Islamic Psychology
DOI: 10.21070/ijis.v3i0.1583

The Relationship between Religiosity and Empty Nest Syndrome in the Elderly


Hubungan Religiusitas dengan Empty Nest Syndrome pada Lanjut Usia

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Empty nest syndrome religiusitas lanjut usia

Abstract

Empty nest syndrome is a description of feelings of emptiness or emptiness that can be indicated by empty feelings such as loss, sadness, depression that elderly people feel when their children leave the house where they grew up. The factor that is thought to contribute to the height or the size of the empty nest syndrome is religiosity. Religiosity is a state within the individual where the situation can influence the daily actions and behavior of Muslims to conform to Islamic teachings and practices. The purpose of this study was to determine the relationship between religiosity and empty nest syndrome in the elderly in Larangan Village, Sidoarjo. The subjects in this study amounted to 157 people with Non-Probability sampling technique with quota sampling method. Subject criteria are elderly who are over 60 years old, are in the prohibition market area, Sidoarjo, and have empty nest symptoms such as loneliness, emptiness in married life. Methods of data collection using the scale of religiosity and empty nest syndrome scale. Data analysis used product moment correlation data analysis with the results obtained (r = -0.631; = 0.000). This shows that there is a negative relationship between religiosity and empty nest syndrome, which means that the higher the religiosity, the lower the empty nest syndrome, and the lower the religiosity, the higher the empty nest syndrome.

Pendahuluan

Manusia akan mengalami perkembangan selama beberapa periode secara berurutan dan hal tersebut tidak mungkin mampu dihindari oleh manusia selama masa hidupnya. Periode tersebut mulai dari pranatal sampai ke lanjut usia. Masa-masa yang manusia lalui tersebut adalah tahapan-tahapan yang saling bertautan satu sama lain dan tidak akan bisa diulang dimana perkembangan individu sebelumnya akan mempengaruhi perkembangan manusia di tahap berikutnya. Tahapan akhir yang dilalaui manusia adalah tahapan lansia atau lanjut usia.

Lanjut usia atau masa lanjut usia merupakan tahapan akhir dalam kehidupan manusia. Hardyawinoto Dharmawati [1], menyatakan bahwa lansia adalah sekelompok manusia yang memiliki usia di atas 60 tahun. Hurlock [2], menyatakan bahwa usia penutup dalam hidup seseorang atau usia tua adalah periode terakhir dimana manusia beranjak dari periode menyenangkan terdahulu dan apabila mereka sudah beranjak dari periode menyenangkan terdahulu dan sering melihat masa lalu maka berefek pada rasa peyesalan dan adanya keinginan untuk hidup pada saat ini.

Dharmawati [1], mengatakan bahwa tanda-tanda menjadi lanjut usia adalah kemunduran biologis yang dapat dilihat dari kemunduran secara fisik seperti uban, kulit yang keriput, berat badan menurun, gigi yang tanggal sehingga sulit mengunyah, kurang mampu mendengar dengan jelas, kurang mampu melihat dengan jelas, adanya timbunan lemak di bagian tertentu. Sisi Psikologis yang muncul pada masa lansia ini adalah adanya perasaan tidak diinginkan, perasaan disisihkan, ikhlas dalam menerima fakta-fakta baru misalkan saja memiliki sakit yang susah disembuhkan dan ditinggal mati pasangan.

Alwisol [3], menyatakan bahwa tugas utama dewasa madya adalah meluaskan keterlibatan dirinya dan meningkatkan tanggung jawab secara pribadi maupun secara sosial seperti contohnya adalah memberikan bantuan kepada generasi di bawahnya untuk berubah jadi individu yang memiliki kompetensi lebih, dewasa, serta mampu menggapai karir sesuai dengan target. Hurlock [2], menyatakan bahwa tugas perkembangan masa dewasa madya ini meliputi dari penerimaan dan penyesuaian diri terhadap perubahan fisik, meberikan bantuan kepada anak mereka untuk berkembang menjadi individu yang dewasa dan memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri serta mempertahankan prestasi diri sendiri secara maksimal dalam bidang karirnya, memperluas kegiatan untuk mengisi jam-jam kosong. Sedangkan tugas perkembangan pada masa lanjut usia lebih banyak berubah karena adanya perubahan fisik. Erikson Alwisol [3], menjelaskan perkembangan psikososial masa lanjut ini ditandai oleh keintiman dengan orang di sekitar, generatif yang berhubungan dengan membentuk apa yang menjadi prioritas, dan terakhir adalah integritas untuk merawat hal-hal yang ada di sekitarnya.

