Religiosity, Self-Esteem, and Parental Involvement in Child Education
Keagamaan, Harga Diri, dan Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak
DOI:
https://doi.org/10.21070/ijis.v13i4.1789Keywords:
Parental Involvement, Religiosity, Self-Esteem, Mediation, ParentingAbstract
General background: Parental involvement is a crucial factor in supporting children’s learning development, yet many parents remain insufficiently engaged in their child’s education. Specific background: Religiosity has been associated with parenting practices, but its role in shaping parental involvement remains inconclusive, particularly when psychological constructs such as self-esteem are considered. Knowledge gap: Prior studies often examined religiosity and parental involvement separately, with limited attention to self-esteem as a mediating variable. Aims: This study investigates the relationship between religiosity and parental involvement, with self-esteem serving as a mediator. Results: A survey of 248 parents from SDN X in Krian District, Sidoarjo, analyzed using a mediation path model, revealed that religiosity had a significant direct relationship with parental involvement (z = 3.625, p < 0.001). Additionally, self-esteem significantly mediated this relationship (z = 2.324, p = 0.020). Novelty: The study demonstrates the psychological pathway by which religiosity translates into active parental participation through self-esteem, adding a new dimension to existing parenting models. Implications: Findings suggest that strengthening both religiosity and parental self-esteem may foster more consistent involvement in children’s education and care.
Highlights:
-
Religiosity directly predicts parental involvement.
-
Self-esteem significantly mediates this relationship.
-
Study introduces a psychological pathway in parenting research.
Keywords: Parental Involvement, Religiosity, Self-Esteem, Mediation, Parenting
Pendahuluan
Pendidikan adalah komponen penting yang harus dimiliki individu di dunia ini karena pendidikan merupakan bekal diri untuk menghadapi dunia dalam bersosial [1]. Bukan hanya tentang pengetahuan intelektual tetapi juga sosial, etika maupun adab. Bronfenbrenner mengamati pola perkembangan sepanjang waktu serta interaksi antara anak dan lingkungan [2]. Implikasi teori tersebut mencakup kebijakan dan praktik sosial dan politik yang mempengaruhi anak-anak, keluarga, dan pengasuhan. Berdasarkan teori ekologi yang dikembangkan oleh Bronfenbrenner, mendorong banyak pertimbangan tentang apa yang dimaksud dengan interaksi yang mendukung dalam mendorong perkembangan individu [1]. Hal ini tidak hanya membantu mengidentifikasi apa yang mempengaruhi perkembangan, tetapi juga menjelaskan bagaimana dan mengapa hal tersebut terjadi. Selain itu, teori ini membantu mempertimbangkan cara menambah, mengurangi, atau meningkatkan interaksi untuk mendukung perkembangan. Yang melibatkan interaksi langsung antara individu yang berkembang dan agen di lingkungannya dapat diubah sepanjang tahap perkembangan manusia.
Salah satu kajian psikologi terkait perkembangan individu adalah tahap perkembangan anak sekolah yang sering disebut dengan anak sekolah dasar. Anak usia Sekolah Dasar (SD) adalah mereka yang memasuki usia 6 hingga 12 tahun [3]. Anak usia sekolah rentan terhadap permasalahan gizi dan kesehatan [4]. Menurut Havigusrt pada usia 6-12 tahun terdapat 8 tugas perkembangan, diantaranya: mempelajari keterampilan fisik dengan prinsip bermain, pengembangan sikap yang lebih baik, mengembangkan area belajar/bermain dengan teman sebaya yang sebelumnya orang dewasa dikeluarga khusunya orangtua/pengasuh, mulai memiliki minat menerapkan peran sesuai gender, mempelajari ketrampilan dasar, mengembangkan ide/ekplorasi hal baru, perkembangan moral dengan menilai benar dan salah, mengembangkan nilai-nilai dan hati nurani, dan mengembangkan sikap terhadap kelompok dan lembaga sosial [5]. Perkembangan anak-anak juga ditentukan oleh pengasuhan orang tua. Pola pendidikan dan pengasuhan anak pada zaman modern seperti sekarang ini berdiri diatas tiga “pilar” utama: Rumah (keluarga), Masyarakat (tetangga sekitar) dan Sekolah (guru dan teman sekolah). Ketiga pilar tersebut harus berdiri secara kokoh dan memenuhi porsinya masing-masing. Apabila salah satu pilar tersebut kurang diperhatikan maka sering kali menjadi titik lemah bagi masa-masa pertumbuhan seorang anak. Penelitian yang dilakukan oleh Puspa dan Marlina mengulas mengenai peran orang tua dalam menunjang pendidikan anak di rumah dan di sekolah menunjukkan keterlibatannya sebesar 83,98% dimana nilai ini dapat dikatakan bahwa peran orang tua dalam kategori cukup berperan yang menunjang pendidikan anak [6].
Orangtua didefinisikan sebagai peran penting dalam keluarga khususnya dalam mengasuh dan mendidik seorang anak. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak hal ini diatur dalam Undang-Undang no 35 tahun 2014 [7]. Keterlibatan orang tua dalam aspek pendidikan memiliki dampak yang signifikan terhadap motivasi anak dalam belajar. Seperti orang tua dapat membantu anak mengurangi perilaku bermasalah dan meningkatkan fokus mereka dalam proses belajar [8]. Keterlibatan orang tua akan memberikan manfaat bagi anak, orang tua dan guru atau program sekolah. Orang tua juga akan mendapat keuntungan tersendiri dari keterlibatan mereka dalam pendidikan anak, diantaranya adalah kepercayaan diri dan kepuasan dalam mengasuh anak mereka [9]. Keterlibatan orang tua dapat menjadi salah satu tolak ukur dari proses terlaksananya pendidikan anak yang baik.
Epstein menjelaskan bahwa keterlibatan orang tua terbagi menjadi 6 aspek diantaranya adalah 1) parenting di mana orang tua melaksanakan peran dan tanggung jawab mereka sebagai pengasuh, 2) communication yaitu usaha orang tua untuk membangun komunikasi efektif dengan pihak terkait, 3) volunteering yaitu secara sukarela melakukan pendampingan kepada anak, 4) learning at home yaitu proses pengawasan belajar dirumah,5) decision making yaitu proses dimana orang tua mengambil keputusan mengenai edukasi anak, dan yang terakhir 6) collaborating with community yaitu berkolaborasi dengan komunitas untuk menunjang edukasi anak [10]. Selain itu Andersen mengatakan terdapat salah satu aspek dari keterlibatan orang tua yaitu aspek afektif, aspek ini berkaitat dengan sifat emosional seperti minat, sikap, perasaan, dan rasa patuh terhadap moral [11]. Selanjutnya Morrison [12] menjelaskan bahwa orang tua yang terlibat akan menggunakan segala kemampuannya, guna menunjang kesuksesan anaknya serta program pembelajaran itu sendiri.
