Active Learning Strategy to Improve Students’ Science Learning Outcomes
Strategi Pembelajaran Aktif untuk Meningkatkan Hasil Pembelajaran Sains Siswa
DOI:
https://doi.org/10.21070/ijis.v13i1.1795Keywords:
Active Learning, Science Education, Learning Outcomes, Classroom Strategy, Student EngagementAbstract
Background: Science learning requires active engagement to help students understand abstract concepts effectively. Specific Background: Many students still struggle to achieve optimal results when taught using conventional methods. Knowledge Gap: Few studies explore the application of this learning method in the selected science topic at the given educational level. Aim: This research aims to analyze the improvement of students’ learning outcomes through the implementation of the selected active learning strategy. Results: The findings indicate a significant increase in students’ post-test scores compared to pre-test scores, confirming the method’s ability to support better comprehension. Novelty: This study introduces the integration of the chosen active learning method in a science topic rarely studied in this context. Implications: The results suggest that teachers can adopt this approach as a model for designing engaging and effective science lessons.
10. Highlight & KeywordHighlight
-
Active learning improves science achievement
-
Pre-test and post-test results show clear improvement
-
Supports future lesson planning
Keyword: Active Learning, Science Education, Learning Outcomes, Classroom Strategy, Student Engagement
Pendahuluan
Setiap manusia menginginkan kebahagiaan dan kesejahteraan (well being) dalam hidupnya. Tidak dipungkiri bahwa kesejahteraan menjadi tujuan utama dari eksistensi kehidupan manusia. Salah satu kesejahteraan dalam kehidupan manusia yaitu kesejahteraan psikologis (psychological well being). Menurut Huppert psychological well being merupakan kehidupan seorang individu yang berlangsung secara baik, yaitu kombinasi antara perasaan yang baik dan mampu untuk melakukan fungsinya sebagai manusia secara optimal [1]. Sedangkan menurut Ryff merupakan kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup, dan menciptakan hidup mereka lebih bermakna serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan diri. Manusia dapat dikatakan memiliki psychological well being yang baik bukan sekedar bebas dari indikator kesehatan mental negatif seperti terbebas dari kecemasan, tetapi juga tercapainya kebahagiaan dan lain lain [2]. Psychological well being terdiri dari beberapa aspek, yaitu aspek penerimaan diri (self acceptance), aspek Hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others), aspek Tujuan hidup (Purpose of life), aspek Penguasaan lingkungan (environmental mastery), aspek Pengembangan diri (personal growth), dan aspek Kemandirian (autonomy) [3]
Psychological well being penting bagi tiap individu untuk memperkuat keterikatan seseorang dalam menghadapi tanggung jawab dan mewujudkan potensi yang dimilikinya. Ketika psychological well being pada diri individu baik, maka hal ini akan berpengaruh dalam membentuk sikap yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, mampu untuk mengatur lingkungannya, memiliki tujuan hidup yang bermakna, membentuk hubungan yang positif dengan orang lain, serta akan mampu untuk mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya dengan maksimal [4]. Apabila psychological well being pada diri individu rendah berdampak pada kognitif, emosi, fisiologis, dan perilaku. Selain itu, individu dengan psychological well being yang rendah merasa tidak puas dengan diri sendiri dan kecewa dengan yang telah terjadi di kehidupan masa lalu karena tidak menghargai apa yang dimiliki [5]
Psychological well being juga penting bagi setiap individu salah satunya pada populasi remaja, Psychological well being sangat penting untuk dimiliki oleh seorang remaja agar dapat membantu remaja menumbuhkan emosi yang positif dalam dirinya, merasakan kebahagiaan, merasakan kepuasan hidup, mengurangi perilaku negatif dan mengurangi perasaan depresi[6]. Remaja dengan psychological well-being yang baik cenderung memiliki perasaan positif, mampu menyelesaikan masalah, dan terhubung secara sosial. [4]. Sebaliknya, psychological well-being yang rendah membuat remaja sulit menyaring pengaruh buruk dan cenderung berperilaku negatif. [6]. Hal ini bisa juga dialami remaja yang tinggal di panti asuhan, seperti hasil penelitian Duraisamy menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan memiliki psychological well being yang lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak tinggal di panti [7]. Pada umumnya, menurut Hurlock masa remaja adalah masa mencari jati diri, penuh konflik dan penentangan, serta masa perubahan yang mengakibatkan berbagai tingkat stress dan memiliki dampak potensial bagi perkembangan psikologis remaja salah satunya adalah kesejahteraan psikologis (psychological well being) [8].
Psychological well being yang rendah pada remaja panti terlihat seperti penerimaan diri yang kurang baik, merasa tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa terhadap kehidupan yang dijalani, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai hubungan baik dengan orang lain, serta tidak memiliki keyakinan yang dapat membuat hidupnya saat ini menjadi lebih berarti. [9] Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ningsih menunjukkan remaja yang tinggal di panti merasa kurang dapat menerima kondisinya, kecewa dan menyesal tinggal di panti, kurang akrab dengan pengasuhnya, tidak mengetahui apa tujuan hidupnya [10]. Penelitian Okti menunjukkan kondisi psychological well-being remaja yang tinggal di Panti Asuhan, seperti belum memiliki kemampuan untuk menerima keaadaan dirinya, belum memilikirasa saling percaya yang baik terhadap orang lain, tidak memiliki makna hidup, dan pada dimensi pertumbuhan diri telah mampu mengembangkan bakat serta kemampuan untuk pertumbuhan pribadi[11]
Berdasarkan survey awal peneliti berdasarkan aspek psychological well being yang dikemukakan oleh Ryff menggunakan angket yang dilakukan kepada 20 remaja panti asuhan Ar Rahman Ar Rahim diketahui sebanyak 11 remaja (55%) merasa kecewa dengan masa lalunya, 7 remaja (35%) sulit untuk menerima keadaan yang terjadi pada dirinya (Penerimaan Diri /Self Acceptance). Sebanyak 11 remaja (55%) sulit untuk percaya dengan orang lain, 1 remaja (5%) enggan untuk menolong orang lain, 4 remaja (20%) enggan untuk berbaur dengan orang lain (Hubungan Positif dengan Orang Lain /Positive Relation With Others). 1 remaja (5%) tidak memiliki cita cita, 10 remaja (50%) bingung dengan apa yang ingin dilakukan dalam hidupnya, 7 remaja (35%) menjalani kehidupan tanpa memikirkan masa depan (Tujuan Hidup /Purpose of Life). 6 remaja (30%) mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain, 12 remaja (60%) takut salah dalam mengambil keputusan, 3 remaja (15%) mengikuti apa yang dikatakan orang lain (Kemandirian /Autonomy). 9 remaja (45%) tidak tertarik untuk mengikuti kegiatan yang dapat memperluas wawasannya seperti lomba, 4 remaja (20%) enggan mengikuti kegiatan yang dapat mengembangkan dirinya seperti ekstrakuler (Pengembangan Diri /Personal Growth). 4 remaja (20%) kuwalahan melaksanakan tanggung jawab sehari hari, dan 2 remaja (10%) merasa sedih akan tuntutan di panti (Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery). Hasil survey ini menunjukkan bahwa masih ada remaja panti yang bermasalah dengan psychological well being di aspek-aspek yang berbeda.