Fakta di lapangan adakalanya kita jumpai lanjut usia yang kurang mampu menerima dan menghadapi masa tua yang menyebabkan mereka kurang mampu untuk menyesuaikan diri ketika memecahkan masalah yang mereka hadapi padahal para lanjut usia tersebut tentu saja menghadapi perubahan secara besar di segala aspek kehidupan mereka baik secara psikologis, sosial, maupun fisik. Salah satu permasalahan psikologis yang mereka hadapi adalah berhubungan dengan sindrom sarang kososng atau empty nest syndrome.

Empty Nest Syndrome merupakan kondisi deperesi yang dialami oleh para lanjut usia karena keadaan dimana ia mulai ditinggalkan anak-anaknya setelah menikah dan mulai meninggalkan rumah. Partini [4], menyatakan bahwa masalah serius yang sering dihadapi oleh para usia lanjut adalah empty nest syndrome, hal ini terjadi karena hilangnya peran sebagai ibu serta ditinggalkan anaknya yang telah menikah dan meninggalkan rumah membuat ia merasa sepi, sedih, kosong dan hal ini akan memunculkan deresi pada lansia tersebut. Pada waktu bersamaan, lanjut usia ini mengalami penuruan fisik yang sering membuat mereka merasa hidupnya tidak bermakna. Sindrom ini juga dialami oleh individu dengan usia yang cenderung muda tidak hanya dialami oleh para orang dengan usia lanjut. Ada hal sama yang khas yang mempengaruhi munculnya sindrom ini adalah tingkat kedekatan hubungan satu individu dengan individu lainnya berimbas pada tingkat sindrom sangkar kosong. Widodo dan Rachma [5], dalam hasil penelitiannya menjelaskan bahwa tiap individu di tahap lanjut usia akan merasakan perasaan kesepian ini dan tingkatan kesepian pada lansia berbeda meskipun dalam satu panti werdha yang sama. Dimana semakin dekat hubungan satu individu dengan individu lainnya sebelumnya, maka akan berpengaruh pada besarnya kemunculan sindrom sangkar kosong dan apabila sindrom ini nampak jelas, maka makin besar juga kecenderungan akan intensitas.

Gejala umum pada fase empty nest syndrome adalah a) perasaan kehilangan dimana orangtua tidak mampu lagi menjalankan peran dalam menjaga perasaan dan memelihara anak-anak mereka dikarenakan anak-anak para lansia ini tidak serumah lagi dengan para lanjut usia. Hal tersebut umum terjadi pada para lanjut usia yang memiliki kedekatan hubungan dengan anak-anaknya, b) Adanya perasaan sedih yang merupakan gabungan dari beberapa peristiwa yang ia alami dengan peristiwa hidup lainnya seperti contohnya mengalami pensiun dan penurunan dari segi fisik, c) Kekosongan dalam kehidupan yang dikarenakan oleh berkurangnya aktivitas maupun kegiatan harian yang dilakukan para lanjut usia dikarenakan anak-anak mereka sudah mampu secara mandiri, Mbaeze & Ukwandu [6].

Berdasarkan data dari Pusat Data dan Infromasi Kemenkes RI tahun 2017 [7] jumlah lansia di Indonesia mencapai 9,03% dari jumlah Penduduk Indonesia dengan jumlah 23,66 juta jiwa. Kemenkes juga menyebutkan bahwa pada tahun 2013-2015 tingkat kesakitan yang dialami lansia bertambah tiap tahunnya dari 24,8% di tahun 2013 menjadi 28,62% di tahun 2015. Sakit ini tidak hanya berhubungan dengan masalah fisik tetapi berhubungan juga dengan Psikologis yang dialami Lansia. Dilaporkan bahwa 10 lansia yang berusia di atas 65 tahun pada tahun 2017 mengalami rasa kesepian yang parah dan melanda di berbagai penjuru dunia tidak melihat apa negara tersebut maju atau berkembang, rasa kesepian yang parah itu didukung oleh penelitian dari Wibowo dan Rachma [5], yang menunjukkan bahwa adanya kesepian pada Lansia di Panti Werdha.