Keterlibatan orang tua berpengaruh kepada persepsi anak terhadap dukungan emosional orangtua, hingga meningkatkan motivasi belajar. Orang tua yang lebih terlibat akan membantu meningkatkan motivasi anak dalam belajar, membantu anak merasa percaya diri dan termotivasi untuk mencapai kehidupan akademik yang lebih sukses. Orang tua juga berperan dalam membentuk karakter dan kebiasaan yang baik, namun masih banyak orang tua yang masih mengandalkan sekolah dan guru untuk menyelesaikan hal tersebut. Hal ini terbukti dengan seperti pada fenomena salah satu SDN di Depok, dimana peran orang tua dalam mendampingi anak atau keterlibatan orangtua dalam kegiatan belajar siswa masih cenderung rendah [13]. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Fane dan Sugito [14] menunjukkan hasil terdapat hubungan positif dan signifikan antara keterlibatan orang tua dan prestasi belajar. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketika keterlibatan orang tua rendah maka prestasi belajar anak juga rendah. Padahal seperti yang diketahui keterlibatan orang tua pada aspek pendidikan anak akan mendatangkan dampak yang positif terhadap prestasi belajar mereka.
Fenomena tersebut serupa dengan yang terjadi di SDN X di kecamatan Krian Sidoarjo jika didasarkan pada data kualitatif yang telah dikumpulkan. Wawancara juga dilakukan kepada 2 orang tua siswa SDN X di kecamatan Krian Sidoarjo. Orang tua pertama single parent dari usia anak 7 tahun yang menyatakan jarang berinteraksi dengan anak karena waktu terkuras dengan bekerja diluar rumah mulai pagi hingga sore. Dan perannya digantikan oleh kakek dan neneknya. Sebagai konsekuensi cenderung membantu dalam pengerjaan tugas dan berpartisipasi dalam kegiatan sekolah hanya diwaktu hari libur kerja. Wali murid kedua (ibu rumah tangga), setiap hari selalu menyiapkan segala kebutuhan anaknya mulai dari bekal, mengantar dan menjemput sekolah, mengajari anaknya ketika mendapat tugas dari sekolah, serta ikut berpartisipasi ketika anak ada kegiatan di sekolah. Artinya masih ada masalah terkait keterlibatan orangtua terhadap belajar anak dari fenomena diatas khususnya pada aspek communication.
Arisya’bani menyebutkan bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi keterlibatan orang tua diantaranya 1) Pendidikan Orang Tua: Orang tua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih aktif dalam mendukung pendidikan agama anak. 2) Ketersediaan Waktu: Ketersediaan waktu orang tua untuk berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan juga mempengaruhi tingkat keterlibatan mereka. 3) Sosial Ekonomi: Orang tua dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih tinggi lebih sering terlibat dalam kegiatan keagamaan anak [15]. Keterlibatan orang tua dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal; faktor internal meliputi a) keyakinan orang tua mengenai pentingnya peran serta mereka dalam pendidikan anak. b) Persepsi orang tua terhadap undangan untuk terlibat dalam aktivitas pendidikan seperti keterlibatan. c) Konteks kehidupan yang dijalani oleh orang tua. Dan eksternal meliputi 1) Faktor karakteristik anak, 2) Besar keluarga, 4) Faktor ekonomi dan sosial, 5) Pendidikan, 6) Kesukuan dan budaya [16]. Keyakinan orang tua mengenai pentingnya peran pengasuhan dan pendampingan pada anak dapat bersumber dari pengetahuan. Keyakinan juga diperoleh dari persepsi atau penilaian diri, seperti; kepuasan diri, merasa berharga, dll yang sering disebut dengan self-esteem. Sehingga dapat dirtinya bahwa pengetahuan khususnya dalam hal parenting yang diperoleh orang tua dapat menigkatkan keyakinan diri dan kesadran spiritual, yang selanjutnya dapat meningkatkan keterlibatan orangtua dalam pengasuh [17]. Farida & Nurjannah [18] mengatakan bahwa baik dan buruknya anak sangat bergantung pada tingkat religiusitas orang tua. Dalam hal ini, orang tua dengan tingkat religiusitas yang tinggi cenderung akan lebih sabar dalam keterlibatan membimbing anak. Namun, pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Fauzan [19] menunjukkan hasil bahwa religiusitas tidak berpengaruh terhadap keterlibatan pengasuhan, hal tersebut dikarenakan tidak semua orang tua yang bersifat religius menjadikan agama sebagai sumber kekuatan atau landasan guna mengatasi persoalan yang berkaitan dengan lingkup pengasuhan.
Religiusitas memiliki peran penting bagi setiap individu yaitu sebagai pedoman hidup atau norma untuk menentukan batasan dalam berperilaku. Religiusitas merupakan terminologi yang berasal dari kata religi, atau dalam bahasa inggris disebut religion yang berartikan sistem kepercayaan atau keyakinan orang tua dengan menggunakan pendekatan teoritis ataupun secara praktis. Anggara et al [20] dan Suparlan [21] menyatakan bahwa agama adalah sebuah rangkai peraturan mengenai hubungan antara manusia, sesamanya, dengan lingkungan, serta dengan Tuhannya. Religiusitas adalah sikap keberhargaaan seseorang atau serangkaian kegiatan agama. Religiusitas berkaitan dengan gambaran diri individu dan mendorong individu berperilaku sesuai dengan agama yang di anutnya [22]. Religiusitas adalah kegiatan yang serangkaian kegiatan agama, yang berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan yaitu dengan melaksanakan perintah yang telah diberikan dan menjauhi apa yang tidak dikehendaki [23].
Religiusitas terdiri atas 5 dimensi untuk menjadi sebuah konstruk yang utuh. Dimensi keyakinan adalah dimensi yang berkaitan dengan pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada keyakinan teologis atau doktrin tertentu. Dimensi praktik atau ritualistik, Dimensi praktik ibadah dan ritualistik yang menggambarkan kewajiban seseorang dalam menjalani ritual agamanya. Dimensi Pengalaman dan Eksperinsial yaitu menggambarkan akibat dari keyakinan keagamaan, pengalaman, praktik, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari yang menujukkan seberapa patuh individu sesuai dengan ketentuan yang diajarkan dalam agamanya. Dimensi pengetahuan Agama dan Intelektual adalah dimensi yang menggambarkan seberapa jauh mengetahui ajaran agamanya, terutama berkaitan dengan kitab suci dan hal penting lainnya. Dimensi Konsekuensi merupakan dimensi yang menggambarkan sejauh mana perilaku sosial individu di motivasi oleh ajaran agama dalam, seperti menolong orang lain, bersedekah, dan perilaku sosial lainnya [24].
Sebagaimana penjelasan diparagraf sebelumnya selain religiusitas sebagai bagian dari keyakinan diri namun self-esteem juga berkontribusi terhadap keterlibatan orang tua. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Magdhalena & Hariyono [25] didapatkan hasil bahwa self-esteem memiliki hubungan dengan keterlibatan pengasuhan pada orangtua. Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa self-esteem yang tinggi akan membantu orang tua lebih responsif terhadap tumbuh kembang anak. Dengan self-esteem yang tinggi, orang tua akan berada pada keadaan psikologis yang stabil, sehingga lebih memungkinkan orang tua untuk dapat mengatasi kesulitan dalam mengasuh anak. Orang tua yang memiliki self-esteem yang baik cenderung mampu mengontrol emosinya, hal ini sejalan dengan pendapat Mandoa et al. [26] bahwa self-esteem yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk mengelola dan mengatur emosi. Seseorang dengan self-esteem tinggi cenderung merasa percaya diri dan yakin dalam setiap pengambilan keputusan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Fatimah dan Fauziah [27] dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara harga diri dengan well-being pada orang tua. Hal tersebut dikarenakan tanggung jawab orang tua yang begitu penting membuatnya merasakan perasaan untuk dapat menguasai tantangan dan tuntutan selama menjadi orang tua. Hal itu dapat menimbulkan kontrol atas diri dan perasaan bermakna yang akan meningkatkan kesejahteraan psikologisnya, serta menumbuhkan keterlibatan yang lebih pada pengasuhan anaknya.