Psychological well being dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ryff menyatakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi psychological well being pada diri individu antara lain jenis kelamin, status sosial ekonomi, kepribadian, dukungan sosial, usia, dan religiusitas [12]. Religiusitas sering dikaitkan dengan psychological well being, penelitian yang dilakukan Tumanggor menujukkan bahwa religiusitas berpengaruh signifikan sebesar 40,3% mempengaruhi psychological well being pada remaja[13] Religiusitas didefinisikan oleh Huber sebagai intensitas individu dalam menjalankan perintah agama, seberapa penting agama bagi individu, penghayatan dan keyakinan individu terhadap agamanya [14]. Huber dan Huber menyatakan bahwa religiusitas yang terdapat pada diri individu dapat diukur dari intensitas individu tersebut dalam menjalankan kewajiban agama yang paling menonjol[15] . Sedangkan Ancok dan Suroso mendefinisikan religiusitas sebagai tingkat keyakinan, pelaksanaan, pengetahuan, serta penghayatan individu terhadap ajaran agama yang diyakininya [16]. Aspek – aspek Religiusitas menurut Huber terdiri dari lima aspek, antara lain aspek Intellectual, aspek Ideology, aspek Public practice, aspek Private practice, dan aspek Religious experience
Ghufron mengungkapkan bahwa religiusitas memberikan pemahaman kepada setiap individu bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupannya merupakan suatu hal yang telah dikaruniai oleh tuhan kepadanya. Kesadaran diri, pemahaman dan kepasrahan diri kepada tuhan akan menghasilkan sikap penerimaan diri yang baik [4]. Herlina menyatakan bahwa seseorang dengan religiusitas tinggi akan memahami tujuan penciptaannya, menerima diri dengan positif, dan terus mengembangkan potensinya [17].
Selain Religiusitas, kecerdasan emosional juga sering dikaitkan dapat mempengaruhi psychological well being. Eid dan Larsen menyebutkan bahwa faktor faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well being adalah sosiodemografis, penilaian terhadap pengalaman kehidupan, religiusitas, optimisme, dukungan sosial, dan kecerdasan emosional [18]. Hasil penelitian yang dilakukan Indrawati terkait pengaruh kecerdasan emosional terhadap psychological well being pada remaja SMP Terbuka Cirebon menunjukkan bahwa kecerdasan emosional menjadi prediktor psychological well being yang dirasakan remaja SMP Terbuka Cirebon [19]. Kecerdasan emosional Kecerdasan emosional sendiri menurut Salovey & Mayer merupakan suatu kemampuan individu dalam mengenali, mengekspresikan, mengatur emosinya dan menggunakannya secara adaptif [20]. Sedangkan menurut Goleman sebagai kemampuan individu dalam mengendalikan emosinya sendiri dan orang lain, keterampilan memotivasi diri sendiri, dan keterampilan dalam mengolah emosi diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain secara baik [21]. Kecerdasan emosional memiliki beberapa aspek, menurut Salovey dan Mayer, aspek – aspek kecerdasan emosional antara lain perception of emotion (persepsi emosi), managing own emotion (pengelolaan emosi sendiri), managing other’s emotion (pengelolaan emosi orang lain) , dan utilization of emotional (pemanfaatan emosi). Menurut Pratiwi individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu mengendalikan dan mengatur emosinya, memiliki tujuan hidup, mampu menjaga emosi positif, meningkatkan produktivitas dalam kehidupan sehari-hari, mampu menghilangkan emosi negatif dalam diri, mudah menjalin hubungan positifdengan orang lain, cenderung menerima keadaan mereka, dan mampu untuk terus tumbuh dan berkembang [22]
Beberapa penelitian sebelumnya telah meneliti topik masalah psychological well being, seperti penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Siti (2022) yang meneliti mengenai hubungan antara forgiveness dengan psychological well being pada remaja yang tinggal di panti asuhan di wilayah Sumur Bandung[23]. Penelitian terdahulu lainnya yang dilakukan oleh Normadhoni (2023) meneliti mengenai pengaruh dukungan sosial terhadap psychological well being pada remaja di panti asuhan kecamatan Gajahmungkur [24] Penelitian yang dilakukan oleh Yuditha (2022) mengaitkan variabel bebas gratitude dan loneliness dengan psychological well beingpada remaja panti asuhan [25]. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini melihat pengaruh variabel bebas yang berbeda yaitu religiusitas dan kecerdasan emosional terhadap psychological well being pada remaja panti di kecamatan Candi kabupaten Sidoarjo.
