Dengan arti keterdekatan yang tinggi antara manusia dengan yang mahakuasa sekaligus memberikan rasa aman bagi manusia tersebut. Semakin manusia membenarkan dan mengakui keberadaan tuhan, maka tingkat religiusitas pada manusia tersebut akan semakin meninggi pula. Religiusitas adalah bentuk hubungan antara manusia dengan penciptanya yang tergambarkan melalui agama yang telah terinternalisasi dalam diri individu dan tercermin pada sikap dan perilaku yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari[26].

Faktor yang mempengaruhi religiusitas seseorang diantaranya adalah pendidikan atau pengajaran yang didapatkan seseorang dan berbagai tekanan yang bersifat sosial [27]. Mahoney (2010) Berpendapat bahwa agama dapat menurunkan tingkat Stress pengasuhan dan meninggikan kepuasan seseorang sebagai orang tua secara lebih besar. Fungsi dari dampak yang ditimbulkan oleh religiusitas dapat diterapkan kepada ibu dengan anak yang memiliki ASD untuk menurunkan tingkat Stress pengasuhan yang dialami [28]

Religiusitas memiliki aspek dari religiusitas meliputi dimensi intelektual, dimensi ideologi, dimensi praktik publik, dimensi praktik pribadi, dimensi pengalaman religius[29]. Sesuai dengan penjelasan dimensi intelektual memahami tentang pengetahuan tentang agama, dimensi ideologi melekat pada memiliki keyakinan terhadap agama, publik adalah dimana seseorang berpartisipasi terhadap kegiatan keagamaan secara publik, seperti sholat berjamaah, mengikuti pengajian, dan sholat jum’at bagi umat islam laki-laki, dimensi praktik publik dapat menurunkan tingkat stress pengasuhan pada ibu karena ketika mengikuti pengajian, sholat berjamaah kita dapat bertemu dengan orang lain sehingga kita mendapatkan dukungan sosial dari orang – orang tersebut dan dapat menurunkan intensitas stress pengasuhan yang dialaminya.

Albrcth dan adleman (1987) mendefinisikan dukungan sosial sebagai komunikasi berbal dan non verbal antar penerima dan pemberu yang dapat mengurangi ketidak pastian dalam situasi diri, orang lain, maupun hubungan, dan juga dapat menambah persepsi positif seseorang dalam pengalaman hidup. Jadi dukungan sosial adalah suatu bantuan yang diberikan oleh orang lain yang dapat membuat seseorang individu merasa lebih tenang dan mempunyai kontrol dalam ketidakpastian. Namun dikungan soisal ini tidal akan mempengaruh apabila dalam diri individu yang diberi dukungan sosial merasa bahwa tidak ada dukungan sosial yang ia terima. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor individual juga penting dalam mempersepsikan dukungan sosial yang ia diterima dan juga dapat mempengaruhi stress pengasuhan. Keterlibatan agama orang tua tidak hanya membantu mengartikan tantangan penagsuhan dengan kepentingan sehari-hari bagi anak-anak, ketika keterkaitan agama lebih tinggi akan menurunkan stress pengasuhan dan meningkatkan kepuasan orangtua lebih besar.

Dari kajian teori diatas penelitian mengajukan hipotesis yang dilakukan oleh penelitian yaitu: adanya hubungan negatif antara dukungan sosial dan stress pengasuhan dan ada hubungan yang negatif antara reliusitas dan stress pengasuhan.

Metode

Pada penelitian kali ini menggunakan jenis penelitian korelasional, dimana menghubungakan dua variable atau lebih. Variable pada penelitian kali ini yaitu variable X yaitu X1 Dukungan sosial X2 Reigiusitas dan variable Y stress pengasuhan. Dalam penelitian ini menggunakan populasi sebanyak 30 orang dari ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Mi Nurul Islam Mojokerto. Untuk Teknik sampling yang digunakan yaitu Teknik sampling Jenuh, dimana sampel berjumlah 152 yang diambil untuk penelitian hanya ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus sejumlah 30.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan skala psikologi dengan metode skala Likert skala dukungan sosial terdiri dari 25 aitem (α= 0,724 ) diadopsi dari penelitian Rima Wahyuminanti[30]. Berdasarkan dukungan sosial yang diambil berdasarkan aspek-aspek dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental,dukungan informasi dan dukungan jaringan sosial, skala religiusitas (α= 0,903 ) yang diadopsi dari penelitian Rizka Yuniar Trisya[31] beberapa aspek yaitu dimensi intelektual, dimensi ideologi, dimensi praktik public, dimensi praktik pribadi dan dimensi pengalaman religiusitas sedangkan,skala stress pengasuhan (α= 0,885 )yang diadopsi dari peneliti Winastri[32] aspek skala stress pengasuhan dari barry dan jones yag mengacu pada 3 aspek The Parent Disters, The Difficult Child Dan The Parent Child Dysfungsional Interaction.

