Islamic Students’ Understanding of Menstruation, Postpartum, and Istihadhoh
Pemahaman Mahasiswa Islam tentang Menstruasi, Pasca Melahirkan, dan Istihadhoh
DOI:
https://doi.org/10.21070/ijis.v13i2.1804Keywords:
Mestruation, Postpartum, Istihadhoh, Islamic Education, PesantrenAbstract
General background: Menstruation, postpartum bleeding, and istihadhoh are essential biological and religious aspects in women’s lives, directly influencing health and Islamic worship practices. Specific background: In Islamic boarding schools, female students are expected to master this knowledge as part of their daily practice of purity and ibadah. Knowledge gap: Previous studies have mostly focused on adult women, while there is limited evidence on how female students in pesantren understand these issues. Aims: This study investigates the level of understanding of female students at Darussalamah Islamic Boarding School, Sidoarjo, regarding menstruation, postpartum bleeding, and istihadhoh. Results: Findings indicate that 100% of respondents understood the definitions of menstruation and postpartum bleeding, while 14% were unclear about istihadhoh. Furthermore, 16% of students did not fully comprehend prohibitions during postpartum. Novelty: This study highlights the integration of Islamic jurisprudence with reproductive health education within pesantren curricula, combining traditional and digital learning sources. Implications: The results suggest the need for more interactive discussions and simplified teaching materials to strengthen comprehension and ensure students can practice worship correctly while raising reproductive health awareness in pesantren contexts.
Highlight & KeywordHighlights :
-
Students show strong knowledge of menstruation and postpartum but gaps in istihadhoh
-
Education integrates classical Islamic texts with digital learning resources
-
Findings support curriculum development in Islamic boarding schools
Keywords : Mestruation, Postpartum, Istihadhoh, Islamic Education, Pesantren
Pendahuluan
Haid, istihadhoh, dan nifas merupakan fenomena biologis yang sangat penting dalam kehidupan perempuan, terutama dalam konteks ibadah dan kesehatan. Ketiga hal ini tidak hanya mempengaruhi aspek fisik, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap spiritualitas dan praktik keagamaan [1][2]. Dalam tradisi Islam, pemahaman yang benar tentang haid, istihadhoh, dan nifas sangat diperlukan agar perempuan dapat menjalankan ibadah dengan baik dan sesuai dengan tuntunan syariat[3].
Di Pondok Pesantren Darussalamah, Krian, Sidoarjo, pendidikan mengenai haid, istihadhoh, dan nifas menjadi salah satu materi yang diajarkan kepada santri. Hal ini mengingat pentingnya pengetahuan ini dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk kesehatan reproduksi maupun untuk menjaga kesucian dalam beribadah. Melalui pembelajaran yang komprehensif, santri diharapkan dapat memahami siklus biologis ini dengan baik, sehingga mereka dapat menghadapi berbagai situasi yang mungkin terjadi dengan lebih percaya diri dan bijaksana. Dengan demikian, pendidikan ini tidak hanya memberikan pengetahuan teoritis, tetapi juga membekali santri dengan keterampilan praktis untuk mengelola kondisi yang berkaitan dengan haid, istihadhoh, dan nifas dalam kehidupan sehari-hari.
Pondok Pesantren Darussalamah, Krian, Sidoarjo dikenal sebagai lembaga pendidikan yang mengintegrasikan ilmu agama dengan pengetahuan kesehatan Hai ini menjadikannya sebagai tempat yang unik dan inovatif dalam mendidik santri. Dengan pendekatan yang menyeluruh, pesantren ini berusaha memberikan pemahaman yang komprehensif kepada santri tentang siklus biologis perempuan, serta implikasinya terhadap kewajiban ibadah. Melalui pengajaran yang mengedepankan interaksi antara teori dan praktik, santri diajarkan untuk memahami pentingnya kesehatan reproduksi dalam konteks spiritualitas.
Namun, meskipun materi ini diajarkan secara sistematis dan terstruktur, masih terdapat variasi dalam pemahaman santri mengenai haid, istihadhoh, dan nifas. Beberapa santri mungkin memiliki pemahaman yang mendalam, sementara yang lain masih mengalami kebingungan atau kesulitan dalam menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Faktor-faktor seperti latar belakang pendidikan, pengalaman pribadi, dan cara penyampaian materi oleh pengajar dapat mempengaruhi tingkat pemahaman ini. Oleh karena itu, penting untuk terus mengevaluasi dan meningkatkan metode pengajaran agar setiap santri dapat memperoleh pemahaman yang jelas dan memadai tentang topik yang krusial ini.
Dalam konteks tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis pemahaman santri Pondok Pesantren Darussalamah tentang haid, istihadhoh, dan nifas secara mendalam. Penelitian serupa pernah dilakukan kepada kelompok ibu-ibu Muslimat Yayasan Masjid Darussalam Tropodo Sidoarjo. Penelitian yang dilakukan oleh Agus Romdlon Saputra tersebut didapatkan hasil bahwa mayoritas ibu-ibu sudah memahami konsep-konsep dasar haid, nifas, dan istihadhah, serta hal-hal yang dilarang saat haid dan nifas[1].
Dengan pendekatan yang menyeluruh, penelitian ini tidak hanya berfokus pada aspek teori, tetapi juga mencoba memahami bagaimana pengetahuan tersebut diinternalisasi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari santri. Selain itu, penelitian ini berusaha menggali faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman tersebut, seperti latar belakang pendidikan, pengalaman pribadi, dan metode pengajaran yang diterapkan oleh para pengasuh.
Lebih jauh lagi, penelitian ini juga akan menganalisis bagaimana pemahaman yang diperoleh santri berdampak pada praktik ibadah mereka, termasuk cara mereka mengatasi situasi yang berkaitan dengan haid, istihadhoh, dan nifas. Dengan memahami hubungan antara pengetahuan dan praktik, diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam mengenai tantangan yang dihadapi santri dalam menjalankan kewajiban ibadah. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan kurikulum pendidikan di pesantren, dengan menekankan pentingnya integrasi ilmu agama dan kesehatan reproduksi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan reproduksi di kalangan santri, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih sehat dan beribadah dengan lebih baik sesuai dengan ajaran Islam.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang mana data yang didapatkan akan dijabarkan dalam bentuk deskriptif naratif [4] sehingga fenomena yang dikaji dapat tersampaikan dengan jelas [5]. Penelitian ini dilakukan di sebuah pondok pesantren di Siodarjo bernama Pondok Pesantren Darussalamah. Partisipan dalam studi ini terdiri dari dua puluh enam (26) santri putri yang dipilih secara acak mewakili santri dari bangku kelas tujuh sekolah menengah pertama (SMP) hingga kelas dua belas sekolah menengah akhir (SMA). Data dikumpulkan melalui kuesioner yang disebarkan secara offline, dengan bimbingan dari ustadzah dan peneliti. Kuisioner mencakup dua puluh (20) pertanyaan tertutup seputar haid, nifas, dan istihadhoh.