Berdasarkan pembahasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah terdapat pengaruh religiusitas dan kecerdasan emosional terhadap psychological well being pada remaja panti asuhan di kecamatan Candi sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh religiusitas dan kecerdasan emosional terhadap psychological well being pada remaja panti asuhan di kecamatan Candi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian yakni hipotesis mayor yaitu terdapat pengaruh religiusitas dan kecerdas an emosional terhadap psychological well being pada remaja panti asuhan di kecamatan Candi. Hipotesis lain yaitu minor satu terdapat pengaruh religiusitas terhadap psychological well being pada remaja panti asuhan di kecamatan Candi dan hipotesis minor dua yaitu terdapat pengaruh kecerdasan emosional terhadap psychological well being pada remaja panti asuhan di kecamatan Candi.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode penelitian kuantitatif korelasional. Variabel dalam penelitian ini yaitu variabel Religiusitas sebagai variabel bebas pertama (X1), variabel Kecerdasan Emosional sebagai variabel bebas kedua (X2) dan variabel Psychological well being sebagai variabel terikat (Y) . Populasi dalam penelitian ini yaitu remaja berusia 12 – 18 tahun yang tinggal di Panti Asuhan yang berada di Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo yang terdiri dari Panti Al Muttahidin, Panti Al Maidah, Panti Mizan Amal, Panti Al Firdaus, Panti Ar Rahman Ar Rahim, Panti Tazzaka Binajah, Panti Al Mubarak yang berjumlah 106 remaja. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik sampling jenuh, menurut Sugiyono teknik sampling jenuh yakni teknik penentuan sampel apabila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel [26]. Artinya, dalam penelitian ini seluruh populasi remaja panti di Kecamatan Candi sejumlah 106 remaja digunakan sebagai sampel penelitian.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan 3 skala psikologi. Skala Ryff Scale of Psychological Well Being (RPWB) yang diadopsi dari penelitian Dinova berdasarkan teori Psychological Well Being dari Ryff yang terdiri dari enam aspek atau dimensi yaitu hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others), penerimaan diri (self acceptance), otonomi (autonomy), pertumbuhan pribadi (personal growth), penguasaan lingkungan (environmental mastery), dantujuan hidup (purpose in life) yang awalnya terdiri dari 22 item kemudian dilakukan uji validitas dan reabilitas oleh peneliti dengan hasil item valid berjumlah 18 item dan menunjukkan nilai reabilitas sebesar 0.833. Model skala yang digunakan yakni Likert dengan empat opsi pilihan jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) [27]
Skala The Centrality of Religiosity Scale (CRS) digunakan untuk mengumpulkan data religiusitas yang diadopsi dari skala yang dibuat Purnomo berdasarkan teori religiusitas Huber yang terdiri dari lima aspek yaitu intellectual, public practice, ideology, private practice, dan religious experience yang awalnya terdiri dari 33 item kemudian dilakukan uji validitas dan reabilitas oleh peneliti dengan hasil item valid berjumlah 27 item dan menunjukkan nilai reabilitas sebesar 0.883. Model skala yang digunakan yakni Likert dengan empat opsi pilihan jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) [28]
Untuk mengumpulkan data Kecerdasan emosional menggunakan Skala Schutte Emotional Intellegence Scale (SEIS) yang diadopsi dari Novita berdasarkan teori kecerdasan emosional dari Salovey dan Mayer yang terdiri dari empat aspek yakni aspek persepsi emosi, pengaturan emosi diri sendiri, pengaturan emosi orang lain, dan pemanfaatan emosi yang awalnya terdiri dari 33 item kemudian dilakukan uji validitas dan reabilitas oleh peneliti dengan hasil item valid berjumlah 26 item dan menunjukkan nilai reabilitas sebesar 0.867 [29]. Model skala ini awalnya terdiri dari 5 pilihan jawaban yang terdiri dari Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS) kemudian dimodifikasi menjadi 4 opsi pilihan jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Tujuan meniadakan pilihan “netral” pada skala ini agar responden memilih salah satu kutub dan menghindari responden bersikap netral atau tidak berpendapat [26]. Untuk pengujian hipotesis menggunakan analisis multiple regression (regresi berganda) menggunakan bantuan software SPSS 16 for Windows. .
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
Penelitian ini diperoleh sampel sebesar 106 remaja yang tinggal di Panti Asuhan di Kecamatan Candi. Penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas (independen) yaitu religiusitas dan kecerdasan emosional, serta satu variabel terikat (dependen) yaitu psychological well being. Sebelum diadakan uji hipotesis dengan teknik analisis data, maka ada uji prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu yaitu uji normalitas, uji linieritas dan uji multikolinieritas.
Tabel 1. Data Demografis Subjek
Berdasarkan Jenis Kelamin | Frekuensi | Persentase (%) |
---|---|---|
Laki Laki | 26 | 25% |
Perempuan | 80 | 75% |
Jumlah | 106 | 100% |
Berdasarkan Asal Panti | ||
Al Muttahidin | 9 | 8% |
Al Mubarak | 13 | 12% |
Mizan Amal | 29 | 27% |
Ar Rahman Ar Rahim | 31 | 29% |
Al Firdaus | 13 | 12% |
Tazakka Binajah | 6 | 6% |
Al Maidah | 5 | 5% |
Jumlah | 106 | 100% |
Pada tabel 1 didapatkan hasil responden didapatkan sebanyak 106 remaja panti asuhan yang ada di kecamatan Candi. Dari jumlah tersebut, responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa responden paling banyak adalah perempuan, yaitu sebanyak 80 remaja dengan persentase 75%. Sementara itu, responden berjenis kelamin laki laki sebanyak 26 remaja dengan persentase 25%. Jika dilihat berdasarkan asal panti, diperoleh bahwa remaja dari panti asuhan Ar Rahman Ar Rahim lebih banyak dengan frekuensi 31 remaja dengan persentase 29%.
Selanjutnya dilakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berdistribusi normal atau tidak dengan teknik One Sample Kolmogorov Smirnov Test pada aplikasi SPSS 26 for Windows. Data dinyatakan berdistribusi normal apabila nilai signifikansi yang dihasilkan > 0,05[30] .
One Sample Kolmogorov -Smirnov Test | N | Asymp. Sig. | Keterangan |
---|---|---|---|
106 | .131 | Normal | |
Hasil uji normalitas mendapatkan nilai signifikansi Asymp.Sig (2-tailed) sebesar 0.131 > 0,05. Maka dapat dikatakan bahwa residu yang dihasilkan dari model regresi memenuhi asumsi normalitas.
Uji asumsi klasik selanjutnya adalah uji linieritas, tujuan dari uji asumsi ini adalah bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel atau lebih memiliki hubungan linier secara signifikan atau tidak [31]
Variabel | F | Sig. | |
---|---|---|---|
PWB * Religiusitas | Linearity | 9.648 | .003 |
Deviation from Linearity | .676 | .886 | |
PWB * Kecerdasan Emosional | Linearity | 36.621 | .000 |
Deviation from Linearity | 1.038 | .437 |
Dari hasil tabel 3 uji linieritas, variabel Religiusias dengan Psychological Well Being mendapatkan nilai sig Deviation From Liniearity sebesar 0.886 > 0.05. Maka variabel Religiusitas (X1) linier dengan variabel Psychological Well Being (Y) dan pada variabel Kecerdasan Emosional dengan Psychological Well Being mendapatkan nilai sig Deviation From Liniearity sebesar 0.437 > 0.05. Maka variabel Kecerdasan Emosional (X2) linier dengan variabel Psychological Well Being (Y)
Selanjutnya dilakukan uji asumsi yaitu uji multikolinieritas, uji multikolinieritas ini berfungsi untuk melihat ada atau tidaknya korelasi yang tinggi antara variabel-variabel bebas dalam suatu model regresi linear berganda [32] .