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk kuantitatif korelasional dengan tiga variabel, dua variabel bebas dan satu variabel tergantung sehingga metode analisis data yang digunakan adalah anareg atau regresi. Dalam proses analisis data ini, peneliti menggunakan perhitungan melalui software SPSS 25.0 for windows.

Hasil dan Pembahasan

A. Hasil Hasil Uji Normalitas pada table Kolmogorov Smirnov menunjukkan:

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
1 Unstandardized Residual
N 30
Normal Parameters a,b Mean .0000000
Std. Deviation 11.50276179
Most Extreme Differences Absolute .197
Positive .197
Negatif -.100
Kolmogorov-Smirnov Z 1.081
Asymp. Sig. (2-tailed) .193
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Table 1.Uji Normalitas

Dalam uji analisis data, Langkah pertama yaitu uji normalitas, tahapan ini untuk mengetahui data yang dikumpulkan sudah terdistribusi dengan normal atau tidak. Uji yang dilakukan menggunakan Uji One Sampel Kolmogorov dengan nilai taraf signifikan sebesar 0,193 atau (nilai >0,05) maka dapat diartikan data terdistribusi normal.

Uji Linieritas pada table dibawah menunjukkan :

ANOVA Table
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
s * r Between Groups (Combined) 4239.300 18 235.517 .989 .526
Linearity 1064.399 1 1064.399 4.469 .058
Deviation from Linearity 3174.901 17 186.759 .784 .684
Within Groups 2619.667 11 238.152
Total 6858.967 29
Table 2.Uji Linieritas

Langkah kedua, jika data sudah dinyatakan terdistribusi dengan normal maka dapat dilakukan Uji Linier dengan maksud untuk mengetahui ada hubungan linier atau tidak linier antara variabel penelitian berdasarkan tabel diatas untuk nilai taraf signifikan Deviation from Linearity sebesar 0,684 atau ( >0,05), maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa data terdapat hubungan yang linier antara religiusitas dengan stress pengasuhan.

Correlations a
Dukungan sosial Religiusitas Stress Pengasuhan
Dukungan Sosial Pearson Correlation 1 .239 -.613**
Sig. (1-tailed) .101 .000
Religiusitas Pearson Correlation .239 1 -.394*
Sig. (1-tailed) .101 .016
Stress Pearson Correlation -.613** -.394* 1
Pengasuhan Sig. (1-tailed) .000 .016
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
a. Listwise N=30
Table 3.Uji Hipotesis

Langkah selanjutnya dilakukan Uji Hipotesis bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh antara variabel independent terhadap variabel dependent. Dalam penelitian ini terdapat 2 hipotesis dimana jika taraf α< 0,05, maka terjadi hubungan linier signifikan antara variabel tersebut dan jika nilai signifikan (α >0,05) maka tidak terjadi hubungan yang signifikan. Pada tabel dapat dilihat bahwa penelitian kali ini nilai taraf signifikansi (α <0,05) yaitu sebesar 0,00, dapat diketahui bahwa koefisien korelasi (r ) dukungan sosial dengan stress pengasuhan sebesar -0,613 dengan taraf signifikan (p) 0,00< 0,005 yang menunjukan bahwa korelasi negatif yang sangat signifikan antara dukungan sosial maka akan semakin tinggi stress pengasuhan, sedangkan koefisien korelasi ( r) religiusitas dengan stress pengasuhan sebesar -0,394 dengan taraf signifikan (p) 0,00<0,05 yang menunjukan bahwa korelasi negatif yang signifikan antara religiusitas dengan stress pengasuhan yang artinya semakin rendah religiusitas maka akan semakin tinggi stress pengasuhan.