Burn menjelaskan bahwa self-esteem adalah evaluasi diri oleh individu dengan melakukan refleksi diri, terutama sikap menerima, menolak, dan dapat tergambarkan melalui kemampuan, keberhargaan, dan kesuksesan [28]. secara keseluruhan, self-esteem adalah penilaian diri mengenai keberhargaan yang tergambar dari sikap-sikap individu terhadap dirinya. Coopersmith menjelaskan self-esteem sebagai penilaian diri yang terpengaruh oleh interaksi dengan orang lain mengenai penghargaan dan penerimaan orang lain dari individu tersebut [29]. Tiap individu memiliki Self-esteem yang berbeda baik yang tinggi maupun rendah [30]. Seorang individu dengan self-esteem yang tinggi dicirikan dengan kemampuan untuk mengarahkan dirinya dan lebih mandiri, sedangkan individu yang memiliki self-esteem rendah mempunyai karakteristik seperti mengalami masalah interpersonal, mengalami kegagalan dibidang akademis, ketergantungan, perlawanan, depresi, serta kecemasan [30]. Empat aspek self -esteem yaitu: a) Kekuasaan (power), yaitu kemampuan untuk dapat mengatur dan mengendalikan tingkah laku diri sendiri dan orang lain. b) Keberartian (significance), yaitu kepedulian, perhatian dan afeksi yang diterima individu dari orang lain. Hal tersebut merupakan penghargaan dan ekspresi minat orang lain terhadap individu serta merupakan tanda penerimaan dan popularitas individu. c) Kebajikan (virtue), yaitu ketaatan mengikuti kode moral, etika dan prinsip-prinsip keagamaan yang ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingah laku yang dilarang dan melakukan tingkah laku yang diperbolehkan oleh moral, etika dan agama. d) Kemampuan (competence), sukses memenuhi tuntutan prestasi yang ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengarjakan berbagai tugas atau pekerjaan dengan baik [31].
Individu yang memiliki religiusitas akan sadar mengenai potensi yang dimiliki, bagaimana cara mengoptimalkan potensi tersebut, serta kebermanfaatan dirinya untuk diri sendiri maupun orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Sudi at all [32] mengatakan bahwa semakin tinggi religiusitas individu, maka semakin mempengaruhi kemampuan personal (untuk dirinya sendiri), interpersonal, serta kemampuan sosianya, sehingga ia mampu membantu mengembangkan serta mengoptimalkan potensi yang dimiliki untuk membantu dan bermanfaat bagi orang lain. Orang tua yang memuliki religiusitas akan sadar bahwa mendidik anak merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan dengan ikhlas, serta yakin bahwa mereka akan mampu menjadi orang tua yang baik [33]. Dari sini dapat dikatakan bahwa religiusitas berkaitan dengan self-esteem dalam diri individu, seperti penelitian yang dilakukan oleh Ananda dan Dharmayana [34] menunjukkan bahwa religiusitas mampu meningkatkan self-esteem individu. Penelitiaan lain yang dilakukan Fauzan [35] menunjukkan bahwa self-esteem secara signifikan berhubungan dengan religiusitas, maka ketika religiusitas meningkat akan di ikuti dengan self-esteem yang tinggi. Selain itu self-esteem memiliki andil dalam keterlibatan orang tua dalam pengasuhan anak, ketika self-esteem orang tua tinggi mereka akan memiliki kepercayaan diri untuk melibatkan dirinya lebih dalam mengenai pengasuhannya [36].
Berdasarkan kajian teori diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesa dalam penelitian ini ialah apakah ada pengaruh antara religiusitas terhadap keterlibatan orang tua dengan menjadikan self-esteem sebagai variabel mediator. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah terdapat pengaruh antara religiusitas terhadap keterlibatan orang tua dan self-esteem sebagai variabel mediator. Implementasi dari penelitian ini diharapkan bisa menambah referensi teori dibidang psikologi khususnya pengembangan model dari penelitian sebelumnya. Variabel hubungan atau pengaruh variabel religiusitas terhadap keterlibatan orang tua serta self-esteem sudah beberapa kali di ulas. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Puztai dan Fenyer dengan judul “Religiosity as a Factor Supporting Parenting and Its Perceived Effectiveness in Hungarian School Children’s Families”, selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Taniguchi yang berjudul “The impact of parental confidence in using technology on parental engagement in children’s education at home during COVID-19 lockdowns: evidence from 19 countries”. Sehingga dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan bisa melengkapi pengelitian terdahulu mengenai topik tersebut.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif korelasional dengan Religiusitas sebagai variabel independen, Self-Esteem sebagai variabel mediator dan Keterlibatan Orang Tua sebagai variabel dependen. Desain penelitian ini bertujuan guna menemukan apakah self-esteem sebagai variabel mediator antara pengaruh religiusitas terhadap keterlibatan orangtua. Dalam menganalisa data penelitian akan menggunakan model analisis jalur mediasi (mediated path model) untuk membuktikan apakah ada pengaruh antara religiusitas terhadap keterlibatan orang tua dengan menjadikan self-esteem sebagai variabel mediator. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh orang tua siswa SDN X di kecamatan Krian Sidoarjo yang jumlahnya sebanyak 715 orang yang meliputi dari kelas 1-6. Sampel pada penelitian ini menggunakan rumus Krejcie dan Morgan dengan metode Accidental Sampling dengan teknik non-Probability Sampling sehingga jumlah sampel yang di pakai dalam penelitian ini sebanyak 248 siswa.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuisioner dengan pengukuran skala likert. Penelitian ini menggunakan 3 skala psikologi yang terdiri dari skala religiusitas, skala self-esteem, dan skala keterlibatan orang tua. Skala Religiusitas yang digunakan disusun oleh Mariyati et al. [37] berdasarkan pada teori Glock dan Stark yang menyebutkan religiusitas memiliki 5 aspek, yaitu: keyakinan atau ideologis, praktik ibadah atau ritualistik, pengalaman atau eksperinsial, pengetahuan agama atau intelektual, dan dimensi konsekuensi. Nilai uji validitas aitem skala ini bergerak dari 0,379 – 0,772 dengan total 28 aitem yang diuji yakni 2 gugur dan 26 aitem valid. Sedangkan pada uji realibilitas diperoleh hasil bahwa Cronbach’s Alpha sebesar 0,904.
Skala self-esteem menggunakan skala Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) yang dikembangkan oleh Rosenberg dan telah dilakukan translasi serta modifikasi oleh Syahfitri [38]. Menurut teori Rosenberg, self-esteem terbagi menjadi dua aspek diantaranya adalah penerimaan diri dan penghargaan diri. Setelah dilakukan uji validitas, ditemukan bahwa semua aitem memenuhi kriteria validitas, sehingga 10 aitem dinyatakan valid. Nilai validitas aitem bergerak dari 0,732 – 0,357 dan pada uji reliabilitas mendapatkan hasil Cronbach’s Alpha sebesar 0,896
Skala keterlibatan orang tua menggunakan skala yang disusun oleh Febriastuti [10] berdasar pada teori yang dibangun oleh Epstein dimana terdapat 6 aspek diantaranya adalah parenting, communication, volunteering, learning at home, desicion making, collaborating with community. Hasil uji validitas diperoleh 18 aitem pernyataan valid dan 1 aitem gugur. Nilai reliabilitas skala keterlibatan orang tua ini memiliki Cronbach’s Alpha 0,869 sehingga disebut reliabel yang artinya dapat digunakan dalam penelitian. Skala yang digunakan berjenis skala likert dengan 4 alternatif jawaban yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS). Setelah data terkumpul melanjutkan dengan melakukan analisis data menggunakan model analisis jalur mediasi (mediated path model) dengan menggunakan bantuan software JASP versi 18.2..