“Tidak enak mbak. Biasanya saya dahulu ada suami sama anak. Setelah suami meninggal dua tahun lalu dan anak-anak saya menikah semua, saya kadang tidak tahu seharian mau apa. Jadi kadang ke tetangga.”

“Saya kehilangan mbak ketika anak kami yang terakhir menikah. Saya sama suami saling menguatkan”

“Saya di bulan awal anak saya yang terakhir menikah sudah merasa stres mbak. Sering telpon anak saya Cuma menanyakan apa sudah makan atau sehat. Stres mbak”.

“Biasanya sama anak saya kemana-mana eh ini sendirian mbak. Suami sudah tidak ada terus mau apa-apa sendirian. Kangen sama anak tapi sadar diri anak sudah menikah, takut ganggu. Jadinya stres sendiri”.

“Ya mbak, setelah pensiun ini saya bingung mau ngapain, kerja juga gak ada kerjaan, anak juga jarang kesini, uang pensiunan juga gak cukup untuk biaya sehari-hari”

“Dulu waktu kerja mbak, temen saya banyak, kemana-mana selalu bareng-bareng sama teman. La… setelah pensiun ini, saya kan jarang bergaul sama tetangga ya! Jadi saya gak punya temen di sini, jadi saya stress mbak.”

Hal-hal yang mempengaruhi sindrom sangkar kosong adalah a) Perpisahan dimana mereka merasa bahwa dunia akan menjauh dari dirinya, b) Masa pensiun karena mereka belum siap untuk meninggalkan rutinitas pekerjaannya, c) Kondisi lingkungan dimana lanjut usia tinggal baru yang menyulitkan lansia karena mereka harus bisa beradaptasi dengan orang asing yang belum dikenalnya secara dekat, d) Hubungan atau relasi dengan lingkungan sekita atau orang di sekitarnya yang perlahan-lahan akan berkurang, e) Keadaan keuangan yang berkurang dibandingkan ketika mereka pada fase terdahulu yang mampu mencari uang secara mandiri, f) Posisi di lingkungan sosial dimana lansia merasa sepi dan diisolasi secara sosial yang sering mereka alami ketika mereka berada di fase lanjut usia.

Webber [8], menyebutkan bahwa hal tersebut sebenarnya adalah hal yang umum, masalah-masalah yang utama adalah berasal dari diri sendiri yang perlu diwaspadai apalagi jika dampaknya berkelanjutan seperti sering menangis tanpa sebab, merasa kesepian karena merasa tidak memiliki nilai ketika anaknya tidak lagi bersamanya yang akan menyebabkan depresi.

Efek negatif yang diakibatkan oleh perasaan sepi yang dialami oleh lanisa adalah turunnya kesehatan para lanisa. Rasa kesepian yang muncul mengakibatkan menurunnya kemampuan lanisa dalam menghadapi stres yang diterima akibat memiliki pemikiran ketidakmampuanya dalam mengatasi stres.

Hal utama yang harus segera diatasi oleh orang lanjut usia adalah masalah kesepian itu sendiri agar dapat lebih berdaya. Seseorang yang memiliki usia yang lebih panjang tidak hanya berfokus pada menjaga kesehatannya, akan tetapi juga menjaga mental dalam menyikapi fase kehidupannya, Santrock [9]. Dibutuhkan usaha-usaha yang besar dan keterampilan khusus untuk mengtatasi masalah yang muncuk ketika menghadapi masa tua.

Menurut Santrock [9], dalam menghadapi masa tua secara sukses menurut Teori optimisasi selektif dengan model kompensasi ini terkat dengan tiga faktor penting; seleksi, optimiasi dan kompensasi. Strategi konpensasi yang dilakukan oleh lanjut usia dalam mencegah beban dari permasalahan yang timbul adalah dengan mendekatkan diri dengan Tuhan, dengan ibadah, berdoa, dan menyembah Tuhan. Tingkat religiusitas yang tinggi dibutuhkan oleh lanjut usia untuk menghindari rasa kesepian yang mereka rasakan.

Agama sangat penting dalam kehidupan lanjut usia Neto, Orzeck, dan Rokach [10] yang menyatakan di dalam penelitiannya bahwa ada berbagai macam cara dalam mengatasi kesepian salah satunya adalah agama dimana ada kebutuhan akan Tuhan dimana seseorang akan merasa lebih kuat dan merasa lebih damai secara batin.