Variabel | Tolerance | VIF | Keterangan |
---|---|---|---|
Religiusitas | .771 | 1.297 | Tidak Terjadi Multikolinieritas |
Kecerdasan Emosional | .771 | 1.297 | Tidak Terjadi Multikolinieritas |
Adanya multikolinearitas dapat dilihat dari Variance Inflation Factor (VIF) jika nilai VIF < 10 maka dinyatakan tidak terjadi multikolinearitas. Dari tabel 4 menunjukkan VIF menunjukkan angka 1.297 < 10.00. Mengacu pada dasar pengambilan keputusan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat tanda-tanda multikolinearitas pada kedua variabel.
Model | Sum of Squares | df | Mean Square | F | Sig. | ||
---|---|---|---|---|---|---|---|
1 | Regression | 1529.021 | 2 | 764.510 | 18.367 | .000b | |
Residual | 4287.328 | 103 | 41.625 | ||||
Total | 5816.349 | 105 |
Hasil uji hipotesis mayor pada tabel 5 menunjukkan hasil koefiesien F sebesar 18.367 > 3.08 dalam (p=0.000 < 0.05). Artinya, variabel Religiusitas (X1) dan Kecerdasan Emosional (X2) berpengaruh secara simultan terhadap Psychological Well Being (Y) remaja panti asuhan di kecamatan Candi . Selanjutnya, dalam penelitian ini dilakukan uji determinasi untuk untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variabel terikat (dependen) [33].
Model | R | R Square | Adjusted R Square | Std. Error of the Estimate |
---|---|---|---|---|
1 | .513a | 0.263 | .249 | 6.452 |
Hasil uji determinasi yang telah dilakukan menunjukkan sumbangan efektif secara keseluruhan apabila religiusitas beserta kecerdasan emosional secara simultan mempengaruhi psychological well being remaja panti yang ada di kecamatan Candi sebesar 26,3%, dan 73,7% disumbang oleh faktor - faktor lain yang tidak dipertimbangkan penelitian ini.
Model | Unstandardized Coefficients | Standardized Coefficients | t | Sig. | ||
---|---|---|---|---|---|---|
B | Std. Error | Beta | ||||
1 | (Constant) | 12.610 | 7.563 | 1.667 | .099 | |
Religiusitas | .072 | .086 | .080 | .834 | .406 | |
Hasil tersebut menunjukkan nilai t hitung < t tabel (0.834 < 1.983) dengan nilai signifikansi 0,406 > 0,05. Disimpulkan bahwa Religiusitas (X1) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Psychological Well Being (Y).
Model | Unstandardized Coefficients | Standardized Coefficients | t | Sig. | ||
---|---|---|---|---|---|---|
B | Std. Error | Beta | ||||
1 | (Constant) | 12.610 | 12.610 | 1.667 | .099 | |
Kecerdasan Emosional | .377 | .377 | .469 | 4.871 | .000 | |
Hasil tersebut menunjukkan nilai t hitung > t tabel (4.871 > 1.983) dengan nilai signifikansi 0,000 < 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa variable Kecerdasan Emosional (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap Psychological Well Being (Y).
Kategorisasi | Psychological Well Being | Religiusitas | Kecerdasan Emosional | |||
---|---|---|---|---|---|---|
∑ Subjek | % | ∑ Subjek | % | ∑ Subjek | % | |
Rendah | 15 | 14% | 17 | 16% | 13 | 12% |
Sedang | 71 | 67% | 69 | 65% | 68 | 64% |
Tinggi | 20 | 19% | 20 | 19% | 25 | 24% |
TOTAL | 106 | 100% | 106 | 100% | 106 | 100% |
Tabel 9 menunjukkan bahwa pada variabel Psychological Well Being terdapat 15 subjek dengan psychological well being rendah, 71 subjek dengan psychological well being sedang, dan 20 subjek dengan psychological well being tinggi. Pada variabel religiusitas, 17 subjek termasuk dalam kategori rendah, 69 subjek dalam kategori sedang, dan 20 subjek dalam kategori tinggi. Pada variabel kecerdasan emosional, 13 subjek termasuk dalam kategori rendah, 68 subjek dalam kategori sedang, dan 25 subjek dalam kategori tinggi. Tabel 9 menunjukkan bahwa variabel psychological well being memiliki persentase terbesar sebesar 67% dalam kategori sedang, variabel religiusitas sebesar 65%, dan variabel kecerdasan emosional sebesar 64% dalam kategori sedang. Selain, mencari kategorisasi berdasarkan selruh sampel, peneliti juga menghitung kategorisasi sampel berdasarkan setiap panti.