Selain pengisian kusioner oleh santri, wawancara juga dilakukan dengan salah satu ustadzah yang mengajar di pondok pesantren Darussalamah, Krian, Sidoarjo untuk memvalidasi hasil kuesioner yang dibagikan kepada santri [6]. Wawancara ini mengikuti format semi-terstruktur untuk mengumpulkan informasi yang lebih akurat dan mendalam. Ustadzah yang diwawancarai adalah usatdzah yang ikut mengajar pelajaran fiqih di pesantren tersebut. Wawancara berlangsung di dalam pondok pesantren setelah peneliti mengumpulkan data kuisioner dari santri.
Data yang dikumpulkan dianalisis dan diinterpretasikan secara kualitatif untuk menggambarkan data yang disajikan dalam bentuk tabel. Analisis mendalam terhadap konten wawancara dilakukan untuk mendapatkan wawasan tentang perspektif dan pengalaman ustadzah terkait faktor-faktor yang mendorong atau mengurangi pemahaman santri tentang haid, nifas, dan istihadhoh. Selanjutnya, peneliti melakukan triangulasi dengan membandingkan dan membedakan data dari berbagai sumber (kuesioner dan wawancara) untuk mengidentifikasi perbedaan dalam temuan. Kesimpulan akhir ditarik berdasarkan hasil yang konsisten dan saling melengkapi dari sumber data tersebut. Temuan penelitian diinterpretasikan dengan mengaitkannya dengan teori-teori relevan dan temuan penelitian sebelumnya.
Hasil dan Pembahasan
A. Pengertian Haid, Nifas, dan Istihadhoh
Haid: Menstruasi atau Haid secara bahasa berasal dari Bahasa Arab yang berarti mengalir atau terpancar. Secara istilah, haid dapat diartikan sebagai darah alami yang keluar dari Rahim wanita dalam keadaan sehat. Sehat dalam hal ini artinya bukan karena suatu penyakit ataupun disebabkan oleh luka[7]. Haid juga dapat diartikan sebagai sebagai suatu bagian dari siklus reproduksi yang mana darah haid tersebut keluar secara periodik. Haid terjadi pada perempuan yang telah memasuki masa baligh. Darah haid biasanya berlangsung selama 3-7 hari dengan siklus sekitar 28 hingga 35 hari [8].
Dalam Islam, haid tidak hanya sebagai suatu siklus biologis yang dialami oleh perempuan. Lebih dari itu, dalam isla
m haid berkaitan dengan ketentuan ibadah serta larangan-larangannya [9]. Islam secara rinci mengatur ketentuan haid dengan tujuan untuk menjaga kesucian ibadah dan kesehatan wanita termasuk lama durasi keluarnya darah haid beserta ciri-ciri darah tersebut apakah dapat dikatakan sebagai haid atau tidak. Sebagaimana hadist yang disampaikan oleh Abu Dawud yang berbunyi:
Aisyah RA berkata, "Suatuketika, Fatimah binti Abi Hubaisyistihadhah. Rasulullah SAW bersabda, "Sebagaimana yang diketahui, darahhaidituberwarnahitam. Apabiladarahitukeluar, makaberhentilahmelaksanakan salat. Dan jika yang keluardarahselainnya, makaberwudhu dan salatlah." (HR Abu Dawud dan Nasa'i).
Oleh karena itu penting bagi wanita muslim untuk memahami bagaimana ketentuan-ketentuan serta larangan dan aturan haid yang telah diatur oleh syariat islam dalam ilmu Fiqih [10]. Adapun macam-macam darah untuk membedakan darah haid atau bukan dapat dilihat sebagaimana berikut:
1. Merah: darah haid yang normal biasanya berwarna merah, dari merah terang hingga merah gelap.
2. Hitam: menandakan darah yang sudah lama berada di dalam rahim.
3. Kuning: Warna kuning pada darah haid bisa menandakan darah sudah bercampur dengan cairan lain atau mendekati akhir masa haid.
4. Keruh: Darah haid berwarna keruh juga bisa menandakan akhir masa haid atau adanya infeksi.
5. Merah muda/ cokelat: muncul pada masa akhir atau awal haid.
Adapun perbedaan darah haid dengan istihadhoh yaitu darah istihadhah bisa berwarna merah segar, tidak berbau, dan bisa keluar kapan saja [11].
Haid dalam konteks ibadah dianggap sebagai suatu keadaan yang membuat wanita tidak dalam kondisi yang suci (hadast). Hal tersebut menyebabkan perempuan yang sedang dalam masa haid tidak diperbolehkan melaksanakan beberapa ibadah tertentu [12]. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 222:
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱ لْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَ ٱ عْتَزِلُوا ۟ ٱ لنِّسَآءَ فِى ٱ لْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱ للَّهُ ۚ إِنَّ ٱ للَّهَ
يُحِبُّ ٱ لتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱ لْمُتَطَهِّرِينَ (Q.S Al- Bqarah : 222)
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (Q.S Al-Bqarah: 222).
Adapun Ibadah-ibadah yang dialrang tersebut antara lain yaitu shalat dan puasa. Wanita haid dibebaskan dari kewajiban menjalankan shalat, namun harus kembali melaksanakannya ketika masa haidnya sudah berakhir atau kembali ke masa suci. Wanita yang masih dalam masa haid juga tidak diperbolehkan berpuasa di bulan Ramadhan dan harus menggantinya di hari lain setelah bulan Ramadhan. Ibadah-ibadah tersebut dapat dilakukan kembali setelah masa haid berakhir dan melaksanakan mandi wajib (ghusl) sebagai pensucian.
Nifas: Nifass merupakan pendarahan yang terjadi pada perempuan pasca melahirkan. Menurut terminology hukum Islam, nifas diartikan sebagai darah yang keluar dari rahim perempuan ketika atau setelah proses persalinan, termasuk darah yang keluar pasca keguguran [11]. Nifas disebabkan oleh proses pemulihan rahim setelah melahirkan, di mana lapisan dinding rahim yang tebal akibat kehamilan mulai terlepas bersamaan dengan keluarnya darah [13].