Religiusitas adalah suatu unsur yang komprehensif yang menjadikan seseorang menjadi beragama, bukan sekedar hanya mengakui memiliki agama, Djarir [11]. Aspek spiritual berperan utama untuk semua gender terutama kepada lanjut usia untuk mentasai rasa kesepian dan hampa yang ada di dalam diri mereka. Jika para lanjut usia ini mendapatkan dukungan cukup dalam spiritual maka afeknya mereka akan merasa percaya diri dan mampu melakukan apapun dalam menghadapi kehidupannya.

Religiusitas adalah merupakan suatu kondisi yang terdapat di dalam diri individu yang mampu mendorongnya untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ketaatannya kepada agama. Manfaat religiusitas adalah mendapatkan rasa aman, tidak takut, dan tidak cemas dalam menghadapi permasalahan yang ada, Darajat Azizah [12]. Dari manfaat religiusitas tersebut dapat membantu lansia dalam mengatasi masalah-masalahnya. Hal tersebut ditunjang oleh hasil penelitian Putri [13] yang meneliti hubungan antara religiusitas dengan kesejahtereaan psikologis pada lansia muslim yang menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas dengan kesejahteraan psikologi lansia. Wiyono dan Hardianti [14], menyatakan dalam penelitiannya bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan kualitas hidup lansia dimana semakin religius lansia tersebut maka kualitas hidup mereka akan semakin baik dan memberikan ketenangan jiwa dan raga bagi lansia. Rajawane [15], dalam hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa lansia yang mempunyai tingkat religiusitas yang tinggi akan mendapatkan kesejahteraan yang juga tinggi dan sebaliknya para lansia yang mempunyai tingkat religiusitas kurang atau rendah maka akan mempunyai kesejahteraan psikologis yang rendah . Penelitian lain dari Mabruroh [16], yang menyatakan bahwa pengalaman shalat berjama’ah dapat mengurangi sindrom sangkar kosong pada lansia di Yayasan Al-Jenderami Selangor, Malaysia.

Aspek religiusitas menurut Olufadi [17] adalah tindakan berdosa yaitu tindakan yang mana kalau dilakukan mendapatkan dosa kecil maupun dosa besar, tindakan yang dianjurkan yaitu tindakan yang memiliki dampak positif bagi kehidupan individu, dan ibadah fisik yakni tindakan yang harus dilakukan dan diatur oleh agama serta melibatkan penggunaan bagian tubuh atau seluruh tubuh, misalnya ibadah shalat.

Dari penjelasan yang telah dijelaskan di atas maka dapat diketahui bahwa sindrom sarang kosong yang dialami oleh para lanjut usia dapat diatas dengan maksimal menggunakan pendekatan agama. Para lanjut usia yang merasa dekat dengan agama merasa mampu mengatasi sindrom sangkar kosong. Namun, kenyataannya bahwa tidak semua orang yang lanjnut usia memiliki kebutuhan religiusitas yang tinggi. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara Religiusitas dengan Empty Nest Syndrome pada Lansia di Desa Larangan, Sidoarjo.

Metode Penelitian

Penelitian yang akan dipakai adalah jenis penelitian tipe kuantitaif yang memakai teknik penelitan mendeskripsikan variabel. Azwar [18], menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif korelasional adalah penelitian yang ingin mengetahui kekuatan dan arah dari hubungan yang ada pada variabel-variabel dalam penelitian. Kesimpulannya adalah penelitian ini memiliki tujuan apakah ada hubungannya dari dua variabel yaitu Religiusitas dengan kecenderungan sindrom sangkar kosong pada Lanjut Usia di Desa Larangan, Sidoarjo.