Asal Panti | Kategorisasi | Psychological Well Being | Religiusitas | Kecerdasan Emosional | |||
---|---|---|---|---|---|---|---|
∑ Subjek | % | ∑ Subjek | % | ∑ Subjek | % | ||
Al Muttahidin | Rendah | 1 | 11% | 2 | 22% | 2 | 22% |
Sedang | 6 | 67% | 6 | 67% | 6 | 67% | |
Tinggi | 2 | 22% | 1 | 11% | 1 | 11% | |
TOTAL | 9 | 100% | 9 | 100% | 9 | 100% | |
Al Mubarak | Rendah | 0 | 0% | 5 | 38% | 1 | 8% |
Sedang | 9 | 69% | 7 | 54% | 8 | 62% | |
Tinggi | 4 | 31% | 1 | 8% | 4 | 31% | |
TOTAL | 13 | 100% | 13 | 100% | 13 | 100% | |
Mizan Amal | Rendah | 6 | 21% | 1 | 3% | 3 | 10% |
Sedang | 18 | 62% | 23 | 79% | 21 | 72% | |
Tinggi | 5 | 17% | 5 | 17% | 5 | 17% | |
TOTAL | 29 | 100% | 29 | 100% | 29 | 100% | |
Ar Rahman Ar Rahim | Rendah | 5 | 16% | 5 | 16% | 4 | 13% |
Sedang | 21 | 68% | 15 | 48% | 17 | 55% | |
Tinggi | 5 | 16% | 11 | 35% | 10 | 32% | |
TOTAL | 31 | 100% | 31 | 100% | 31 | 100% | |
Al Firdaus | Rendah | 2 | 15% | 1 | 8% | 2 | 15% |
Sedang | 8 | 62% | 11 | 85% | 7 | 54% | |
Tinggi | 3 | 23% | 1 | 8% | 4 | 31% | |
TOTAL | 13 | 100% | 13 | 100% | 13 | 100% | |
Tazakka Binajah | Rendah | 1 | 17% | 2 | 33% | 1 | 17% |
Sedang | 5 | 83% | 4 | 67% | 5 | 83% | |
Tinggi | 0 | 0% | 0 | 0% | 0 | 0% | |
TOTAL | 6 | 100% | 6 | 100% | 6 | 100% | |
Al Maidah | Rendah | 0 | 0% | 1 | 20% | 0 | 0% |
Sedang | 4 | 80% | 3 | 60% | 4 | 80% | |
Tinggi | 1 | 20% | 1 | 20% | 1 | 20% | |
TOTAL | 5 | 100% | 5 | 100% | 5 | 100% |
Tabel 10 menunjukkan bahwa variabel psychological well being didominasi pada kategori sedang di setiap panti, variabel religiusitas menunjukkan paling dominan pada kategori sedang, begitu juga dengan variabel kecerdasan emosional menunjukkan paling banyak pada kategori sedang.
B. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan uji regresi linier berganda mendapatkan hasil koefisien F sebesar 18.367 dan (p value < 0,05). Artinya hipotesis mayor dalam penelitian ini diterima, yaitu terdapat pengaruh Religiusitas dan Kecerdasan Emosional secara simultan terhadap Psychological Well Being pada remaja panti asuhan di Kecamatan Candi. Temuan ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Pratiwi yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Religiusitas terhadap Psychological Well Being pada remaja SMA Negeri 12 Semarang, hasil penelitian tersebut menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05 yang artinya kecerdasan emosi dan religiusitas berpengaruh terhadap psychological well being pada remaja di SMA Negeri 12 Semarang [22]
Religiusitas merupakan suatu keyakinan maupun pikiran individu dalam memandang dunia sehingga dapat mempengaruhi pengalaman serta perilaku dalam kehidupan individu sehari-hari [15]. Sikap Religiusitas yang baik akan memberikan pemahaman kepada setiap individu bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupannya merupakan suatu hal yang telah dikaruniai oleh Tuhan kepadanya [4]. Remaja panti asuhan dengan religiusitas tinggi akan memiliki penghayatan yang kuat dalam menjalani kehidupan, salah satu bentuk dari penerimaan yakni menerima takdir Tuhan, atau segala sesuatu yang terjadi didunia ini atas kehendak Tuhan, sehingga tidak menolak takdir, menjalani penuh rasa syukur dan sabar. Penerimaan diri merupakan ciri utama kesehatan mental dalam aspek psychological well being, yang menentukan kematangan seseorang, kemampuan dalam mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya baik aspek positif maupun negatif [34].Aturan-aturan atau ajaran dalam agama yang diyakini menjadi penuntun dalam kehidupan individu sehari-hari baik dalam hubungannya terhadap Tuhan yang diyakininya maupun hubungan terhadap sesama, aturan dan ajaran tersebut akan membentuk hubungan yang positif dengan orang lain baik dengan teman sebaya maupun dengan pengasuh panti [4]
Hasil analisis pengaruh religiusitas terhadap psychological well being secara parsial menunjukkan nilai t sebesar 0.834 < 1.983 dengan nilai signifikansi 0,406 > 0,05 yang berarti religiusitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap psychological well being pada remaja panti asuhan di kecamatan Candi. Sehingga hipotesis minor satu pada penelitian ini ditolak. Dengan demikian religisitas tidak bisa berpengaruh secara mandiri terhadap tinggi rendahnya psychological well being remaja panti. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Tsaqofah yang meneliti terkait religiusitas terhadap psychological well being santri pondok pesantren Nurul Quran Al Istiqomah Bungah Gresik penelitian tersebut mendapatkan hasil nilai (Sig.) sebesar 0,927>0,05 yang artinya tidak ada pengaruh yang signifikan antara religiusitas terhadap psychological well being [35]. Meskipun pada beberapa penelitian religiusitas mampu mempengaruhi psychological well being namun religiusitas bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya psychological well being pada remaja panti asuhan. Banyak faktor lain yang dapat menjadi pengaruh atas tinggi rendahnya psychological well being remaja panti. Temuan ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tumanggor yang meneliti terkait pengaruh religiusitas terhadap psychological well being pada remaja di era pandemi, hasil penelitian tersebut menunjukkan nilai p < .001. Hal ini berarti terdapat pengaruh religiusitas terhadap psychological well being kaum remaja [13]
Hasil analisis pengaruh kecerdasan emosional terhadap psychological well being secara parsial menunjukkan nilai t sebesar 4.871 > 1.983 dengan nilai signifikansi 0,000 < 0,05 dengan demikian hipotesis minor dua diterima yaitu terdapat pengaruh kecerdasan emosional terhadap psychological well being pada remaja panti asuhan di kecamatan Candi. Remaja panti asuhan yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu mengendalikan dan mengatur emosinya, memiliki tujuan hidup, mampu menjaga emosi positif, meningkatkan produktivitas dalam kehidupan sehari-hari, mampu menghilangkan emosi negatif dalam diri, mudah menjalin hubungan positif dengan orang lain, cenderung menerima keadaan mereka, dan mampu untuk terus tumbuh dan berkembang [22] Sehingga, remaja panti yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan berdampak pula pada psychological well beingnya. Kecerdasan emosional dikaitkan dengan kemampuan individu untuk mengenali, mengekspresikan, mengatur emosinya dan menggunakannya secara adaptif [14]. Remaja panti seringkali seringkali menghadapi tantangan emosional yang unik, termasuk kehilangan orang tua, perpisahan dengan saudara maupun kerabat maupun kurangnya dukungan keluarga yang konsisten [23]. Kecerdasan emosional memainkan peran penting dalam psychological well being remaja panti asuhan, remaja panti asuhan yang memiliki kecerdasan emosional yang baik memiliki keterampilan dalam mengelola emosi, merasakan emosi diri sendiri maupun orang lain [36]. Remaja panti asuhan yang mampu memahami emosi diri sendiri dan orang lain akan lebih berhati-hati dalam bertindak sehingga menghasilkan interaksi yang positif dengan orang lain baik dengan pengasuh maupun dengan teman sebayanya, membantu remaja menjadi lebih mandiri karena secara emosi tidak tergantung pada orang lain, akan lebih memahami tindakan yang perlu diambil dalam suatu kondisi dan tidak memerlukan orang lain untuk membantu mengambil keputusan, kemampuan mengendalikan emosi juga membantu individu berpikir jernih, sehingga mampu mengevaluasi diri secara objektif dan menerima diri sendiri, dengan berpikir jernih remaja dapat melihat situasi lebih objektif, mengontrol emosi negatif, dan memanfaatkan peluang untuk meraih masa depan.[37]
Hal ini didukung oleh penelitian yang pernah dilakukan Chairani terkait pengaruh kecerdasan emosional terhadap psychological well being remaja pada masa Covid 19, penelitian tersebut membuktikan bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi secara positif terhadap psychological well being remaja pada masa covid 19. Dengan artian, semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi pula psychological well being remaja [38]. Penelitian lain yang mendukung, penelitian yang dilakukan oleh Indrawati mengaitkan pengaruh kecerdasan emosional terhadap psychological well being pada remaja SMP Terbuka di Cirebon menunjukkan hasil nilai p=0,001 (p<0,05) yang artinya kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap psychological well being [19].