Dalam nifas tidak ada batas waktu minimal, yang artinya bahkan satu tetes darah yang keluar setelah proses melahirkan atau persalinan dapat disebut sebagai nifas. Sedangkan durasi maksimal nifas yaitu selama 60 hari 60 malam dan umumnya nifas itu berlangsung selama 40 hari 40 malam setelah melahirkan. Sebagaimana aturan pada haid, perempuan yang dalam keadaan nifas juga dilarang untuk menjalankan beberapa ibadah seperti solat dan puasa Ramadhan. Namun ibadah tersebut dapat dilakukan kembali setelah masa nifasnya selesai dan telah melakukan mandi wajib untuk bersuci [14].
Istihadhoh: Istahadhah merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu kondisi ketika perempuan mengeluarkan dari rahim namun bukan pada masa haid ataupun nifas [15].
Istihadhah terjadi di luar waktu haid itu normal dan dianggap sebagai pendarahan tidak teratur dan bukan bagian dari siklus haid atau menstruasi. Istihadhoh dapat disebabkan oleh berbagai factor seperti gangguan kesehatan reproduksi, gangguan kesehatan umum, atau efek samping dari penggunaan alat kontrasepsi. Istihadoh tidak memiliki durasi tertentu. Pendarahan dapat berlangsung selama beberapa hari hingga berbulan-bulan, tergantung pada factor penyebabnya [16].
Berbeda dengan haid dan nifas, wanita yang mengalami istihadhoh tetap diwajibkan untuk melaksanakan ibadah seperti solat dan puasa [17]. Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk melaksanakan shalat. Mereka dapat melakukan shalat seperti biasa, meskipun dengan catatan harus menjaga kebersihan dan berwudhu sebelum setiap shalat. Selain shalat, wanita yang mengalami istihadhah juga diperbolehkan untuk berpuasa. Hal ini berlaku baik untuk puasa wajib di bulan Ramadan maupun puasa sunnah lainnya. Dengan demikian, mereka tidak perlu khawatir kehilangan pahala ibadah puasa, asalkan niat dan pelaksanaan puasa dilakukan dengan baik. Wanita yang sedang mengalami istihadhoh disebut dengan mustahadhoh.
Ada tujuh macam mustahadhoh yang dibedakan berdasarkan pengetahuannya mengenai cara membedakan antara haid dan istihadhoh, sebagamana berikut:
1. Mubtada’ahmumayyizah: wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid dan langsung mengeluarkan darah melebihi 15 hari, dan ia dapat membedakan antara darah yang kuat dan lemah serta perbedaan warna darah.
2. Mubtada’ahghairumumayyizah: wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid dan langsung mengeluarkan darah melebihi 15 hari. Namun, ia tidak dapat membedakan antara darah yang kuat dan lemah.
3. Mu’tadahmumayyizah: wanita istihadhah yang sudah pernah haid dan suci, serta mengerti dirinya mengeluarkan darah 2 macam atau lebih (kuat/qawi dan lemah/dhaif)
4. Mu’tadahghairumumayyizahdzakiratunli’adatihaqadranwawaqtan: Wanita istihadhah yang sudah pernah haid dan suci, darahnya hanya satu macam, serta wanita yang bersangkutan ingat akan ukuran dan waktu haid dan suci yang menjadi kebiasaannya.
5. Mu’tadahghairumumayyizahnasiyah li adatihaqadrahwawaqtan: Wanita istihadhah yang pernah haid dan suci, darahnya satu macam dan ia tidak ingat/tidak mengerti akan ukuran serta waktu adat haidnya yang pernah ia jalankan. Wanita ini dinamakan mutahayyirah (wanita yang bingung).
6. Mu’tadahghairumumayyizahdzakirah li adatihaqadran la waqtan (mutahayyirah bin nisbatiliwaqtilaadhah): Wanita istihadhah yang pernah haid dan suci, darahnya satu macam dan ia hanya ingat pada banyak sedikitnya haid yang menjadi adatnya tadi, namun ia tidak ingat waktunya.
7. Mu’tadahghairumumayyizahazzakirah li adatihawaqtanlaaqadran/mutahayyirah bin nisbatiliqadrilaadah: Wanita istihadhah yang pernah haid dan suci, warna darahnya hanya satu atau tidak bisa membedakan darah, dan ia ingat akan waktu haid adanya, tetapi tidak ingat banyak sedikitnya.[18]
B. Pemahaman Santri terkait Haid, Nifas, dan Istihadhoh
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengisian kuisioner peneliti menemukan hasil dari pemahaman santri terhadap haid, nifas, dan istihadhoh. Pertanyaan kuisioner terdiri dari 20 pertanyaan yang meliputi empat (4) pertanyaan seputar haid, dua (2) pertanyaan seputar nifas, lima (5) pertanyaan seputar istihadhoh, dan delapan (9) pertanyaan lain yang bersifat menyeluruh mengenai haid, nifas, maupun istihadhoh. Adapun data akan disajikan dalam bentuk persentase sebagaimana berikut.
Pemahaman Santri terhadap Haid: Berdasarkan data yang diperoleh dari kuisioner didapatkan hasil sebagaimana tertera pada tabel berikut.
No | Pertanyaan | Ya | Tidak | Total |
---|---|---|---|---|
1. | Apakah anda mengerti apa itu haid? | 100% | 0% | 100% |
2. | Apakah anda mengerti dengan macam warna dan sifat darah selama haid? | 84% | 16% | 100% |
3. | Apakah anda mengerti larangan apa saja ketika haid? | 100% | 0% | 100% |
4. | Apakah anda tahu batas dan ketentuan seseorang yang dihukumi haid pertama kali? | 88% | 12% | 100% |
Melihat pada tabel tersebut, dari 26 santri, 100% menjawab bahwa mereka sudah mengerti apa yang dimaksud dengan haid. Hal ini merupakan indicator penting dari efektivitas pengajaran mengenai haid yang telah diberikan oleh santri. Tingkat pemahaman yang menyeluruh ini menunjukkan bahwa materi yang disampaikan mengenai haid telah berhasil menjangkau semua responden tanpa terkecuali.