Hasil dan Pembahasan
A. H asil
1. Uji Asumsi
Figure 1. Grafik Uji Normalitas
Shapiro-Wilk | P |
0.992 | 0.126 |
Bedasarkan hasil uji normalitas yang telah dilakukan dengan menggunakan metode grafik, maka ditemukan data penelitian memiliki titik residual tertinggi berada di titik 0, sehingga titik puncak dari grafik garis yang terbentuk juga berada di titik 0. Data kedua berupa uji data analitik (p = 0.126) yang memenuhi syarat data terdistribusi normal yaitu (p-value > 0,05). Sehingga data tersebut mendukung terpenuhinya normalitas data. Sehingga dapat dikatakan apabila data terdistribusi secara normal.
Figure 2. Gambar 2. Uji Linearitas Religiusitas dengan Keterlibatan Orang Tua dan Gambar 3. Uji Linearitas Self-Esteem dengan Keterlibatan Orang Tua
Deviation From Linearity | P |
Keterlibatan Orang Tua – Religiusitas | 0.63 |
Keterlibatan Orang Tua - Self-esteem | 0.52 |
Selanjutnya, uji linearitas yang juga menggunakan metode grafik menunjukkan bahwa residual data penelitian dari religiusitas dengan keterlibatan orang tua dan self-esteem dengan keterlibatan orang tua berkumpul mendekati garis linear yang condong keatas. Selain itu, titik-titik residual yang berkumpul jika ditarik garis akan membentuk bentuk oval yang menandakan linearitas antara variabel. Selanjutnya uji statistik linearitas juga menunjukkan bahwa uji linearitas untuk variabel keterlibatan orang tua dengan religiusitas (p = 0.63) dan keterlibatan orang tua dengan self-esteem (p = 0,52). Kedua skor tersebut telah memenuhi standard asumsi linearitas yaitu nilai (p-value > 0.05). Sehingga bedasarkan hasil tersebut dapat ditentukan bahwa data penelitian memiliki hubungan linear dan uji asumsi linearitas telah terpenuhi.
2. Uji Korelasi
Variabel | Self-Esteem | Religiusitas | Keterlibatan Orang Tua |
Self-Esteem | - | - | - |
- | - | - | |
Religiusitas | 0.155 | - | - |
.015 | - | - | |
Keterlibatan Orang Tua | 0.427 | 0.266 | - |
.000 | .000 | - | |
Mean | 29.95 | 78.13 | 59.94 |
Standar Deviasi | 2.664 | 3.838 | 3.713 |
Bedasarkan hasil uji korelasi maka dapat ditemukan bahwa religiusitas memiliki hubungan positif dan signifikan pada self-esteem dengan nilai r = 0.115, p = 0.015 (<0.05), lebih lanjut pada variabel keterlibatan orang tua dengan self-esteem r = 0.427, p = 0.000 (<0.05) dan hal serupa juga ditemukan pada variabel keterlibatan orang tua memiliki hubungan positif yang signifikan dengan religiusitas r = 0.266, p = 0.000 (<0.05). Bedasakan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara variabel religiusitas dan keterlibatan orang tua dengan self-esteem. Arah hubungannya positif, artinya semakin tinggi tingkatan religiusitas dan self-esteem dari orang tua, maka akan semakin tinggi tingkatan keterlibatan orang tua tersebut dan begitu juga sebaliknya.
3. Uji Hipotesis
Effects | Estimate | Std. Error | z-value | P | |
Direct effects | Religiusitas - Keterlibatan Orang Tua | 0.199 | 0.055 | 3.625 | < .001 |
Indirect effects | Religiusitas - Self-Esteem - Keterlibatan Orang Tua | 0.059 | 0.025 | 2.324 | 0.020 |
Total effects | Religiusitas - Keterlibatan Orang Tua | 0.258 | 0.059 | 4.353 | < .001 |
Bedasarkan hasil analisis mediasi yang telah dilakukan, maka ditemukan jika direct effect dari religiusitas terhadap keterlibatan orang tua terbukti signifikan (z-value = 3.625, p-value <0.001). Artinya, terdapat pengaruh langsung (direct effect) antara religiusitas dengan keterlibatan orang tua. Selajutnya, indirect effects dari peran religiusitas kepada keterlibatan orang tua di mediasi oleh self-esteem terbukti signifikan (z-value = 2.324, p-value 0.020) yang mana menandakan jika self-esteem dapat menjadi variabel mediator antara religiusitas dengan keterlibatan orang tua. Total effects yang didapatkan dari hasil analisis mediasi sebesar (z-value = 4.353, p-value <0.001). Bedasarkan analisis tersebut dapat diindikasikan bahwa self-esteem dapat berperan menjadi mediator antara religiusitas dengan keterlibatan orang tua. Ilustrasi path dari hasil mediation analysis yang telah dilakukan dapat dilihat pada gambar 4.
Figure 3. Path Plot
Kategorisasi | Rentangan | N | Persentase |
Sangat Rendah | x<54 | 10 | 4,03% |
Rendah | 54<x<59 | 78 | 31,45% |
Menengah | 59<x<62 | 101 | 40,73% |
Tinggi | 62<x<66 | 49 | 19,76% |
Sangat Tinggi | 66<x | 10 | 4,03% |
Total | 248 | 100,00% |
Hasil kategorisasi pada skor keterlibatan orang tua menunjukkan bahwa kelompok rendah sebanyak 88 orang tua (35,48%), kelompok menengah 101 orang tua (40,73), serta kelompok tinggi 59 orang tua (23,79). Berdasarkan ketegorisasai tersebut dapat dilihat bahwa keterlibatan orang tua siswa SDN X di kecamatan Krian Sidoarjo berada pada taraf menengah atau sedang.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasi analisis yang dilakukan, hipotesis penelitian ini diterima. Artinya, self-esteem akan menjembatani pengaruh religiusitas orang tua terhadap keterlibatannya dalam proses pengasuhan anak. Dalam hal ini, direct effect dari religiusitas terhadap keterlibatan orang tua terbukti signifikan (z-value = 3.625, p-value <0.001). Artinya, terdapat pengaruh langsung antara religiusitas dengan keterlibatan orang tua. Selajutnya, indirect effects dari peran religiusitas kepada keterlibatan orang tua yang di mediasi oleh self-esteem juga terbukti signifikan (z-value = 2.324, p-value 0.020), yang menandakan jika self-esteem dapat menjadi variabel mediator atau yang menghubungkan antara religiusitas dengan keterlibatan orang tua.