Hasil besar kekuatan hubungan yang terdapat pada variabel dukungan sosial, religiusitas dan stress pengasuhan bisa dilihat dari tabel ini:

Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .664a .441 .399 11.92118
a. Predictors: (Constant), ds, r
Table 4.Hasil Sumbangan Efektif

Berdasarkan pada tabel kekuatan hubungan antara ketiga variabel diketahui nilai R 0,664, sedangkan koefisien determinasinya (R Square) sebesar 0,441. Artinya hubungan dukungan sosial dan religiusitas sebesar 44,1% terhadap stress pengasuhan 55,9% dipengaruhi faktor lain.

Berdasarkan hasil tabel kategorisasi skor subjek pada masing-masing variabel menunjukkan:

Dukungan Sosial
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Rendah 3 10.0 10.0 10.0
Sedang 23 76.7 76.7 86.7
Tinggi 4 13.3 13.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
Table 5.Hasil Kategorisasi

Berdasarkan table diatas dapat diketahui bahwa subjek yang termasuk dalam kategori dukungnan sosial tinggi sebanyak 4 orang (13,3), kategori sedang sebanyak 23 orang(76,7%) dan kategori rendah sebanyak 3 orang (10%) yang berarti dukungan sosial pada subjek tergolong dalam kategori sedang.

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Rendah 4 13.3 13.3 13.3
Sedang 21 70.0 70.0 83.3
Tinggi 5 16.7 16.7 100.0
Total 30 100.0 100.0
Table 6.Religiusitas

Berdasarkan table diatas dapat diketahui bahwa subjek yang termasuk dalam kategoi tinggi 5 orang (16,7%), kategori sedang 21 orang(70%) dan kategori rendah 4 orang(13,3%) yang berarti subjek tergolong dalam kategori sedang.

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Rendah 4 13.3 13.3 13.3
Sedang 20 66.7 66.7 80.0
Tinggi 6 20.0 20.0 100.0
Total 30 100.0 100.0
Table 7.Stress

Berdasarkan table diatas dapat diketahui bahwa subjek yang termasuk dalam kategori tinggi sebanyak 6 orang (20%), kategori sedang sebanyak 20 orang (66,7%) dan kategori rendah sebanyak 4 orang (134,3%) yang berarti subjek tergolong dalam kategori sedang.

B. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara dukungan sosial, religiusitas dan secara bersama-sama memiliki hubungan terhadap stress pengasuhan pada ibu anak berkebutuhan khusus. berdasarkan koefisien korelasi (r) Dukungan sosial dengan stress pengasuhan sebesar-0,613 dengan taraf signifikan (p) 0,00<0,005 sehingga dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa dukungan sosial dan stress pengasuhan secara Bersama-sama dapat mempengaruhi dukungan sosial dan stress pengasuhan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi dukungan sosial dan religiusitas maka akan semakin rendah stress pengasuhan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan weiss [33] yang menyatakan bahwa ibu yang memiliki tingkat stress yang rendah dikarenakan adanya suatu dukungan sosial yang tinggi. Salah satu faktor eksternal dari stress pengasuhan yaitu dukungan sosial sangat berperan dalam peningkatan atau penurunan stress pengasuhan sesuai dengan hasil penelitian Ambarini [34] yang menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi stress pengasuhan pada seorang ibu yang memiliki anak autism. Faktor ini antara lain adalah dukungan sosial dan perilaku anak itu sendiri. Anak dengan gangguan autism menghindari kelekatan afeksi yang dapat menimbulkan stress pengasuhan pada ibu, sehingga dengan adanya dukungan sosial maka seorang ibu dapat lebih siap dalam menerima perilaku anak yang tidak terduga[35]. Penelitian yang menyatakan bahwa dukungan sosial secara eksternal membantu individu untuk dapat bertahan dari stress pengasuhan. Artinya seseorang yang memiliki tingkat dukungan sosial yang tinggi akan meminimalisir efek buruk dari stress pengasuhan yang sedang dihadapi [36].