Kemudian pada pertanyaan selanjutnya menunjukkan bahwa 84% santri sudah mengerti dengan bagaimana macam warna dan sifat darah yang keluar selama haid, sementara 16% sisanya tidak mengerti. Meskipun angka ini cukup tinggi, masih ada 16% santri yang belum memahami aspek ini. Persentase yang cukup signifikan dari santri yang belum memahami menunjukkan adanya kebutuhan untuk memperdalam pemahaman tentang variasi dalam pengalaman haid, termasuk berbagai warna dan sifat darah yang mungkin muncul. Pengetahuan tentang hal ini sangat penting, karena dapat membantu santri mengenali kondisi kesehatan mereka dengan lebih baik dan mengambil langkah-langkah yang tepat jika mengalami gejala yang tidak biasa.
Pada pertanyaan mengenai apa saja larangan ketika sedang haid, 100% santri menjawab sudah mengerti. Data tersebut menunjukkan adanya pemahaman kuat dan menyeluruh tentang larangan yang hars ditaati ketika haid, yang sangat penting baik dalam konteks ibadah maupun kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya memahami teori, tetapi juga dapat menerapkan pengetahuan ini dalam praktik sehari-hari. Kesadaran tentang larangan selama haid sangat penting dalam konteks ibadah. Ketidakpahaman mengenai tata cara bersuci dapat menyebabkan keraguan dalam melaksanakan ibadah, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kesehatan spiritual dan mental perempuan. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan 24% responden tidak mengerti. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya materi edukasi yang jelas, atau kurangnya diskusi
Selanjutnya, sebanyak 88% menjawab sudah mengetahui batas dan ketentuan seseorang yang dihukumi haid pertama kali, sedangkan 12% sisanya menjawab belum mengerti. Meskipun sebagian besar santri telah memiliki pemahaman yang baik, persentase yang belum memahami menunjukkan adanya ruang untuk peningkatan edukasi. Hal ini bisa dilakukan melalui workshop atau diskusi kelompok yang lebih mendalam, yang dapat membantu santri memahami lebih baik tentang pengalaman haid pertama dan implikasinya.
Secara keseluruhan, data ini mencerminkan pemahaman yang baik di kalangan santri mengenai haid, yang menunjukkan bahwa pendidikan yang telah diberikan berhasil menjangkau dan membentuk cara pandang mereka terhadap topik penting ini dalam konteks ajaran Islam. Hal ini sangat berarti, mengingat haid adalah salah satu aspek yang diatur dalam syariat dan memiliki dampak langsung pada pelaksanaan ibadah [19]. Namun, di sisi lain, data juga menunjukkan beberapa area yang perlu mendapatkan perhatian lebih untuk memastikan pengetahuan yang dimiliki santri bersifat komprehensif dan mendalam. Misalnya, masih terdapat persentase santri yang belum sepenuhnya memahami variasi dalam pengalaman haid, seperti warna dan sifat darah, yang penting untuk kesehatan reproduksi mereka dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam menjaga kesucian diri.
Dengan memperkuat pendidikan di area yang kurang dipahami, lembaga pendidikan Islam dapat mengambil langkah proaktif untuk meningkatkan kesadaran santri dan mempersiapkan mereka dengan lebih baik dalam menghadapi berbagai aspek kesehatan reproduksi sesuai dengan tuntunan agama. Pendidikan yang lebih mendalam akan membantu santri menjalani pengalaman haid dengan lebih baik, sehingga mereka dapat melaksanakan ibadah dengan penuh keyakinan dan tanpa keraguan [20]. Selain itu, peningkatan pemahaman ini dapat mendorong santri untuk berbagi informasi dengan teman-teman mereka, menciptakan lingkungan yang saling mendukung dan meningkatkan kesadaran kolektif tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja muslim.
Pemahaman Santri terhadap Nifas: Dari pengisian kuisioner, didapatkan hasil sebagaimana pada tabel berikut.
No | Pertanyaan | Ya | Tidak | Total |
---|---|---|---|---|
1. | Apakah anda mengerti apa itu nifas? | 100% | 0% | 100% |
2. | Apakah anda mengerti larangan apa saja ketika nifas? | 84% | 16% | 100% |
Data yang diperoleh dari kuisioner menunjukkan bahwa dari 26 santri sebanyak 100% menjawab sudah mengerti ap aitu nifas. Angka ini mencerminkan tingkat pemahaman yang sangat baik mengenai definisi nifas, yang merupakan masa setelah melahirkan di mana seorang wanita mengalami perdarahan. Pemahaman ini sangat relevan dalam konteks ajaran Islam, di mana nifas memiliki implikasi langsung terhadap pelaksanaan ibadah, seperti salat dan puasa. Dengan kata lain, pemahaman yang baik tentang nifas tidak hanya membantu santri dalam mengenali dan memahami kondisi yang dialami oleh wanita setelah melahirkan, tetapi juga memastikan bahwa mereka dapat menjalankan ibadah dengan sesuai dan tidak melanggar larangan yang ada.
Kemudian untuk pertanyaan mengenai apa saja larangan yang harus ditaati ketika nifas, 84% santri menjawab sudah mengerti, sedangkan 16% sisanya menjawab belum mengerti. Hal tersebut menunjukkan adanya celah dalam pemahaman yang perlu diperhatikan. Meskipun mayoritas santri memahami apa itu nifas, ketidakpahaman 16% santri mengenai larangan ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pendidikan di area ini. Larangan-larangan selama nifas, yang berkaitan dengan kesucian dan tata cara ibadah, sangat penting untuk dipahami secara mendalam. Ketidakpahaman ini bisa mengakibatkan kesalahan dalam praktik keagamaan.
Hasil data tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan pengajaran terutama terkait dengan larangan-larangan dan ketentuan ibadah ketika sedang dalam masa nifas. Program edukasi yang lebih komprehensif, mungkin melalui kelas tambahan atau diskusi interaktif, dapat membantu menjelaskan detail-detail penting mengenai nifas dan larangan-larangan yang menyertainya. Dengan demikian, langkah-langkah ini dapat membantu menciptakan generasi yang lebih paham dan taat terhadap nilai-nilai agama serta mampu mengelola pengalaman kesehatan mereka dengan baik.
Pemahaman Santri terhadap Istihadhoh: berdasarkan pada pengisian kuisioner yang telah dilakukan terhadap 26 santri, didapatkan hasil sebagaimana pada tabel berikut.
Table 3. Persentase pemahaman santri terhadap istihadhoh.