Penelitian ini menunjukkan hasil yang sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Puztai dan Fényes [39] yang menemukan bahwa religiusitas dari orang tua menjadi penentu yang signifikan pada keterlibatan orang tua pada aktivitas dan pendidikan anaknya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Taniguchi yang menemukan bahwa self-esteem orang tua dalam memberikan support kepada anaknya dapat berpengaruh kepada keterlibatan orang tua tehadap studi anaknya ketika masa pandemic [40]. Sehingga, dapat ditentukan bahwa hasil dari penelitian ini juga sesuai dengan hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Religiusitas memberikan pengaruh langsung yang signifikan terhadap keterlibatan pengasuhan orang tua pada anak. Dalam hal ini, religiusitas orang tua sering kali menjadi dasar interaksi mereka dengan anak-anaknya. Keyakinan agama mendorong banyak orang tua untuk memandang mengasuh anak sebagai tanggung jawab dan tugas suci [41]. Keyakinan ini mendorong mereka untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan anak-anak mereka dan memastikan bahwa mereka tidak hanya memberikan perawatan medis tetapi juga bimbingan emosional dan spiritual. Misalnya, orang tua yang sering beribadah, berdoa, atau berbicara tentang moral cenderung mampu meregulasi emosinya ketika mengalami stress selama pengasuhan[42]. Lebih lanjut, Lavi et al. [43] memaparkan bahwa orang tua yang memiliki regulasi emosi yang baik cenderung terhindar dari empat aspek reaktivitas emosi selama proses pengasuhan, yakni 1) kemarahan dan ketidaksesuaian emosi, yaitu hubungan emosional antara orang tua dan anak yang tidak terjalin dengan baik; 2) rendahnya kontrol emosi, yaitu reaksi berlebihan saat mengalami stress pengasuhan; 3) harapan tidak realistis yang menimbulkan emosi negatif dan mengarah pada kekerasan fisik; serta 4) distorsi regulasi emosi, yaitu tidak memperhatikan dan memahami kebutuhan anak.
Orang tua yang religius akan menjadikan agama sebagai pedoman dalam mengonsep parenting yang akan diterapkan dalam mendidik dan membesarkan anak, sehingga cenderung berpegang teguh kepada agama yang mengajarkan ketenangan, kesabaran, keikhlasan, dan banyak hal positif lain, sehingga menjadikan orang tua mampu memaksimalkan perannya sebagai pendidik, fasilitator, bahkan menjadi role model untuk anak [44]. Religiusitas juga membawa peran yang jelas bagi orang tua dalam keluarga. Orang tua dan anak dapat menghabiskan waktu yang berkualitas bersama dalam rutinitas yang konsisten melalui praktik seperti berdoa bersama, melakukan ritual keagamaan, atau menghadiri acara berbasis agama seperti pergi ke gereja atau masjid untuk melakukan ibadah bersama dengan anak-anaknya [45]. Saat-saat seperti ini seringkali menjadi kesempatan untuk berbagi prinsip, membahas masalah, dan saling memahami. Orang tua tidak hanya terlibat lebih dalam dalam proses ini, tetapi mereka juga menunjukkan sikap yang mereka harapkan anak-anak mereka akan ikuti [46].
Jika ditinjau dari hubungan tidak langsung antara religiusitas terhadap keterlibatan pengasuhan pada anak yang dimediasi oleh self-esteem, orang tua yang memiliki religiusitas tinggi cenderung memiliki kesadaran diri bahwa mendidik anak merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan dengan ikhlas, serta percaya bahwa ia mampu menjadi orang tua yang bisa memfasilitasi tumbuh kembang anak dengan maksimal [33]. Artinya, self-esteem pada orang tua memungkinkan ia lebih menyadari kapasitas diri yang dimiliki, serta mengetahui cara untuk mengimplementasikan kapasitas yang dimiliki, sebagai bentuk keterlibatan orang tua pada tumbuh kembang anak.
Self-esteem yang dimiliki orang tua memainkan peran penting dalam keterlibatan orang tua dengan anak-anak mereka. Orang tua yang memiliki self-esteem yang kuat akan dengan percaya diri menjalankan peran sebagai orang tua. Orang tua akan lebih terlibat dalam pendidikan anak mereka jika mereka percaya pada kemampuan mereka untuk membantu, mendukung, dan mendidik anak mereka [47]. Keterlibatan dapat berupa pendidikan seperti meluangkan waktu untuk anaknya, datang ke acara sekolah, atau membantu mengerjakan tugas sekolah. Orang tua yang memiliki self-esteem yang baik dapat menghadapi tantangan dalam mengasuh anak yang kuat dan tetap hadir dalam beberapa kegiatan anak bahkan saat situasi sulit [48]. Keterlibatan juga dapat berupa pengasuhan dimana orang tua secara aktif terus melakukan monitoring terhadap perilaku dan juga perkembangan anak [49].
Selain itu, orang tua yang memahami serta mengamalkan ilmu agama dengan baik, idealnya mampu menerapkan pengasuhan dengan berlandaskan kesabaran dan mindfulness. Hal ini akan menjadikan orang tua dengan self-esteem tinggi memiliki kesadaran lebih terkait pentingnya memberikan kasih sayang kepada anak, baik memberikan dukungan secara fisik maupun secara psikologis [50]. Lebih lanjut, Adriana & Zirmasyah [17] menambahkan bahwa sangat penting bagi orang tua untuk berpartisipasi aktif dengan hadir dan terlibat pada kegiatan anak baik di rumah dan di sekolah, seperti memantau kemajuan pendidikan anak, berkolaborasi dengan guru terkait tugas maupun parenting untuk anak di tahap usia tertentu, serta memastikan anak nyaman saat belajar. Beberapa hal tersebut merupakan bentuk kasih sayang secara fisik yang dimanifestasikan sebagai bentuk keterlibatan orang tua dalam pengasuhan anak. Selanjutnya, dukungan secara psikologis dapat berbentuk pemberian kata-kata motivasi agar anak mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki, mengapresiasi pencapaian anak, membantu anak menemukan hal-hal yang disukai dan memfasilitasinya, sebagai bentuk keterlibatan orang tua pada tumbuh kembang anaknya[51].
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa orang tua yang religius cenderung termotivasi secara internal untuk lebih terlibat dalam proses pendidikan anak-anaknya. Hal ini juga akan semakin kuat ketika self-esteem dari orang tua tersebut tinggi, sehingga orang tua memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam menjalankan tugas pengasuhannya. Keterkaitan antara religiusitas terhadap keterlibatan pengasuhan yang dimediasi oleh self-esteem juga dibahas pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Goeke-Morey dan Cumming [52] yang menyatakan bahwa religiusitas mengarah pada pola asuh yang lebih positif, serta Albanese et al [53] yang menemukan bahwa orang tua dengan kepercayaan diri yang baik akan memberikan keterlibatan yang lebih dalam pengasuhannya. Namun adapula penelitian yang menemukan bahwa religiusitas orang tua yang terlalu tinggi juga dapat menimbulkan hal negatif, seperti Goodman dan Dyer [54] yang dalam peneltiannya menemukan bahwa religiusitas yang terlalu tinggi pada orang tua dapat berpengaruh kepada kontrol pengasuhan yang berlebihan.
Orang tua dengan religiusitas memiliki peran penting bagi setiap individu yaitu sebagai pedoman hidup atau norma untuk menentukan batasan dalam berperilaku. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi religiusitas seseorang yaitu pengaruh pendidikan atau pengajaran yang orang tua ajarkan kepada anaknya [55] seperti contoh ketika orang tua memiliki nilai religiusitas yang rendah, seringkali menghadapi keraguan internal tentang kapasitas mereka sebagai orang tua, yang dapat menghalangi mereka untuk terlibat sepenuhnya dengan anak-anak mereka dan membuat mereka merasa tidak berharga atau tidak mampu memenuhi tanggung jawab yang diberikan kepada mereka sebagai orang tua [56]. Kurangnya self-esteem ini juga dapat mempengaruhi ketersediaan emosi mereka, sehingga lebih sulit bagi mereka untuk membentuk hubungan yang aman dan suportif dengan anak-anak mereka. Seiring waktu, rasa tidak aman ini dapat menyebabkan penarikan diri secara emosional atau keengganan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari anak mereka [57] hal ini sejalan dengan hasil analisis yang telah dilakukan bahwa variabel self-esteem dan keterlibatan orang tua memiliki hubungan yang positif dimana ketika tingkat self-esteem rendah maka keterlibatan orang tua juga akan rendah.