Penelitian ini menggunakan teknik non probalility sampling dengan metode quota sampling Penelitian kuantitatif adalah jenis dari penelitian yang pendekatannya menggunakan angka-angka yang telah didapatkan oleh peneliti dalam bentuk data kemudian angka tersebut akan dianalisis menggunakan perhitungan secara statistik, Azwar [18]. Teknik penelitian kuantitatif yang digunakan adalah apakah ada hubungannya dari dua variabel yaitu Religiusitas dengan kecenderungan sindrom sangkar kosong pada Lanjut Usia di Desa Larangan, Sidoarjo. Populasi di desa larangan memiliki warga sejumlah 9.843 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 4.975 sedangkan perempuan sebanyak 4.868 jiwa, dan untuk lanisa sendiri berjumlah 756 jiwa dengan klasifikasi laki-laki sebanyak 402 jiwa, sedangkan perempuan 354 jiwa dengan jumlah sampel 157 sampel lansia dengan klasifikasi laki-laki 89 jiwa dan perempuan 68 jiwa di Desa Larangan, Kabupaten Sidoarjo.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala religiusitas oleh Olufadi yang diambil dan dimodifikasi dalam penelitian Deviana [17], yang berjudul Muslim Daily Religiosity Assessment Scale (MUDRAS): A New Instrument for Muslim Religiosity Research and Practice dan Skala Empty Nest Syndrome yang dipakai adalah skala yang dibuat oleh Kearney [19].

Teknik analisis data yang digunakan adalah product moment Pearson untuk melihat hubungan antara Religiusitas dengan Empty Nest Syndrome pada wanita lanjut usia, dengan estimasi reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach, uji normalitas menggunakan Kolmogorof-Smirnov dan Shapiro-Wilk. Perhitungan menggunakan program SPSS 20.00 for Windows.

Hasil dan Pembahasan

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan dari hasil data analisa di atas, hasil penelitian menunjukkan koefisien korelasi = -.631** dengan signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05). Hasil ini menunjukkan ada korelasi negatif antara religiulitas dengan empty nest pada lanisa. Hasil ini membuktikan bahwa religiulitas dapat diartikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi empty nest pada lansia di desa Larangan.

B. Pembahasan

Penelitian ini juga mendukung yang dilakukan oleh Rahmi, Ibrahim, dan Rinaldi [20] melakukan penelitian mengenai “Religiusitas dan Kesepian pada Lansia PWRI Cabang Koperindag Sumatera Barat” yang hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif antara religiulitas dan kesepian pada lansia. Hal ini menunjukkan bahwa religiulitas menjadi salah satu strategi yang dipilih oleh para lanisa untuk menngatasi rasa empty nest yang dimiliki oleh lanisa. Religiulitas sendiri adalah suatu keadaan dalam diri individu di mana keadaan tersebut dapat mempengaruhi tindakan dan perilaku sehari – hari umat muslim agar sesuai dengan ajaran dan praktik Islam. Adapun aspek-aspek dalam religiulitas ini seperti tindakan berdosa, tindakan yang dianjurkan, dan ibadah fisik, Olufadi [17].

Ritual dalam beribadah adalah hal yang sangat penting untuk meringankan hati dan membuat hubungan lansia terhadap masa yang telah ia alami dan yang belum ia alami. Intimacyatau memiliki hubungan akrab dengan orang lain yang belum terpenuhi membuat munculnya rasa kesepian terhadap lanisa. Namun hal itu dapat terhindari dengan melakukan konpensasi pemberdayaan kedalam dengan pendekatan secara spiritual. Dengan mendekatkan diri dengan tuhan, para lansia dapat bergantung serta mencurahkan keluh kesahnya, hal ini membuat sindrom empty nest yang dimiliki rendah, Rokach [10].

Berbeda dengan lanisa yang memiliki religiulitas rendah, kurangnya ritual dalam beribadah membuat para lanisa, merasa tidak memperoleh rasa perlindungan, tempat berkeluh kesah dari Tuhan membuat ia kurang mendapatkan ketenangan sertaa hiburan dalam hatinya serta rasa kesepian akibat intimacy akrab yang tidak terpenuhi dengan keluarga terekat atau orang-orang yang ada di sekitarnya membuat sindrom empty nest yang dimiliki oleh lansia semakin tinggi.

Rathus & Greene [21], empty nest muncul disebabkan karena beberapa keadaan seperti adanya perpisahan atau terpisah jauh bersama keluarga atau orang terdekatnya, kurangnya komunikasi antar anak-anak, serta tidak memiliki kesibukan. Rasa empty nest ini juga dirasakan oleh lanisa beberapa saat setelah mereka pension atau telah ditunggalkan anaknya dari rumah. Hal-hal yang dapat mereka lakukan dalam hal ini lansia adalah menggunakan waktu dengan maksimal, mampu menghabiskan waktu yang luang dengan melakukan kegiatan yang memiliki manfaat seperti mendekatan diri kepada Tuhan, beribadah dan serta membaca Al-Quran dan buku-buku agama lainnya agar dapat terhidar dari sindrom empty nest.