Selain menguji korelasi dukungan sosial, peneliti juga menguji religiusitas dengan stress pengasuhan pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Mi Nurul Islam Mojokerto. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan aplikasi SPSS 25 for windows didapatkan bahwa koefisien korelasi ( r) religiusitas dengan stress pengasuhan sebesar -,394 dengan taraf signifikan (p) 0,00<0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa religiusitas memiliki hubungan negatif dengan stress pengasuhan. Artinya bahwa semakin rendah religiusitas maka akan semakin tinggi stress pengasuhan, dan begitu sebaliknya semakin tinggi religiusitas maka akan semakin rendah stress pengasuhan.

Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian terdahlu yang dilakukan oleh [25] dimana dalam penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa religiusitas tidak memiliki pengaruh terhadap stress pengasuhan. Dijelaskan lebih lanjut meskipun stress pengasuhan tidak memiliki pengaruh terhadap stress pengasuhan, namun dalam praktek pengasuhan religiusitas memiliki pengaruh yang positif. Diperkuat dengan penelitian bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara religiusitas dan stress pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis, dimana semakin tinggi religiusitas yang dimiliki ibu maka stress pengasuhan ibu semakin rendah ,dan begitupun sebaliknya jika semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi stress pengasuhan [25]. Penelitian yang dilakukan oleh Astria mengenai religiusitas dengan stress pengasuhan pada dewasa muda di Indonesia juga terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kedua variabel tersebut [7]. Berdasarkan perbandingan keduanya baik maupun peneliti ini menunjukkan hasil berupa korelasi negatif. Oleh sebab itu, peneliti mengasumsikan bahwa hubungan antara hubungan religiusitas dan stress tidak hanya berlaku secara umum saja, namun juga secara spesifik pada kehidupan sebagai seorang ibu yang menjalani peran pengasuhan terhadap anak dengan gangguan autism.

Stress pengasuhan ialah suatu kondisi dimana adanya tekanan fisik dan psikis akibat adanya tuntunan dari dalam diri dan lingkungan sekitar robbins 2001 menegaskan dimana ciri-ciri yang timbul pada fisik yaitu(biokimia, neurohormon dan imunitas) [12]. Berdasarkan penelitian yang dilakukan memiliki dukungan sosial memadai dapat mengurangi perasaan stress yang dimiliki oleh individu dan dapat menimbulkan kemampuan mengatasi stress dengan baik dengan menyadari berbagai tuntutan dan permasalahan yang dimiliki dan dapat ia atasi dengan baik [32].

Adapun dasar lain yang mendasari adanya hubungan antara religiusitas dengan stres pengasuhan. Dasar yang dimaksud pada hal ini yakni religiusitas dapat membantu individu dalam mengelola stres pengasuhan melalui strategi coping turning back to religion yang diklasifikasikan dalam jenis emotion focused coping yang diteliti oleh Carver & Scheier, (1989) Dasar ini yang dimaksud pada hal ini yakni religiusitas dapat membantu individu dalam mengelola stress pengasuhan melalui strategi coping turning back to religion yang diklasifikasikan dalam jenis emotion focused coping yang diteliti oleh [37]. memaparkan alasan seorang individu menggunakan religiusitas sebagai sarana coping , hal ini dikarenakan agama dapat menjadi sumber daya emosional invidu saat menghadapi hal-hal yang sulit seperti individu menjadi lebih sabar dan tabah dalam menghadapi hal-hal sulit dalam kehidupannya selain itu juga memaparkan jika strategi coping mampu menjadikan indivu memiliki perseptif yang lebih positif dalam memandang sesuatu hal misalnya ketika individu melihat kondisi sulit yang dihadapinya sebagai suatu proses pengembangan dirinya.

Religiusitas memiliki aspek dari religiusitas meliputi dimensi intelektual, dimensi ideologi, dimensi praktik publik, dimensi praktik pribadi, dimensi pengalaman religiusitas[29]. Sesuai dengan penjelasan dimensi intelektual memahami tentang pengetahuan tentang agama, dimensi ideologi melekat pada memiliki keyakinan terhadap agama, publik adalah dimana seseorang berpartisipasi terhadap kegiatan keagamaan secara publik, seperti sholat berjamaah, mengikuti pengajian, dan sholat jum’at bagi umat islam laki-laki, dimensi praktik publik dapat menurunkan tingkat stress pengasuhan pada ibu karena ketika mengikuti pengajian, sholat berjamaah maupun sholat jum’at kita dapat bertemu dengan orang lain sehingga kita mendapatkan dukungan sosial dari orang – orang tersebut dan dapat menurunkan intensitas stress pengasuhan yang dialaminya.