Berdasarkan kategorisasi hasil penelitian, dapat dilihat bahwa keterlibatan orang tua siswa SDN X di kecamatan Krian Sidoarjo berada pada taraf menengah atau sedang. Artinya, orang tua cukup terlibat pada pengasuhan anak baik di sekolah maupun di rumah, hanya saja masih perlu untuk pembiasaan agar orang tua bisa terlibat dengan maksimal untuk kebaikan anak-anaknya. Dalam hal ini, aspek keterlibatan yang rendah adalah aspek berkomunikasi (dengan pihak sekolah) serta pemantauan belajar di rumah. Rendahnya aspek komunikasi menandakan bahwa orang tua siswa SDN X di kecamatan Krian Sidoarjo masih perlu untuk menjalin komunikasi dua arah dengan pihak sekolah untuk melakukan koordinasi terkait program sekolah yang bisa diperkuat di rumah serta terkait kemajuan dan perkembangan anak di sekolah baik untuk bidang akademik maupun non akademik. Selain itu, rendahnya aspek belajar di rumah menandakan bahwa orang tua masih belum cukup terlibat untuk memberikan bimbingan atau informasi terkait pekerjaan rumah serta kegiatan lain seperti kurikulum, keputusan, serta perencanaan belajar.
Secara keseluruhan, penelitian ini menemukan bahwa model religiusitas dan self-esteem yang dimiliki oleh orang tua dapat berpengaruh secara signifikan kepada keterlibatan orang tua pada stusi anaknya. Hasil dari penelitian ini juga sesuai dengan hasil dari beberapa penelitian terdahulu sehingga memperkuat hipotesis yang diajukan oleh peneliti. Penelitian ini juga menemukan bahwa beberapa sampel masih dalam tingkatan keterlibatan orang tua yang rendah, sehingga penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengkaji lebih dalam mengenai fenomena tersebut. Keterbatasan dari penelitian ini diantaranya adalah metode analisis yang masih relative sederhana. Selain itu, dianjurkan untuk peneliti selanjutnya yang tertarik mengulas topic yang sama agar menambahkan referensi-referensi lain, menambah atau mengubah variabel dengan variabel yang berbeda sehingga bisa memperkaya kajian psikologi.
Simpulan
Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas terhadap keterlibatan orang tua yang dimediasi oleh self-esteem. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis yang diajukan oleh peneliti diterima. Artinya, orang tua yang memiliki tingkat religiusitas tinggi yang didukung oleh harga diri tinggi cenderung lebih terlibat dalam pengasuhan anak. Sebaliknya, orang tua dengan tingkat religiusitas yang rendah dan memiliki harga diri yang rendah cenderung kurang terlibat pada pengasuhan anak. Hubungan antara religiusitas terhadap keterlibatan orang tua secara langsung terbukti lebih besar, dibanding dengan hubungan secara tidak langsung atau yang dimediasi oleh self-esteem. Artinya, orang tua yang ingin meningkatkan keterlibatan kepada anaknya dianjurkan untuk meningkatkan religiusitas, karena individu yang religiusitas cenderung memiliki self-esteem yang baik pula.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya karena populasi yang tergolong masih minim, referensi yang digunakan juga masih terbatas terutama untuk referensi dari jurnal maupun kajian internasional. Penelitian ini hanya menggunakan tiga variabel, sehingga untuk peneliti selanjutnya diharapkan bisa menambah variabel lain yang terkait sehingga bisa memperkaya kajian terkait topik religiusitas, self-esteem, maupun keterlibatan orang tua.
Manfaat praktis dari penelitian ini dapat diberikan kepada orang tua siswa yaitu dengan meningkatkan religiusitas dan self-esteem mereka pada konteks parenting dan keterlibatan mereka dalam studi anaknya, seperti memantau kemajuan pendidikan anak, berkolaborasi dengan guru terkait tugas maupun parenting untuk anak di tahap usia tertentu, memastikan anak nyaman saat belajar, memberi kata-kata motivasi agar anak mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki, serta mengapresiasi pencapaian anak. Orang tua juga disarankan untuk memperbanyak mengikuti kegiatan keagamaan yang berkaitan dengan pengasuhan anak, guna meningkatkan tingkat religiusitas yang mereka miliki. Saran praktis lain yang bisa dilakukan adalah secara aktif menambah pengetahuan mengenai parenting dari berbagai sumber yang telah tersedia sehingga kepercayaan diri sebagai orang tua meningkat. Selain itu, untuk instansi penyelenggara pendidikan, dalam hal ini adalah sekolah dasar yang berfungsi untuk menjembatani perkembangan anak di sekolah, diharapkan bisa memfasilitasi informasi terkait peningkatan self-esteem orang tua dalam proses parentingnya, dengan memberikan seminar ataupun psikoedukasi. Secara teoritis, penelitian ini dapat memperkuat pemahaman mengenai keterlibatan orang tua jika dikaitkan dengan variabel self-esteem dan religiusitas, serta memberikan sumbangsih yang keterbaruan khususnya bagi penelitian yang menggunakan model analisis jalur mediasi sebagai metode penelitiannya. Penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong penelitian selanjutnya mengenai keterlibatan orang tua terhadap studi anaknya di masa yang akan datang.
Ucapan Terimakasih
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada kepala sekolah SDN X di kecamatan Krian Sidoarjo yang telah memperbolehkan peneliti untuk melakukan penelitian di lingkungan sekolah. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada para wali siswa yang telah bersedia menjadi partisipan dari penelitian ini.
References
[1] R. Indy, “Peran Pendidikan Dalam Proses Perubahan Sosial di Desa Tumaluntung Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa Utara,” Holistik: Jurnal Sosial dan Kebudayaan, vol. 12, no. 4, pp. 1–18, 2019.
[2] C. M. Raymond, G. Brown, and D. Weber, “The Measurement of Place Attachment: Personal, Community, and Environmental Connections,” Journal of Environmental Psychology, vol. 30, no. 4, pp. 422–434, 2010, doi: 10.1016/j.jenvp.2010.08.002
[3] R. R. Damayanti, I. Zulkarnain, and A. Sari, “Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Menggunakan Model Quick on the Draw,” EDU-MAT: Jurnal Pendidikan Matematika, vol. 8, no. 1, pp. 54–61, 2020, doi: 10.20527/edumat.v8i1.8352
[4] F. Farapti, M. Sulistyowati, K. D. Artanti, S. W. Setyaningtyas, S. Sumarmi, and B. Mulyana, “Highlighting of Urinary Sodium and Potassium Among Indonesian Schoolchildren Aged 9–12 Years: The Contribution of School Food,” Journal of Nutrition and Metabolism, vol. 2019, 2019, doi: 10.1155/2019/1028672
[5] S. Oktarisma, Neviyarn, and I. Murni, “Fase dan Tugas Perkembangan Anak Sekolah Dasar,” Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, vol. 5, no. 2, pp. 25–29, 2021.