No | Pertanyaan | Ya | Tidak | Total |
---|---|---|---|---|
1. | Apakah anda mengerti apa itu istihadhoh? | 86% | 14% | 100% |
2. | Apakah anda mengerti dengan ciri-ciri darah istihadhoh? | 84% | 16% | 100% |
3. | Apakah anda tahu pembagian hukum orang yang istihadhoh? | 80% | 20% | 100% |
4. | Apakah anda mengerti cara bersucinya orang yang istihadhoh? | 76% | 24% | 100% |
5. | Apakah anda tahu hukum darah istihadhoh? | 84% | 16% | 100% |
Dari data yang tersaji pada tabel tersebut dapat terlihat perbedaan dengan haid dan nifas, 86% menjawab mengerti tentang apa itu istihadhoh. Namun, 14% sisanya menjawab belum atau tidak mengerti. Hal ini berbeda dengan persentase pada haid dan nifas yang mendapatkan persentase sempurna yaitu 100%. Perbandingan ini menonjol, terutama jika dibandingkan dengan pemahaman mengenai haid dan nifas, yang mendapatkan persentase sempurna yaitu 100%. Hal ini menunjukkan bahwa tema haid dan nifas lebih familiar atau lebih sering dibahas dalam konteks pendidikan agama dibandingkan dengan istihadhoh. Data tersebut juga dapat menunjukkan indikasi bahwa istihadhoh kurang mendapatkan perhatian yang sama dalam kurikulum pendidikan.
Selanjutnya mengenai pertanyaan apakah anda mengerti dengan ciri-ciri darah istihadhoh, 84% menjawab mengerti dan 16% sisanya menjawab tidak mengerti. Meskipun pemahaman tentang istihadhoh secara umum masih rendah dibandingkan dengan haid dan nifas, angka 84% menunjukkan adanya kesadaran yang cukup tinggi mengenai ciri-ciri darah istihadhoh. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa santri telah menerima informasi dasar tentang apa yang membedakan istihadhoh dari haid dan nifas. Namun, keberadaan 16% responden yang masih belum mengerti menunjukkan bahwa masih ada kelompok yang perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut. Kesenjangan pengetahuan ini dapat berpotensi menimbulkan kebingungan dalam praktik keagamaan, terutama bagi perempuan yang mengalami kondisi istihadhoh, di mana pemahaman yang tepat sangat penting untuk menjalankan ibadah dengan benar.
Pertanyaan berikutnya yaitu mengenai pembagian hukum orang yang istihadhoh. Pada pertanyaan ini, 80% menjawab sudah tahu dan 20% menjawab belum tahu. ngka ini mengindikasikan adanya kesadaran yang signifikan mengenai aspek hukum yang terkait dengan istihadhoh, meskipun pengetahuan umum tentang konsep tersebut masih kurang. Hal ini menunjukkan bahwa santri berusaha untuk memahami dan menginternalisasi hukum-hukum yang relevan, yang sangat penting untuk praktik ibadah yang benar. Kesadaran yang tinggi ini kemungkinan dipengaruhi oleh peningkatan akses terhadap informasi melalui berbagai sumber, seperti ceramah, buku agama, dan platform digital. Santri mungkin telah menyadari pentingnya memahami hukum istihadhoh untuk menjaga keabsahan ibadah mereka, terutama mengingat konsekuensi yang terkait dengan status keagamaan perempuan yang mengalami kondisi ini. Namun, keberadaan 20% responden yang belum mengetahui hukum terkait istihadhoh menunjukkan adanya celah dalam pendidikan dan sosialisasi yang perlu ditangani.
Kemudian pertanyaan dilanjutkan dengan menanyakan perihal tata cara bersuci bagi perempuan istihadhoh. Sebanyak 76 % menjawab sudah mengerti, namun 24% sisanya menjawab belum mengerti. Persentase ini menunjukkan bahwa meskipun mayoritas responden memiliki pemahaman tentang praktik bersuci, masih ada sepertiga dari mereka yang belum memahami hal ini dengan baik. Ini menandakan bahwa pemahaman mengenai tata cara bersuci masih perlu ditingkatkan, mengingat pentingnya aspek ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi perempuan yang mengalami istihadhoh. Ketidakpahaman mengenai tata cara bersuci dapat menyebabkan keraguan dalam melaksanakan ibadah, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kesehatan spiritual dan mental perempuan. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan 24% responden tidak mengerti. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya materi edukasi yang jelas, atau kurangnya diskusi mengenai topik tersebut.
Pertanyaan perihal istihadhoh diakhiri dengan pertanyaan mengenai bagaimana hukum darah istihadhoh. Sebanyak 84% menjawab sudah tahu dan sisanya yaitu sebanyak 16% menjawab belum tahu. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat pemahaman yang baik tentang hukum istihadhoh, masih ada ruang yang signifikan untuk peningkatan pendidikan dan pemahaman lebih lanjut. Kesadaran yang tinggi di antara 84% responden dapat diartikan sebagai hasil dari upaya sosialisasi dan pendidikan yang mungkin telah dilakukan oleh lembaga pendidikan agama. Namun, adanya 16% responden yang belum mengetahui hukum ini menunjukkan adanya kesenjangan yang perlu diatasi.
Pemahaman Santri Terhadap Haid, Nifas, dan Istihadhoh: Setelah membahas mengenai hasil kuisioner secara khusus mengenai masing-masing haid, nifas, dan isitahadhoh, eneliti melanjutkan pertanyaan mengenai pengetahuan haid, nifas dan istihadhoh secara umum. Adapun data dari pengisian kuisioner disajikan sebagaimana pada tabel berikut.