Hasil dan variabel kategori pada stress pengasuhan yang ditinjau bahwa ibu yang memiliki kategori tinggi sebesar 20,0% dari 6 responden sedangkan kategori sedang sebesar 66,7% dari 20 responden dan 13,3% dari 4 responden ketinggi. Hal ini menunjukan tingkat stress pengasuhan pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Mi Nurul Islam tergolong sedang ketinggi. Dari hasil pengkategorian diatas dapat diartikan bahwa stress pengasuhan yang dialami oleh orang tua sedang ketinggi hal ini berkaitan dengan situasi saat dilakukan penelitian ini sedang terjadi pandemi yang sangat berpengaruh pada kondisi mental seseorang. yang kemudian pandemi ini menjadi faktor lain yang mempengaruhi stress pengasuhan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa untuk menurunkan stress pengasuhan tersebut dapat dilakukan dengan mempertahankan dukungan sosial dan religiusitas orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Selanjutnya kategorisasi untuk dukungan sosial dengan kategori tinggi 13,3% dari 4 responden hal ini menunjukan dukungan sosial pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Mi Nurul Islam yang diterima tergolong tinggi. Lalu kategori religiusitas adalah rendah 10,0% sebanyak 3 responden, kategori sedang sebanyak 70,0% dari 21 responden. Hal ini berarti bahwa religiusitas yang terima ibu tergolong sedang dan kategori religiusitas memiliki kategori sedang sebanyak 70% .

Sumbangan efektif variabel didapatkan nilai sebesar 0,441 atau 44,1%. Dapat diartikan bahwa sumbangan efektif variabel variabel dukungan sosial dan variabel religiusitas pada stress pengasuhan ibu anak berkebutuhan khusus sebesar 44,1% sedangkan 55,9% dukungan sosial dan religiusitas dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi, seperti spritualitas, status sosial ekonomi, riwayat stress.

Penelitian mengenai hubungan antara dukungan sosial dan religiusitas dengan stress pengasuhan ini terdapat beberapa keterbatasan sehingga diperlukan beberapa perbaikan nantinya, keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian teknik pengambilan data yang menggunakan studi populasi dikarenakan terbatasnya jumlah subjek yang ada sehingga hanya mewakili populasi pada satu tempat saja.

Simpulan

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan terkait dengan hubungan dukungan sosial dan religiusitas dengan stress pengasuhan pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Mi Nurul Islam Mojokerto dapat ditarik kesimpulan dukungan sosial dan stress pengasuhan memiliki hubungan negatif yang artinya semakin rendah dukungan sosial maka semakin tinggi stress pengasuhan. Sebaliknya semakin tinggi dukungan sosial maka akan semakin rendah stress pengasuhan. Maka hipotesis penelitian ini dapat diterima. Berdasarkan uji kategorisasi hasil dan variabel kategori pada stress pengasuhan yang ditinjau bahwa ibu yang memiliki kategori tinggi sebesar 20,0% dari 6 responden sedangkan kategori sedang sebesar 66,7% dari 20 responden dan 13,3% dari 4 responden ketinggi. Hal ini menunjukan tingkat stress pengasuhan pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Mi Nurul Islam tergolong sedang ketinggi. Dari hasil pengkategorian diatas dapat diartikan bahwa stress pengasuhan yang dialami oleh orang tua sedang ketinggi hal ini berkaitan dengan situasi saat dilakukan penelitian ini sedang terjadi pandemi yang sangat berpengaruh pada kondisi mental seseorang. yang kemudian pandemi ini menjadi faktor lain yang mempengaruhi stress pengasuhan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa untuk menurunkan stress pengasuhan tersebut dapat dilakukan dengan mempertahankan dukungan sosial dan religiusitas orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Hal ini terjadi pada semua variabel dukungan sosial, religiusitas dan stress pengasuhan nilai koefisien determinasi dari ketiga variabel sebanyak 44,1%.