[6] Nirwana and A. R. Ruspa, “Kemampuan Menulis Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Prodi Informatika Universitas Cokroaminoto Palopo,” Onoma: Jurnal Pendidikan, Bahasa, dan Sastra, vol. 6, no. 1, pp. 557–566, 2020, doi: 10.30605/onoma.v6i1.277
[7] Republik Indonesia, “Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” Lembaran Negara Republik Indonesia, 2014.
[8] D. R. Tiara, A. R. Safira, and S. Sugito, “Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan Anak Usia Dini pada Keluarga dengan Tingkat Ekonomi Rendah di Kota Surabaya,” Golden Age: Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, vol. 7, no. 1, pp. 219–230, 2023, doi: 10.29408/goldenage.v7i01.16596
[9] G. Hornby, Parental Involvement in Childhood Education: Building Effective School-Family Partnership. New York: Springer Science & Business Media, 2011.
[10] M. A. N. Febriastuti, “Hubungan Keterlibatan Orang Tua dengan Prestasi Belajar Kimia Siswa,” Undergraduate Thesis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020.
[11] M. Saftari and N. Fajriah, “Penilaian Ranah Afektif dalam Bentuk Penilaian Skala Sikap untuk Menilai Hasil Belajar,” Edutainment: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Kependidikan, vol. 7, no. 1, pp. 71–81, 2019, doi: 10.35438/e.v7i1.164
[12] L. I. Santikko and Mariyati, “Bentuk Keterlibatan Orang Tua pada Anak TK yang Berprestasi Melukis,” Jurnal Psikologi Poseidon, no. 5, pp. 52–58, 2019.
[13] D. P. Mardiani, “Pengaruh Peran Orang Tua terhadap Motivasi Belajar dan Kedisiplinan Belajar Anak sebagai Dampak Wabah COVID-19,” Paradigma: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, vol. 11, no. 1, pp. 109–144, 2021.
[14] A. Fane and S. Sugito, “Pengaruh Perhatian Orang Tua dan Motivasi Belajar terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa SMK,” Jurnal Riset Pendidikan Matematika, vol. 6, no. 1, pp. 53–61, 2019, doi: 10.21831/pspmm.v1i0.28
[15] M. Arisya’bani, “Pengaruh Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan Akhlak Anak,” Komprehensif: Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Konseling, vol. 2, no. 2, pp. 178–185, 2024.
[16] M. Nasikhah, H. D. Susari, and D. R. Afifah, “Keterlibatan Orang Tua dalam Pelaksanaan Blended Learning,” Prosiding Seminar Nasional, vol. 1, pp. 840–845, 2022.
[17] N. G. Adriana and Z. Zirmansyah, “Pengaruh Pengetahuan Parenting terhadap Keterlibatan Orang Tua di Lembaga PAUD,” Jurnal Anak Usia Dini Holistik Integratif, vol. 1, no. 1, pp. 40–51, 2018, doi: 10.36722/jaudhi.v1i1.565
[18] H. Faridah and Nurjannah, “Pola Asuh Orang Tua Santri Tahfiz Hubungannya dengan Religiusitas dan Kepribadian,” Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, vol. 19, no. 2, pp. 138–151, 2022, doi: 10.14421/hisbah.2022.192-09
[19] A. Fauzan, “Pengaruh Mindfulness, Religiusitas, Dukungan Sosial, dan Faktor Demografis terhadap Kontrol Diri Orang Tua di Jabodetabek dalam Mengasuh Anak,” Undergraduate Thesis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2022.
[20] M. Thahir, A. Rachmaniar, and W. Thahir, “Pengaruh Keterlibatan Orang Tua dalam Peningkatan Prestasi Belajar Peserta Didik,” Indonesian Journal of Educational Counseling, vol. 4, no. 1, pp. 99–107, 2024, doi: 10.30653/001.202481.343
[21] R. N. Umam, “Aspek Religiusitas dalam Pengembangan Resiliensi Diri di Masa Pandemi Covid-19,” Sangkep: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan, vol. 4, no. 2, pp. 148–164, 2021, doi: 10.20414/sangkep.v4i2.3558
[22] W. Y. Anggara, I. Mahmudi, and D. A. Triningtyas, “Pengaruh Religiusitas dan Interaksi Sosial terhadap Perilaku Seks Bebas Siswa Kelas XI SMK Negeri 1 Wonoasri Kabupaten Madiun,” Counsellia: Jurnal Bimbingan dan Konseling, vol. 6, no. 1, pp. 26–34, 2016, doi: 10.25273/counsellia.v6i1.455
[23] Muzakkir, “Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Prososial Mahasiswa Angkatan 2009/2010 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar,” Jurnal Diskursus Islam, vol. 1, no. 3, pp. 366–380, 2013.
[24] C. D. Kristianto and S. H. Sutanto, “Peranan Keterlibatan Ayah terhadap Self-Esteem pada Pria Emerging Adulthood,” Intuisi: Jurnal Psikologi Ilmiah, vol. 14, no. 1, pp. 51–61, 2023, doi: 10.15294/intuisi.v14i1.41812
[25] W. Magdhalena and D. S. Hariyono, “Hubungan Parental Stress terhadap Self-Esteem Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Autism Spectrum Disorder,” Cognicia, vol. 11, no. 2, pp. 93–98, 2023, doi: 10.22219/cognicia.v11i2.27701
[26] F. Mandoa, H. Saud, and Y. A. Reba, “Penyesuaian Diri Akademik Mahasiswa Ditinjau dari Regulasi Emosi dan Self-Esteem,” Psychocentrum Review, vol. 3, no. 1, pp. 119–127, 2021, doi: 10.26539/pcr.31595
[27] A. R. Fauziah and F. F. Fatimah, “Hubungan antara Harga Diri dengan Kesejahteraan Psikologis pada Ibu,” UG Journal, vol. 15, no. 9, pp. 26–35, 2021.
[28] A. Susanto, Bimbingan dan Konseling di Sekolah, 1st ed. Jakarta: Kencana, 2018.
[29] J. Hardika, I. Noviekayati, and S. Saragih, “Hubungan Self-Esteem dan Kesepian dengan Kecenderungan Gangguan Kepribadian Narsistik pada Remaja Pengguna Sosial Media Instagram,” Psikosains: Jurnal Penelitian dan Pemikiran Psikologi, vol. 14, no. 1, pp. 1–9, 2019, doi: 10.30587/psikosains.v14i1.928
[30] N. Nuraeni and M. Mastari, “Pengaruh Konseling Kelompok terhadap Self-Esteem Siswa,” Realita: Jurnal Bimbingan dan Konseling, vol. 6, no. 2, pp. 1326–1330, 2022, doi: 10.33394/realita.v6i2.4492
[31] D. N. Kholiza, H. R. Dewinda, and A. Anggawira, “Hubungan antara Self-Esteem dengan Social Anxiety pada Remaja Berstatus Sosial Ekonomi Rendah,” Psyche 165 Journal, vol. 15, no. 2, pp. 68–73, 2022, doi: 10.35134/jpsy165.v15i2.152
[32] S. Sudi, F. M. Sham, and P. Yama, “Kecerdasan Spiritual Menurut Perspektif Hadis,” Al-Irsyad: Journal of Islamic Contemporary Issues, vol. 2, no. 2, pp. 1–11, 2017.