No | Pertanyaan | Ya | Tidak | Total |
---|---|---|---|---|
1. | Apakah anda tahu apa yang harus dilakukan saat keluar darah? | 96% | 4% | 100% |
2. | Apakah anda mengerti apa saja ibadah yang diperbolehkan ketika haid dan nifas? | 96% | 4% | 100% |
3. | Apakah anda tahu niat mandi besar setelah haid dan nifas? | 96% | 4% | 100% |
4. | Apakah anda mengerti tentang tata cara mandi besar haid dan nifas? | 100% | 0% | 100% |
5. | Apakah anda tahu syarat syahnya mandi besar? | 96% | 4% | 100% |
6. | Apakah anda mengerti tentang ketentuan darah yang dianggap haid, nifas, dan istihadhoh? | 84% | 16% | 100% |
7. | Apakah anda mengerti tentang kewajiban wanita setelah selesai haid dan nifas? | 96% | 4% | 100% |
8. | Apakah anda mengerti hukum mempelajari tentang haid, nifas, dan istihadhoh? | 96% | 4% | 100% |
9. | Apakah menurut anda sulit mempelajari tentang haid, nifas, dan istihadhoh? | 72% | 28% | 100% |
Berdasarkan pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa 96% responden sudah mengerti tentang apa saja hal yang harus dilakukan saat keluar darah. 4% sisanya menyatakan belum mengerti. Hal ini menjadi penting sebagai indikasi apakah responden mengerti cara memastikan jenis darah apa yang keluar, apakah termasuk darah haid, nifas, ataupun istihadhoh. Angka ini menunjukkan tingkat pemahaman yang sangat baik di kalangan responden mengenai tindakan yang perlu diambil ketika mengalami keluarnya darah. Namun, penting untuk mencermati bahwa meskipun mayoritas telah memahami langkah-langkah yang harus diambil, masih ada satu kelompok kecil yang belum jelas. Kondisi ini menjadi signifikan karena pemahaman tentang cara memastikan jenis darah yang keluar—apakah itu darah haid, nifas, atau istihadhoh—merupakan aspek krusial dalam praktik keagamaan dan kesehatan reproduksi. Ketidakpahaman di antara 4% responden dapat berpotensi menimbulkan kebingungan dalam menjalankan ibadah.
Pertanyaan berikutnya mengenai apa saja ibadah yang diperbolehkan ketika haid dan nifas. 96% dari resoponden menjawab sudah mengerti, sementara 4% sisanya belum. Hal tersebut menunjukkan bahwa hampir keseluruhan dari responden telah memiliki kesadaran tentang pentingnya memahami ibadah apa saja yang boleh dilakukan ketika haid atau nifas. Keberadaan kelompok kecil ini menandakan adanya kebutuhan untuk memberikan informasi tambahan dan edukasi lebih lanjut mengenai topik ini. Ketidakpahaman terhadap ibadah yang diperbolehkan dapat menyebabkan kebingungan dan keraguan dalam menjalankan praktik keagamaan.
Angka serupa juga terjadi pada pertanyaan tentang niat mandi besar setelah haid atau nifas. 96% menjawab sudah tahu dan sisanya 4% menjawab belum tahu. Tingginya persentase responden yang memahami niat mandi besar menunjukkan bahwa pendidikan atau sosialisasi mengenai praktik ibadah ini telah berjalan dengan baik. Namun, adanya 4% responden yang belum mengetahui hal ini menandakan bahwa masih ada ruang untuk peningkatan edukasi. Ketidakpahaman ini dapat menyebabkan kebingungan dalam menjalankan ibadah, terutama bagi perempuan yang ingin memastikan bahwa mereka melaksanakan tata cara bersuci dengan benar.
Namun hasil sempurna didapatkan dalam pertanyaan mengenai tata cara mandi besar setelah haid atau nifas yang mana 100% responden menjawab sudah mengerti dengan hal tersebut. Hasil ini mencerminkan tingkat pemahaman yang sangat tinggi di kalangan responden tentang prosedur bersuci yang penting. Kesadaran penuh mengenai tata cara mandi besar menunjukkan bahwa pendidikan dan sosialisasi mengenai praktik ibadah ini telah efektif. Hal ini penting karena mandi besar merupakan langkah krusial untuk memastikan bahwa individu kembali dalam keadaan suci setelah mengalami haid atau nifas, sehingga dapat melanjutkan ibadah dengan benar. Namun, meskipun hasil ini sangat positif, penting untuk terus memelihara dan meningkatkan pemahaman ini melalui edukasi berkelanjutan, untuk memastikan bahwa pengetahuan tentang aspek-aspek lain terkait haid dan nifas juga tetap terjaga.
Kemudian pada pertanyaan berikutnya yaitu terkait syarat syahnya mandi besar, 96% responden menjawab sudah mengerti dan 4% sisanya menjawab belum. Tingginya persentase responden yang mengetahui syarat sahnya mandi besar menunjukkan bahwa ada upaya yang efektif dalam pendidikan dan sosialisasi mengenai praktik ibadah ini. Pengetahuan tentang syarat sah sangat penting, karena memastikan bahwa mandi besar dilakukan dengan benar dapat mempengaruhi keabsahan ibadah selanjutnya. Namun, keberadaan 4% responden yang belum mengerti menunjukkan adanya celah dalam pemahaman yang perlu diatasi. Ketidakpahaman ini bisa menyebabkan keraguan dalam melaksanakan mandi besar, yang pada posisinya berpotensi mempengaruhi ibadah para santri. Oleh karena itu, penting untuk menyediakan informasi tambahan dan melakukan sosialisasi yang lebih intensif mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi saat melakukan mandi besar.
Pada pertanyaan mengenai ketentuan darah yang dianggap haid, nifas, atau istihadhoh, 84% menjawab sudah mengerti dan 16% sisanya menjawab belum mengerti. Pemahaman yang baik tentang ketentuan darah sangat penting, karena hal ini berpengaruh langsung pada praktik ibadah dan kesehatan reproduksi perempuan. Ketidakpahaman di antara 16% responden dapat menyebabkan kebingungan dalam menjalankan ibadah dan membuat keputusan terkait kesehatan. Angka ini mencerminkan bahwa meskipun ada pemahaman yang cukup baik di kalangan responden, masih terdapat kelompok yang cukup signifikan yang belum memahami perbedaan antara ketiga jenis darah tersebut.
Pertanyaan berlanjut mengenai kewajiban wanita setelah selesai haid dan nifas. sebanyak 96% responden menjawab sudah mengerti, 4% sisanya menjawab belum. Meskipun mayoritas responden telah memahami hal ini, keberadaan 4% yang belum mengerti menunjukkan adanya kebutuhan untuk meningkatkan pendidikan dan sosialisasi mengenai topik tersebut. Angka serupa juga didapatkan pada pertanyaan mengenai hokum mempelajari haid, nifasm dan istihadhoh yaitu 96% menjawab sudah mengetahui dan 4% sisanya menjawab belum mengetahui. Tingginya persentase responden yang memahami hukum mempelajari topik ini menunjukkan bahwa ada kesadaran yang baik mengenai pentingnya pengetahuan dalam menjalankan ibadah dan mengelola kesehatan reproduksi. Namun, keberadaan 4% responden yang belum mengetahui hal ini menunjukkan adanya celah dalam pendidikan yang perlu diatasi.