Uji determinasi pada penelitian ini mendapatkan nilai R Square sebesar 0.263 atau besaran pengaruh religiusitas dan kecerdasan emosional sebesar 26,3% sedangkan 73,7% lainnya dipengaruhi oleh faktor faktor psychological well being lainnya yang tidak dilibatkan dalam penelitian ini. Dengan demikian religiusitas bisa berpengaruh terhadap psychological well being apabila disertai dengan kecerdasan emosional pada remaja panti asuhan di Kecamatan Candi. Ryff menjelaskan bahwasannya psychological well being dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis kelamin, status sosial ekonomi, kepribadian, dukungan sosial, usia, optimisme, dan religiusitas [39]. Faktor – faktor psychological well being yang dikatakan oleh Ryff pernah diteliti oleh Nurhidayah, dimana penelitian tersebut menguji pengaruh dukungan sosial terhadap psychological well being pada remaja dengan orang tua yang bercerai, menunjukan nilai (ρ < 0.05), artinya menunjukan bahwa terdapat pengaruh signifikan positif antara dukungan sosial terhadap psychological well being [40]. Penelitian lain yang dilakukan oleh Arum dengan melibatkan variabel optimisme terhadap psychological well being pada siswa SMA menunjukkan hasil nilai t sebesar 7.313 dan nilai (ρ < 0.05) artinya optimisme yang dimiliki seseorang berpengaruh terhadap psychological well being yang dirasakan [41]
Hasil analisis deskriptif berdasarkan kategorisasi menunjukkan psychological well being remaja panti di kecamatan Candi masuk pada kategori sedang cenderung tinggi terdiri dari remaja dari Al Muttahidin, Al Mubarak, Ar Rahman Ar Rahim, Al Firdaus, dan Al Maidah secara umum remaja yang memiliki psychological well being yang tinggi akan mampu menerima keadaan dirinya, mempunyai hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup, serta mempu mengembangkan potensi dalam dirinya [2]. Sedangkan remaja dari panti Mizan amal dan Tazakka Binajah menunjukkan pada kategori sedang cenderung rendah, secara umum remaja yang memiliki psychological well being cenderung rendah akan kurang mampu dalam menerima keadaan dirinya, enggan mempunyai hubungan yang hangat dengan orang lain, kurang mandiri terhadap tekanan sosial, kurang mampu mengontrol lingkungan eksternal, tidak memiliki arti dalam hidup, serta kurang mampu mengembangkan potensi dalam dirinya.
Religiusitas remaja pada panti Mizan Amal, Ar Rahman Ar Rahim, Al Firdaus, dan Al Maidah menunjukkan pada kategori sedang cenderung tinggi, secara umum remaja yang memiliki religiusitas yang tinggi akan cenderung menjalankan kewajiban agama yang paling menonjol [15] ,sedangkan remaja dari panti Al Muttahidin, Tazakka Binajah, dan Al Mubarak menunjukkan religiusitas pada kategori cenderung rendah secara umum remaja yang memiliki religiusitas yang cenderung rendah akan kurang dalam menjalankan kewajiban agama.
Kecerdasan emosional remaja pada panti Al Mubarak, Mizan Amal, Ar Rahman Ar Rahim, Al Firdaus, Al Maidah menunjukkan pada kategori sedang cenderung tinggi, secara umum remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan memiliki mampu untuk dalam menilai, mengekspresikan, mengatur emosi dan menggunakannya secara adaptif sedangkan remaja dari panti Al Muttahidin dan Tazakka Binajah masuk dalam kategori sedang cenderung rendah, secara umum remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah akan cenderung kurang mampu dalam menilai, mengekspresikan, mengatur emosi dan menggunakannya secara adaptif [20]
Limitasi pada penelitian ini terletak pada jumlah subjek yang terbatas karena hanya difokuskan pada panti asuhan yang ada di kecamatan Candi kabupaten Sidoarjo saja. Selain itu hanya memfokuskan pada dua faktor internal yaitu religisitas dan kecerdasan emosional sedangkan faktor eksternal psychological well being tidak menjadi pertimbangan dalam penelitian ini.
Simpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh Religiusitas dan Kecerdasan Emosional secara simultan terhadap Psychological Well Being pada remaja panti asuhan di kecamatan Candi kabupaten Sidoarjo dengan signifikansi (p value < 0,05). Yang berarti hipotesis mayor pada penelitian ini diterima, yaitu terdapat pengaruh religiusitas dan kecerdasan emosional terhadap psychological well being, artinya apabila religiusitas dan kecerdasan emosional seseorang tinggi maka akan berdampak pada psychological well being yang tinggi pula, begitu juga sebaliknya. Religiusitas dan Kecerdasan emosional berpengaruh sebesar 26,3% sedangkan 73,7%nya dipengaruhi oleh faktor – faktor lain. Hasil analisis lain dengan uji t menunjukkan bahwa religiusitas dan psychological well being mendapatkan nilai 0,406 > 0,05 dengan artian hipotesis minor satu ditolak yaitu tidak ada pengaruh signifikan religiusitas terhadap psychological well being pada remaja panti asuhan di kecamatan Candi. Sedangkan uji t kecerdasan emosional terhadap psychological well being mendapatkan nilai signifikansi 0,000 < 0,05 dengan artian hipotesis minor dua diterima yaitu terdapat pengaruh kecerdasan emosional terhadap psychological well being pada remaja panti asuhan di kecamatan Candi.
Dari hasil penelitian ini diharapakan agar pihak pengasuh panti asuhan tidak hanya menekankan pada aktivitas keagamaann saja, namun juga perlu untuk mengembangkan program pelatihan dan melatih kecerdasan emosional untuk remaja yang tinggal di panti asuhan untuk mencapai psychological well being yang baik.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat, rahmat, dan karunia-Nya yang telah memberikan ilmu pengetahuan, pengalaman, kekuatan, kesabaran, dan kesempatan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Dalam proses penulisan penelitian ini, peneliti telah menerima banyak bantuan waktu, tenaga, dan pikiran dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kepada pengurus panti asuhan dan remaja panti asuhan Mizan Amal, Al Mubarak, Ar Rahman Ar Rahim, Al Muttahidin, Al Firdaus, Tazakka Binajah, dan Al Maidah yang telah meluangkan waktunya untuk berkontribusi sebagai responden dalam penelitian ini.
References
[1] D. Kantung and S. Harjanti, “Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Panti Asuhan Ditinjau dari Internal Locus of Control dan Spiritualitas,” Gadjah Mada Journal of Professional Psychology, vol. 7, no. 1, pp. 83–98, 2021, doi: 10.22146/gamajop.62236.
[2] N. Afiffatunnisa and R. Sundari, “Hubungan Trait Mindfulness dan Resiliensi dengan Psychological Well-Being pada Single Mother di Komunitas Save Janda,” Seminar Nasional, no. April, pp. 52–64, 2021.
[3] F. S. Ade, Irdam, and H. F. Riyanda, “Gratitude (Kebersyukuran) dan Psychological Well-Being Remaja Panti Asuhan Rahmatan Lil’alamiin,” Psyche 165 Journal, vol. 15, no. 2, pp. 43–49, 2022, doi: 10.35134/jpsy165.v15i2.157.
[4] M. A. R. R. Elfahmi and L. I. Mariyati, “The Relationship Between Religiosity and Psychological Well-Being in the Elderly,” Indonesian Journal of Innovation Studies, vol. 21, pp. 1–14, 2023, doi: 10.21070/ijins.v21i.787.
[5] M. Deviana, “Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Remaja,” Jurnal Pendidikan dan Konseling, vol. 5, no. 1, pp. 11438–11444, 2023.
[6] M. A. Salmah, “Psychological Well-Being pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan,” pp. 168–179, 2019.
[7] P. Duraisamy, R. Raman, R. S. Kashyap, K. DM, and M. TN, “A Comparative Study on Depression, Anxiety, Stress, and Psychological Wellbeing Among Orphan and Non-Orphan Adolescents,” International Journal of Health and Allied Sciences, vol. 11, no. 3, 2023, doi: 10.55691/2278-344x.1036.
[8] M. W. Pangestika, “Hubungan antara Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan,” 2019, doi: 10.20473/brpkm.v2i1.36587.
[9] D. R. Hidayat, “Kondisi Kesejahteraan Secara Psikologis pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan Garut,” Jurnal Kesehatan Al-Irsyad, vol. 17, pp. 126–132, 2024.
[10] L. L. Ningsih, “Psychological Well-Being pada Remaja Panti Asuhan Aisyiyah Balongbendo Lely,” G-COUNS: Jurnal Bimbingan dan Konseling, vol. 4, no. 1, pp. 40–50, 2024.
[11] R. Okti, “Psychological Well-Being pada Remaja di Panti Asuhan Bintang Terampil Kota Bengkulu,” pp. 1–115, 2019.
[12] S. Hidayat, Y. R. Agung, and R. Fuaturosida, “Psychological Well-Being pada Anak-Anak Remaja Panti Asuhan Taslimiyah Krebet,” Jurnal Indonesian Psychological Science, vol. 1, no. 1, 2021, doi: 10.18860/jips.v1i01.14929.
[13] R. O. D. Agoes and Tumanggor, “Religiusitas dan Kesejahteraan Psikologis Kaum Remaja di Era Pandem,” Kompas Cyber Media, pp. 1393–1400, 2021. [Online]. Available: http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/nrvk3
[14] A. V. N. A. Kosasih, S. Sarbini, and A. Mulyana, “Leisure Boredom dan Religiusitas: Pengaruhnya terhadap Kecenderungan Adiksi Internet,” Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, vol. 8, no. 1, pp. 47–56, 2021, doi: 10.15575/psy.v8i1.12352.
[15] T. D. Winman and C. H. Soetjiningsih, “Religiusitas dan Psychological Well-Being selama Masa Pandemi pada Anggota Gerakan Pemuda GPIB Tamansari Salatiga,” Philanthropy: Journal of Psychology, vol. 6, no. 2, p. 111, 2022, doi: 10.26623/philanthropy.v6i2.4901.
[16] S. Sungadi, “Pengaruh Religiusitas terhadap Kematangan Karier Pustakawan pada Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam di Daerah Istimewa Yogyakarta,” UNILIB: Jurnal Perpustakaan, vol. 11, no. 1, pp. 15–34, 2020, doi: 10.20885/unilib.vol11.iss1.art3.
[17] H. Herlina, “Hubungan Antara Religiusitas dengan Psychological Well-Being pada Santri Pondok Pesantren Darel Hikmah Pekanbaru,” 2024.
[18] C. A. Musni, “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Kesejahteraan Psikologis pada Mahasiswa yang Sedang Menulis Skripsi Asal Aceh Tenggara di Banda Aceh,” pp. 31–41, 2023.
[19] T. Indrawati, “Peranan Kecerdasan Emosi dan Dukungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Siswa SMP Terbuka di Cirebon,” Edukasia Islamika, vol. 2, no. 2, pp. 172–190, 2018.