[33] A. W. Robet, A. P. Rini, and E. A. Ariyanto, “Perilaku Altruisme Remaja: Adakah Peranan Religiusitas dan Pola Asuh Orang Tua?,” Innovative Journal of Psychology Research, vol. 3, no. 1, pp. 171–181, 2023.
[34] C. F. Ananda and I. W. Dharmayana, “Meningkatkan Self-Esteem Siswa melalui Layanan Penguasaan Konten Religiusitas di Kelas VIII MTs Negeri 1 Kota Bengkulu,” Triadik: Jurnal Ilmiah Bimbingan dan Konseling, vol. 17, no. 2, pp. 12–20, 2018.
[35] M. W. Fauzan, “Hubungan antara Religiusitas dengan Harga Diri pada Mahasiswa,” Undergraduate Thesis, Universitas Islam Indonesia, 2012.
[36] A. Salsabilla, R. Proborini, and Setriani, “Hubungan Self-Esteem dengan Regulasi Emosi pada Siswa SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung,” Jurnal Psikologi Konseling, vol. 17, no. 2, pp. 205–213, 2024.
[37] L. I. Mariyati, E. H. Ansyah, N. A. Rahman, I. N. Akbar, and S. Wafa, “Influence of Religiosity on Occupational Well-Being and the Role of Mindfulness as a Mediator in Kindergarten Teachers as the SDGs Implementation,” Jurnal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, vol. 9, no. 1, pp. 95–115, 2024, doi: 10.33367/psi.v9i1.5280
[38] A. Syahfitri, “Hubungan Dukungan Sosial dengan Self-Esteem pada Lansia,” Doctoral Dissertation, Universitas Medan Area, 2023.
[39] G. Pusztai and H. Fényes, “Religiosity as a Factor Supporting Parenting and Its Perceived Effectiveness in Hungarian School Children’s Families,” Religions, vol. 13, no. 10, pp. 1–16, 2022, doi: 10.3390/rel13100945
[40] K. Taniguchi, “The Impact of Parental Confidence in Using Technology on Parental Engagement in Children’s Education at Home During COVID-19 Lockdowns: Evidence from 19 Countries,” SN Social Sciences, vol. 3, no. 6, pp. 1–22, 2023, doi: 10.1007/s43545-023-00672-0
[41] R. M. Jocson and A. S. Garcia, “Religiosity and Spirituality Among Filipino Mothers and Fathers: Relations to Psychological Well-Being and Parenting,” Journal of Family Psychology, vol. 35, no. 6, pp. 801–810, 2021, doi: 10.1037/fam0000853
[42] S. L. Pribesh, J. S. Carson, M. J. Dufur, Y. Yue, and K. Morgan, “Parental Involvement and Educational Outcomes,” Unpublished Manuscript, 2020.
[43] I. Lavi, E. J. Ozer, L. F. Katz, and J. J. Gross, “The Role of Parental Emotion Reactivity and Regulation in Child Maltreatment and Maltreatment Risk: A Meta-Analytic Review,” Clinical Psychology Review, vol. 90, pp. 1–13, 2021, doi: 10.1016/j.cpr.2021.102099
[44] S. D. Harti, “Keteladanan Orang Tua dalam Mengembangkan Moralitas Anak Usia Dini,” Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 7, no. 5, pp. 5369–5379, 2023, doi: 10.31004/obsesi.v7i5.5191
[45] R. C. Azzara, M. Simanjuntak, and H. Puspitawati, “The Influence of Religiosity, Economic Pressure, Financial Management, and Stress Levels Towards Family Quality of Life During Covid-19 Pandemic in Indonesia,” Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, vol. 15, no. 1, pp. 27–38, 2022, doi: 10.24156/jikk.2022.15.1.27
[46] H. H. Kelley, L. D. Marks, and D. C. Dollahite, “Uniting and Dividing Influences of Religion on Parent–Child Relationships in Highly Religious Families,” Psychology of Religion and Spirituality, vol. 14, no. 1, pp. 128–139, 2022, doi: 10.1037/rel0000321
[47] D. Singh, “Parental Attachment and Psychological Well-Being in Adolescents: Mediating Role of Self-Esteem,” Indian Journal of Youth and Adolescent Health, vol. 8, no. 1, pp. 13–17, 2021, doi: 10.24321/2349.2880.202103
[48] S. Krauss, U. Orth, and R. W. Robins, “Longitudinal Study from Age 10 to 16,” Developmental Psychology, vol. 119, no. 2, pp. 457–478, 2021, doi: 10.1037/pspp0000263
[49] C. Kong and F. Yasmin, “Impact of Parenting Style on Early Childhood Learning: Mediating Role of Parental Self-Efficacy,” Frontiers in Psychology, vol. 13, pp. 1–11, 2022, doi: 10.3389/fpsyg.2022.928629
[50] F. Rochman, N. Ismail, and W. B. Nugroho, “Pengaruh Religiusitas Orang Tua, Pergaulan Teman Sebaya, dan Keteladanan Guru terhadap Perilaku Keberagamaan Siswa SMP Muhammadiyah 6 Yogyakarta,” JOTE: Journal of Teacher Education, vol. 3, no. 3, pp. 21–34, 2022.
[51] A. Harum, S. Latif, and M. Anas, “Pelatihan Dukungan Kesehatan Mental dan Psikososial pada Guru PAUD dan SD Kelas Awal,” Jurnal Altifani: Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, vol. 3, no. 1, pp. 140–147, 2023, doi: 10.25008/altifani.v3i1.334
[52] M. C. Goeke-Morey and E. M. Cummings, “Religiosity and Parenting: Recent Directions in Process-Oriented Research,” Current Opinion in Psychology, vol. 15, pp. 7–12, 2017, doi: 10.1016/j.copsyc.2017.02.006
[53] A. M. Albanese, G. R. Russo, and P. A. Geller, “The Role of Parental Self-Efficacy in Parent and Child Well-Being: A Systematic Review of Associated Outcomes,” Child: Care, Health and Development, vol. 45, no. 3, pp. 333–363, 2019, doi: 10.1111/cch.12661
[54] M. A. Goodman and W. J. Dyer, “From Parent to Child: Family Factors That Influence Faith Transmission,” Psychology of Religion and Spirituality, vol. 12, no. 2, pp. 178–190, 2020, doi: 10.1037/rel0000283
[55] D. S. Ariani, T. Na’imah, P. Rahardjo, and Z. Y. Akbar, “Perbedaan Religiusitas Ditinjau dari Jenis Pola Asuh Orang Tua pada Peserta Didik,” Psycho Holistic, vol. 2, no. 2, pp. 184–195, 2020.
[56] H. J. Won and C. Hun-Ha, “Effect of Parenting Stress, Self-Esteem and Parent–Child Interaction in Parents of Children with Allergic Rhinitis on Self-Esteem of Children: Analysis of Actor-Partner Interdependence Model,” Japan Journal of Nursing Science, vol. 17, no. 2, pp. 1–13, 2020, doi: 10.1111/jjns.12283
[57] A. E. Wells, L. M. Hunnikin, D. P. Ash, and S. H. M. van Goozen, “Low Self-Esteem and Impairments in Emotion Recognition Predict Behavioural Problems in Children,” Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment, vol. 42, no. 4, pp. 693–701, 2020, doi: 10.1007/s10862-020-09814-7
Downloads
Published
Issue
Section
Categories
License
Copyright (c) 2025 Risca Setya Rachman, Lely Ika Mariyati

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.