Dengan hasil penelitian tersebut, peneliti menyarankan kepada ibu dari anak berkebutuhan khusus untuk mempelajari pengasuhan yang baik dan benar untuk anak berkebutuhan khusus. Berkumpul dengan orang-orang yang senantiasa mendukung dan saling berbagi informasi dengan ibu-ibu lain yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus. Senantiasa berfikir positif dan menghadapi berbagai situasi sulit dan menekan sehingga dapat berfikir jernih dan mecari solusi yang tepat.

References

  1. D. V. Cohen, "Handbook of Autism and Pervasive Developmental Disorder, 2nd ed.," in Handbook of Autism and Pervasive Developmental Disorder, 2nd ed., 1997. [Online]. Available: https://psycnet.apa.org/record/1997-08927-000. Accessed: Dec. 30, 2022.
  2. R. Abidin, "Indeks Stres Pengasuhan Anak," 1995. [Online]. Available: https://psycnet.apa.org/record/2006-03622-011.
  3. R. A. A. Z. Ningrumyuliasetya, "399-1174-1-PB," 2018.
  4. Y. G. Valentine and K. M. Boer, "Pola Komunikasi Interpersonal Guru Terhadap Anak Autis Di SLB Ruhui Rahayu Samarinda," Online, 2019.
  5. E. Etanol, D. Waru, and G. Hibiscus, "Digital Repository Universitas Jember Bacillus cereus Digital Digital Repository Universitas Jember Jember," 2017. [Online]. Available: file:///D:/Jurnal file skripsi/Vanessa Jovanka Geraldhyne - 160210205041.pdf.
  6. I. F. Hikmah, "Pemenuhan Kuota Hak Pekerja Penyandang Disabilitas PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. (Alfamart)," 2022.
  7. N. Astria and I. Setyawan, "Studi Fenomenologi Resiliensi Ibu Yang Memiliki Anak Dengan Autisme," 2022.
  8. N. Tripathi, "Parenting Style and Parents Level of Stress having Children with Autistic Spectrum Disorder (CWASD): A Study based on Northern India," Neuropsychiatry, vol. 06, no. 01, pp. 42–49, 2016. doi: 10.4172/neuropsychiatry.1000107.
  9. Í. de C. P. da Silva, K. da C. Cunha, E. M. L. S. Ramos, F. A. R. Pontes, and S. S. da C. Silva, "Family Resilience and Parenting Stress in Poor Families," Estudos de Psicologia (Campinas), vol. 38, pp. 1–12, 2020. doi: 10.1590/1982-0275202138e190116.
  10. K. Deater-Deckard, "Parenting Stress," United States of America, 2004.
  11. I. Megasari and I. F. Kristiana, "Hubungan Antara Dukungan Sosial Suami Dengan Penerimaan Diri Pada Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome Di Semarang," 2016.
  12. N. Greene and Rathus, "Psikologi Abnormal," Surabaya, 2014.
  13. M. Ramdani, "Tinjauan Hukum Islam Tentang Peran KPAI Kota Palembang Dalam Implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak," Tinjauan Hukum Islam Tentang Peran KPAI Kota Palembang Dalam Implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak, 2018.
  14. E. P. Sarafino, "Health Psychology Biopsychological Interactions," John Wiley, New York, 2011.
  15. F. T. Rahmawati, "Hubungan antara Coping Strategy dengan Parenting Stress pada Ibu yang Memiliki Anak Autis," Jurnal Cognicia, vol. 7, no. 1, pp. 121–138, 2019. [Online]. Available: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/cognicia/article/view/8139.
  16. Baron & Byrne, "Social Psychology," Massachusetts: Pearson Education Company, 2000.
  17. B. Smet, "Psikologi Kesehatan," Jakarta: PT. Grasindo, 1994.
  18. L. Y. B. Muhammad, I. Muflikhati, and M. Simanjuntak, "Religiusitas, Dukungan Sosial, Stres, Dan Penyesuaian Wanita Bercerai," Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, vol. 12, no. 3, pp. 194–207, Sep. 2019. doi: 10.24156/jikk.2019.12.3.194.