Pertanyaan diakhiri dengan apakah menurut responden sulit atau tidak mempelajari tentang haid, nifas, dan istihadhoh. Hasil tersebut menunjukkan bahwa 72% dari responden merasa sulit mempelajari hal tersebut. Sisanya, hanya 28% yang merasa tidak kesulitan mempelajari haid, nifas, dan istihadhoh. Angka ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh sebagian besar responden dalam memahami topik yang berkaitan dengan haid, nifas, dan istihadhoh. Tingginya persentase responden yang merasa kesulitan mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya sumber informasi yang jelas, kompleksitas materi, atau mungkin kurangnya diskusi terbuka tentang topik ini dalam masyarakat. Ketidakpahaman yang dirasakan oleh 72% responden dapat mengakibatkan ketidakpastian dalam menjalankan ibadah.
Untuk mengatasi kesulitan ini, penting bagi lembaga pendidikan dalam hal ini yaitu pondok pesantren untuk meningkatkan upaya edukasi. Penyediaan materi yang lebih sederhana dan mudah dipahami, serta pelatihan atau workshop interaktif, dapat membantu menjembatani kesenjangan pengetahuan ini. Dengan memberikan dukungan yang tepat, diharapkan lebih banyak responden dapat merasa percaya diri dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang haid, nifas, dan istihadhoh, sehingga mereka dapat menjalani ibadah dan kehidupan sehari-hari dengan lebih nyaman.
C. Upaya Peningkatan Pemahaman Santri terkait Haid, Nifas , dan Istihadhoh
Setelah mengetahui bagaimana takaran pemahaman santri terkait haid, nifas, dan istihadhoh, peneliti melakukan wawancara dengan salah satu ustadzah yang mengajar di pondok pesantren tersebut. Hal ini dilakukan untuk melihat apa saja kendala yang dihadapi oleh santri terkait pengetahuan tentang haid, nifas, dan istihadhoh. Wawancara juga dilakukan untuk dapat melihat upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman santri tentang haid, nifas, dan istihadhoh dan meminimalisisr kendala-kendala yang ada.
Melihat adanya celah ketidak-pahaman santri pada beberapa poin mengenai haid, nifas dan istihadhoh, peneliti menanyakan bagaimana bentuk Pendidikan terkait haid, nifas, dan istihadhoh yang diberikan kepada santri oleh pondok pesantren tersebut. Ustadzah tersebut menjelaskan:
“ Caranya dijadikan pelajaran paten atau masuk kurikulum dalam kelas ‘ imrithi yang mana kelas tersebut setara dengan kelas 1 smp yg di rasa sebagai pembekalan anak2 menjelang puber mereka atau haid mereka jadi pendidikan mengenai haid nifas istihadhoh di pondok kami masuk kurikulum dalam sekolah diniyah daan wajib di ikuti oleh semua santri karena masuk di dalam pelajaran kelas diniyah .”
Hasil wawancara menunjukkan bahwa Pondok Pesantren Darussalamah memberikan pendidikan yang komprehensif mengenai haid, nifas, dan istihadhoh. Pendidikan ini dimasukkan ke dalam kurikulum kelas 'imrithi, setara dengan kelas 1 SMP, yang mencerminkan perhatian pondok terhadap pentingnya pembekalan ilmu agama sejak dini, terutama menjelang pubertas. Kemudian peneliti malanjutkan dengan bertanya pakah materi terkait haid, nifas dan istihadhoh termasuk pelajaran yang ditekankan atau tidak. Dalam wawancara tersebut didapatkan hasil bahwa materi tersebut sangat ditekankan, khususnya bagi santri perempuan, karena dapat memengaruhi keabsahan ibadah mereka. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh narasumber:
“ Sangat di tekankam sekali mengingat pendidikan mengenai haid , nifas dan istihadhoh itu berhubungan dengan hal ibadah, jadi sesuatu yang wajib di pahami oleh aanak2 perempuan khususnya dan untuk anak laki2 pd umumnya , jadi sangat di tekankan sekali krn berhubungan dengan hal ibadah kalau ada anak yang tidak paham haid,nifas dan istihadhoh bisa kemungkinan ibadah yang lain itu tidak sah . ”
Kemudian peneliti menanyakan apa saja bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran mengenai haid, nifas, dan istihadhoh. Adapun ustadzah menjawab:
“Bahan ajar yang di gunakan ada kitab muqorror atau kitab yang di tetapkan yang merujuk pada pondok2 salaf , seperti pondok lirboyo,pondok sumbersari,pondok al falah ploso . Dan kami juga menggunakan metode secara langsung mengenai permasalahan yg terjadi dalam haid,nifas , dan istihadhoh kemudian di pecahkan bersama terkadang kami juga mengambil sumber yang valid dari konten youtube misalnya yang membahas tentang haid,nifas dan istihadhoh yang mana konten tersebut terkadang di bawakan oleh ning2 pondok lirboyo yang biasanya neng sheila hasina yang mana beliau di sana sering membahas tentang haid,nifas dan istihadhoh . Dan bukan beliau saja kami juga mencari sumber konten youtube yang valid.”
Hal ini menunjukkan bahwa mereka beradaptasi dengan perkembangan zaman dan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Konten-konten yang relevan dari sumber yang terpercaya dapat memperluas wawasan santri dan memberikan perspektif baru mengenai topik yang mereka pelajari. Dengan kombinasi antara metode tradisional dan modern, pondok ini mampu menciptakan lingkungan belajar yang dinamis dan menarik. Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Hilaliyah dkk[21] bahwa pengajaan materi menggunakan teknologi di era digitalisasi membuat materi yang disampaikan lebih mudah dipahami dan dicerna oleh santri.
Narasumber juga menegaskan adanya materi tambahan untuk meningkatkan pehaman terhadap haid, nifas, dan istihadhoh dengan memberikan soal-soal yang berkaitan dengan masalah di lapangan, kemudian dipecahkan secara bersama-sama melalui musyawarah dan diskusi di waktu yang telah disediakan. Metode diskusi ini dinilai efektif karena mampu memicu pemikiran kritis dari santri sehingga ditemukan pemecahan masalah ataupun pemahaman lebih terhadap materi yang disampaikan [22]. Hal ini serupa dengan pendapat Ma’duali dkk yang mengatakan bahwa metode diskusi erat kaitannya dengan metode lainnya seperti penggunaan metode bandongan dan metode presentasi pada pengajaran kitab-kitab salaf di pesantren yang didalamnya mengandung proses diskusi melalui tanya jawab yang terjadi antara ustadz/ustadzah dan para santri [23].