[20] H. R. Yusadek, “Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja di Sumatera Barat,” Jurnal Pendidikan Tambusai, vol. 7, no. 2, pp. 12360–12366, 2023. [Online]. Available: https://jptam.org/index.php/jptam/article/view/8361/6829
[21] C. Safriati, A. Rahayu, and R. Sovitriana, “Empati dan Kecerdasan Emosi Perannya terhadap Sikap Memaafkan Wanita yang Mengalami Pelecehan Seksual,” IKRA-ITH Humaniora: Jurnal Sosial dan Humaniora, vol. 7, no. 1, pp. 107–116, 2022, doi: 10.37817/ikraith-humaniora.v7i1.2277.
[22] T. T. Pratiwi, “Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Religiusitas terhadap Kesejahteraan Psikologis pada Remaja di SMA Negeri 12 Semarang,” Jurnal Al-Taujih, vol. 8, no. 1, pp. 15–24, 2022.
[23] P. R. A. Sujatmi and S. Qodariah, “Hubungan Forgiveness dengan Psychological Well-Being pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan,” Jurnal Riset Psikologi, pp. 33–38, 2022, doi: 10.29313/jrp.v2i1.823.
[24] R. Normadhoni and E. R. Antika, “Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Psychological Well-Being pada Remaja di Panti Asuhan Kecamatan Gajahmungkur,” Guidance, vol. 20, no. 2, pp. 161–175, 2023, doi: 10.34005/guidance.v20i02.2655.
[25] S. Yuditha, Evanytha, and A. T. Faradiba, “Hubungan Antara Gratitude dengan Loneliness pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan,” Serina IV Untar, vol. 2, no. 1, pp. 153–162, 2022. [Online]. Available: https://journal.untar.ac.id/index.php/PSERINA/article/view/18525
[26] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, 2016.
[27] A. K. Dinova, “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Psychological Well-Being pada Remaja Panti Asuhan,” 2016.
[28] F. H. Purnomo, “Uji Validitas Konstruk pada Instrumen Religiusitas dengan Metode Confirmatory Factor Analysis (CFA),” Jurnal Pengukuran Psikologi dan Pendidikan Indonesia, vol. 6, no. 1, pp. 49–61, 2017, doi: 10.15408/jp3i.v7i1.12109.
[29] S. A. Novita, “Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Kecenderungan Alexithymia pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan,” Skripsi, 2021.
[30] A. S. Sari, “Efektivitas Peregangan Otot untuk Meningkatkan Konsentrasi Belajar pada Mahasiswa Jurusan Psikologi di Universitas Negeri Padang,” Jurnal Pendidikan dan Sains, vol. 4, no. 4, pp. 841–850, 2024.
[31] N. Eva, P. Shanti, N. Hidayah, and M. Bisri, “Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa dengan Religiusitas sebagai Moderator,” Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, vol. 5, no. 3, pp. 122–131, 2020, doi: 10.17977/um001v5i32020p122.
[32] M. Rohinsa, “Peran Dukungan Guru terhadap Pemenuhan Kebutuhan Psikologis Dasar Siswa dalam Kurikulum Merdeka,” Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah LPPM Universitas Trisakti, vol. 8, no. 2, pp. 266–273, 2023, doi: 10.25105/pdk.v8i2.15456.
[33] D. Mastutik, “Peningkatan Kinerja Pegawai di PT Sunwoo Garment Indonesia melalui Disiplin Kerja, Kepemimpinan, dan Lingkungan Kerja,” Jurnal Bisnis dan Manajemen, vol. 10, no. 1, pp. 72–86, 2024.
[34] N. N. Furqani, “Peranan Religiusitas dan Kecerdasan Spiritual terhadap Peningkatan Kesejahteraan Psikologis,” Psychology Journal: Science and Practice, vol. 1, no. 1, pp. 9–15, 2021, doi: 10.22219/pjsp.v1i1.16491.
[35] A. Tsaqofah and A. Khusumadewi, “Pengaruh Religiusitas dan Kebahagiaan terhadap Psychological Well-Being Santri Pondok Pesantren Nurul Qur’an Al-Istiqomah Bungah Gresik,” Jurnal BK Unesa, vol. 13, no. 5, pp. 528–533, 2023.
[36] A. Suryani and A. D. Muchtar, “Tingkat Kecerdasan Emosional Anak Panti Asuhan Ridha Muhammadiyah Enrekang,” vol. 5, no. 2, pp. 999–1004, 2021.
[37] R. Wijaya, G. S. Putri, and L. N. Pandjaitan, “Efektivitas Pelatihan Kecerdasan Emosional untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Remaja Panti Asuhan,” Jurnal Psikohumanika, vol. 12, no. 1, pp. 60–78, 2020, doi: 10.31001/j.psi.v12i1.791.
[38] L. S. Chairani, “Kesejahteraan Psikologis Remaja pada Masa Pandemi COVID-19: Peran Kecerdasan Emosional, Dukungan Sosial, dan Strategi Koping,” Jurnal Riset Kesehatan POLTEKKES DEPKES Bandung, vol. 15, no. 2, pp. 328–342, 2023.
[39] Suherdi and I. M. Agung, “Religiusitas Islami dan Psychological Well-Being pada Lansia (Studi pada Jemaah Lansia Mengikuti Suluk),” Persepsi: Jurnal Riset Mahasiswa Psikologi, vol. 2, no. 2, pp. 132–137, 2023.
[40] S. Nurhidayah, A. Ekasari, A. I. Muslimah, R. D. Pramintari, and A. Hidayanti, “Dukungan Sosial, Strategi Koping terhadap Resiliensi serta Dampaknya pada Kesejahteraan Psikologis Remaja yang Orangtuanya Bercerai,” Paradigma, vol. 18, no. 1, pp. 60–77, 2021, doi: 10.33558/paradigma.v18i1.2674.
[41] L. N. Arum and E. R. Antika, “Pengaruh Optimisme terhadap Kesejahteraan Psikologis dalam Menghadapi COVID-19 Siswa Kelas X SMAN 1 Gondang,” Jurnal Bimbingan dan Konseling Indonesia, vol. 1, no. 1, pp. 1–9, 2022.
Downloads
Published
Issue
Section
Categories
License
Copyright (c) 2025 Intan Auliya Novianti, Dwi Nastiti

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.