  19. N. A. Murphy and D. M. Isaacowitz, "Preferences for Emotional Information in Older and Younger Adults: A Meta-Analysis of Memory and Attention Tasks," Psychol Aging, vol. 23, no. 2, pp. 263–286, Jun. 2008. doi: 10.1037/0882-7974.23.2.263.
  20. H. Jenaabadi and E. M. Shad, "Study of Attitude of Middle School Students Toward Schools Counselors’ Efficacy in Helping Them to Solve Their Study, Job Personal And Family Problems A R T I C L E I N F O," UCT Journal of Social Science and Humanities Research, vol. 2013, no. 04, 2013. doi: 10.24200/jsshr.vol1iss04pp27-30.
  21. T. Nurwanti, "Penggunaan Media Gambar Seri Untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak Cerita Pada Siswa Kelas II SD Negeri 04 Nambuhan Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2011/2012," 2012.
  22. E. P. Sarafino, "Biopsychosocial Interaction," New York, 2002.
  23. B. I. Martin et al., "Expenditures and Health Status Among Adults With Back and Neck Problems," 2008. [Online]. Available: www.jama.com.
  24. L. Y. B. Muhammad, I. Muflikhati, and M. Simanjuntak, "Religiusitas, Dukungan Sosial, Stres, Dan Penyesuaian Wanita Bercerai," Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, vol. 12, no. 3, pp. 194–207, Sep. 2019. doi: 10.24156/jikk.2019.12.3.194.
  25. A. T. D. Rahayu, S. Amalia, F. Psikologi, and U. Muhammadiyah Malang, "Religiusitas Dan Stres Pengasuhan Pada Ibu Dengan Anak Autis," 2019.
  26. R. Mayasari, S. Tinggi, A. Islam, N. Sultan, and Q. Kendari, "Mengembangkan Pribadi Yang Tangguh Melalui Pengembangan Keterampilan Resilience," 2014.
  27. W. Hutchinson, M. D. Thouless, and E. G. Liniger, "Growth And Configurational Stability Of Circular, Buckling-Driven Film Delaminations," 1992.
  28. K. Faciane, "The Effect Of Religiosity On Parenting A Child With Autism Spectrum Disorder," 2015.
  29. S. Huber and O. W. Huber, "The Centrality Of Religiosity Scale (CRS)," Religions (Basel), vol. 3, no. 3, pp. 710–724, Aug. 2012. doi: 10.3390/rel3030710.
  30. R. Wahyuminati, "Skripsi Format Baru Rima Wahyuminati."
  31. "SKRIPSI GABUNG RIZKA FIX.pdf."
  32. W. Harlinda, "Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Hardiness Dengan Stress Pengasuhan Pada Ibu Yang Memiliki Anak Autis," Eprints.ums.ac.id, no. autis, pp. 1–15, 2018. [Online]. Available: https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=hubungan+antara+dukungan+sosial+dan+hardiness+dengan+stress+pengasuhan+pada+ibu+yang+memiliki+anak+autis&btnG=
  33. J. A. Weiss, A. Wingsiong, and Y. Lunsky, "Defining Crisis In Families Of Individuals With Autism Spectrum Disorders," Autism, vol. 18, no. 8, pp. 985–995, Nov. 2014. doi: 10.1177/1362361313508024.
  34. A. Fitriani and T. K. Ambarini, "Hubungan Antara Hardiness Dengan Tingkat Stres Pengasuhan Pada Ibu Dengan Anak Autis," Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, vol. 02, no. 2, pp. 34–40, 2013. [Online]. Available: http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jpkkc9b6c2dcddfull.pdf
  35. A. T. D. Rahayu, S. Amalia, F. Psikologi, and U. Muhammadiyah Malang, "Religiusitas Dan Stres Pengasuhan Pada Ibu Dengan Anak Autis," 2019.
  36. A. F. Tri et al., "Hubungan Antara Hardiness Dengan Tingkat Stres Pengasuhan Pada Ibu Dengan Anak Autis," 2013.
  37. N. Siti, "Hubungan Spiritualitas Dengan Strategi Koping Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Wilayah Kerja Puskesmas Jenggawah Kabupaten Jember," 2018.