Terdapatnya hubungnn yang signifikan antara religiulitas dan empty nest memperlihatkan bahwa religiusitas menjadi suatu hal yang penting bagi kehidupan para lansia untuk menghadapi empty nest. Lansia yang memilki kualitas yang baik dalam beragama akan berdampak pada kehidupannya, dimana jika semakin religious maka kehidupannya akan semakin terarah. Seseorang yang memiliki religiulitas yang tinggi, ketika mereka mendapatkan masalah mereka tidak akan langsung menaggapinya secara negatif. Mereka akan melakukan tindakan-tindakan yang positif seperti tidak melaukan hal-hal yang membuat dosa kecil ataupun besar sehingga ia tidak mengalami empty nest dengan menaggapi permasalahan yang dihadapi dengan sikap negatif seperti stress dan depresi.

Berbeda dengan orang yang memiliki tingkat religiulitas yang rendah, ketika mendapatkan masalah ia akan menaggapinya dengan negatif. Selalu berprasangka buruk terhadap dirinya atau Tuhanya. Ketidak percayaan akan takdir yang ditermia membuat ia mudah mengalami sindrom empty nest seperti mudah stress dan depresi.

Lansia yang memiliki religiulitas yang tinggi mampu mengatasi sindrom empty nest dengan melakukan berbagai kegiatan religius seperti sholat, mengikuti pengajian dan sebagainya. Religiulitas juga mampu membangkitkat aspek sosialnya dengan mengikuti kegiatan keagamaan yang dimiliki membuat mereka mendapatkan kesempatan untuk membangun relasi bersama orang-orang. Kepercayaannya dalam beragama membuat emosionalnya menjadi lebih percaya diri dalam menjalani hidup serta mampu mengatasi sindrom empty nest nya seperti sulit berhubungan dengan orang lain.

Lansia yang memiliki religiulitas yang rendah mereka cenderung labih mudah untuk mengalami sindrom empty nest. Ketidak mampuanya dalam menjalani ibadah secara khusuk dan tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan membuat ia mengalami krisis kepercayaan diri dalam berinterakasi sosial. Hal ini membuat ia menjadi sulit untuk berhubungan dengan orang lain sehinga rasa keseipan akan selalu menghampiri para lansia.

Adapun kelemahan dalam penelitian ini ialah kurangnya teori –teori yang membahas tentang empty nest syndrome yang menyebabkan kesulitan yang di alami peneliti dalam membuat instrument penelitian sehingga harus menggunakan instrumen yang sudah diuji coba oleh peneliti sebelumnya yang membahas tentang sidrom sangkar kosong. Selanjutnya adalah efek dari pandemi virus Corona ini yang membuat peneliti terbatas dalam pengambilan data yang bisa dikumpulkan menjadi satu akhirnya didatangi satu persatu. Lalu adanya keterbatasan dalam pengambilan tempat yang hanya satu desa saja dengan corak budaya yang sama. Maka dari itu diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian di beberapa desa yang memiliki corak budaya yang berbeda.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa hasil analisis data terhadap subjek sampel yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa nilai uji r, diperoleh rhitung variabel religiulitas dengan empty nest pada lanisa sebesar = -.631** dengan p > 0,05 (p=0,000). Hasil ini menunjukkan ada korelasi negatif antara religiulitas dengan empty nest pada lansia yang berati semakin tinggi tingkat religiulitas pada lanisa maka semakin rendah empty nest yang dimiliki oleh lansia, begitupun sebaliknya semakin rendah tingkat religiulitas pada lansia maka semakin tinggi tingkat empty nest pada lanisa.

Religiulitas tinggi biasanya akan itandai dengan ibadah fisik yang tinggi, tindakan berdosa yang rendah, serta memiliki aktifitas-akifitas keagamaan tinggi. Sedangkan untuk religiulitas rendah paa lansia kan mudah melakukan dosa, jarang melakukan ibadah fisik, serta enggan melakukan aktifitas-aktifitas keagamaan bersama. Untuk empty nest, lanisa yang memiliki empty nest yang rendah, meraka tidak akan merasakan sedih atau kesepian ketika ditinggalkan anaknya, mudah bersemangat dalam menjalani hidup, dapat menjalani kegiatan yang baik serta positif bersama teman orang disekitarnya, memiliki daya berkonsentrasi yang baik, serta muda berhubungan dengan orang lain. Berbeda dengan lansia yang empty nest tinggi, mereka cenderung kesulitan dalam menjalani hubungan dengan orang sekitar, sering merasa sedih saat ditinggalkan anaknya, kurang bersemangat dalam menjalani hidup, sulit berkonsentrsi ketika sedang melakukan kegiatan, serta kurangn mengikuti kegiatan-kegiatan yang positif.

References

  1. Alwisol. 2014. Psikologi Kepribadian. Malang : UMM Press.
  2. Azizah, Batubara. 2017. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Psychological Well Being Ditinjau Dari Big Five Personality Pada Siswa Sma Negeri 6 Binjai. Al-Irsyad: Jurnal Pendidikan dan Konseling Vol. 7, No. 1, Edisi Januari-Juni 2017.
  3. Azwar, Saifuddin. 2017. Dasar-dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  4. Dharmawati, M. A. 2016. Upaya-upaya mencegah sindrom sarang kosong pada lanjut usia perempuan di banguntapan, Bantul. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
  5. Djarir, I. 2004. Erosi Moral dan Pemahaman Kembali Agama. www.suaramerdeka.com, diakses pada 06 Juni 2020.
  6. Gunarsa, S. D. 2006. Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai Psikologi Perkembangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  7. Hardianti, Wiyono dan Hardianti. 2018. Hubungan Tingkat Religiusitas Dengan Kualitas Hidup Lansia Kelurahan Tlogomas Kota Malang. Jurnal Universitas Tribhuwana Tunggadewi.
  8. Hurlock, E. B. 2018. Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
  9. Kearney, S.M. 2002. Exploring The Empty Nest Transition. Detroit, michigan: college of lifelong. Diakses Januari 2020. http://www.is.wayne.edu/mnissani?SE/kearney.htm
  10. Kementerian Kesehatan RI. 2017. Analisis Lansia di Indonesia. Jakarta Selatan: Pusat Data dan Infromasi.
  11. Mabruroh, Muna Inas. 2018. Shalat Berjama’ah Dalam Mengurangi Empty Nest Syndrome Pada Lansia Di Yayasan Al-Jenderami Selangor Malaysia. Skripsi Thesis, Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta.
  12. Mbaeze, I.C, and Ukwandu, Elochukwu. 2011. Empty-Nest Syndrom, Gender and Family Size as Predictors of Aged’s Adjustment Pattern. Pakistan Journal of Social Science 8 (4): 166-171, 2011. Nigeria: Imo State University.
  13. Nevid, Jeffrey S, Rathus & Greene. 2014. Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta: Salemba Humanika.
  14. Olufadi, Y. 2016. Muslim Daily Religiosity Assessment Scale (MUDRAS): A NewInstrument for Muslim Religiosity Research and Practice. Psychology of Religionand Spirituality, 115. doi:10.1037/rel0000074.
  15. Partini, Siti Suardiman. 2011. Psikologi Usia Lanjut Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  16. Putri, Lintang Seira. 2013. Hubungan Antara Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis pada Lansia Muslim.Skripsi. Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  17. Rahmi, F., Ibrahim, I., & Rinaldi. 2016. Religiusitas Dan Kesepian Pada Lansia PWRI Cabang Koperindag Sumatera Barat. Jurnal Psikologi, 3(2), 175- 185.
  18. Rajawane, Indra & Chairani, Lisya. 2011. Hubungan Religusitas Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Lanjut Usia. Jurnal Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau Vol 7, No. 1.
  19. Rokach, A., Orzeck, T., & Neto, F. (2004). Coping with Loneliness in Old Age: A Cross-Cultural Comparison. Current Psychology: A Journal for Diverse Perspectives on Diverse Psychological Issues, 23(2), 124–137. https://doi.org/10.1007/BF02903073
  20. Santrock, J. W. 2002. Life Span Development; Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.
  21. Webber, C., & Delvin, D. 2005. Empty Nest Syndrome. Retrieved July, 2016, from www.netdoctir.co.uk.
  22. Widodo, Iwan Sulistio & Rachma, Nurullya. 2014. Studi Komparatif : Tingkat Kesepian pada Lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Panti Wening Wardoyo Ungaran dan Lansia Yang Tinggal di Komunitas. Jurnal Keperawatan Komunitas . Universitas Diponegoro. Volume 2, No. 2, November 2014; 76-80.