Secara keseluruhan, pendekatan komprehensif yang diterapkan oleh Pondok Pesantren Darussalamah, Krian, Sidoarjo dalam mendidik santri mengenai haid, nifas, dan istihadhoh tidak hanya mempersiapkan mereka secara akademis, tetapi juga secara spiritual. Dengan penekanan pada praktik yang benar dan pemahaman yang mendalam, santri diharapkan dapat menjalankan ibadah mereka dengan lebih yakin dan benar, serta memiliki pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan mereka di masa depan. Pernyataan tersebut selaras dengan pendapat Fariha Kustina yang mengatakan bahwa dengan adanya praktek serta diskusi pemahaman terhadap fiqih wanita terutama haid, nifas, dan istihadhoh menjadi lebih meningkat [24]. Hal ini juga menunjukkan komitmen pondok dalam membentuk generasi yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berakhlak mulia dan sadar akan tanggung jawab mereka sebagai individu dalam masyarakat.
Pesantren memfasilitasi diskusi yang mendalam dan memberikan ruang bagi santri untuk bertanya dan berbagi pengalaman, sehingga menciptakan lingkungan belajar yang interaktif dan mendukung. Dengan demikian, santri dapat merasakan relevansi materi yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, Pondok Pesantren Darussalamah juga menggunakan berbagai sumber belajar, termasuk kitab klasik dan media modern, untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan akurat dan mutakhir. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya pengetahuan santri, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Simpulan
Penelitian ini berfokus pada pemahaman santri Pondok pesantren Darussalamah, Krian, Sidoarjo mengenai haid, nifas, dan isihadhoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas santri memiliki pemahaman yang baik tentang konsep-konsep ini, dengan 100% responden memahami definisi haid dan nifas. Namun, terdapat kesenjangan dalam pemahaman aspek tertentu, terutama terkait istihadhoh, di mana 14% responden masih belum mengerti. Pendidikan mengenai haid, nifas, dan istihadhoh telah terintegrasi dalam kurikulum pondok pesantren, menunjukkan perhatian terhadap pentingnya pemahaman ini dalam konteks ibadah. Metode pengajaran yang digunakan mencakup kombinasi tradisional dan modern, termasuk pemanfaatan sumber digital untuk mendukung pembelajaran. Meskipun pemahaman umum santri sudah baik, masih ada ruang untuk perbaikan, terutama dalam aspek yang kurang dipahami. Upaya peningkatan pendidikan melalui diskusi interaktif dan materi yang lebih sederhana sangat penting untuk memastikan setiap santri dapat menjalankan ibadah dengan yakin dan benar. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan kurikulum pendidikan di pesantren dan meningkatkan kesadaran akan kesehatan reproduksi di kalangan santri.
Ucapan Terima Kasih
Dalam artikel ini saya selaku peneliti dan penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Telah memberikan suatu kelancaran,kemudahan dan kesehatan wal’afiat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Yang kedua saya berterima kasih kepada kedua orang tua yang sudah membesarkan dan mendidik saya semoga kalian selalu diberikan Kesehatan dan umur panjang. Yang ketiga saya ucapkan terima kasih banyak kepada suami tercinta dan anak saya yang selalu mendampingi dan mensupport saya sehingga saya bisa menyelesaikan kuliah saya sampai selesai dan mencapai gelar sarjana ini. Saya juga mengucapkan terima kasih banyak kepada pengasuh dan para santri sekaligus guru Pondok Pesantren Darussalamah, krian, Sidoarjo yang sudah membantu ikut serta dalam penelitian ini, sehingga data yang diperlukan dapat terkumpul dengan baik dan terselesaikan dan tak lupa pula saya ucapkan terima kasih banyak kepada bapak kaprodi dan bapak, ibu dekan atas bimbingannya dan sudah membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
References
[1] A. R. Saputra, “Pemahaman Ibu-Ibu Tentang Thaharah (Haid, Nifas, Dan Istihadhah): Studi Kasus Ibu-Ibu Jama’ah Muslimat Yayasan Masjid Darussalam Tropodo Sidoarjo,” Kodifikasia, vol. 8, no. 1, pp. 45–68, 2014, doi: 10.21154/kodifikasia.v8i1.109.
[2] A. Gaffar, M. Hafidurrahman, Fadlillah, and M. Sholehuddin, “Women’s Fiqh Assistance on Menstruation to Increase the Understanding of Muslims in Larangan Badung Village Pamekasan,” NGEJHA Jurnal Pengabdian Masyarakat, vol. 3, no. 2, pp. 1–8, 2024.
[3] M. J. Al Hamza, “Konsep Taharah Dalam Konteks Istihadah,” OASIS Jurnal Ilmiah Kajian Islam, vol. 9, no. 1, pp. 1–19, 2024.
[4] I. Hermawan, Metodologi Penelitian Pendidikan (Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed Method). Sidoarjo: Hidayatul Quran, 2019.
[5] S. Samiaji, Analisis Data Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: PT Kanisius, 2021.
[6] I. N. Rachmawati, “Data Collection in Qualitative Research: Interviews,” Indonesian Journal of Nursing, vol. 11, no. 1, pp. 35–40, 2007.
[7] A. al Ashri Nainar, N. D. Amalia, and L. Komariyah, “Hubungan antara Pengetahuan tentang Menstruasi dan Kesiapan Menghadapi Menarche pada Siswi Sekolah Dasar di Kota Tangerang Selatan,” Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia, vol. 7, no. 1, pp. 64–77, 2023. [Online]. Available: https://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
[8] R. F. Hayya, R. Wulandari, and R. Sugesti, “Hubungan Tingkat Stress, Makanan Cepat Saji dan Aktivitas Fisik Terhadap Siklus Menstruasi pada Remaja di PMB N Jagakarsa,” SENTRI Jurnal Riset Ilmiah, vol. 2, no. 4, pp. 1338–1355, 2023, doi: 10.55681/sentri.v2i4.751.
[9] L. Rahmatullah, “Haid (Menstruasi) dalam Tinjauan Hadis,” Palastren, vol. 6, no. 1, p. 30, 2013. [Online]. Available: https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Palastren/article/view/977/890
[10] N. Saribanon, M. Thahir, U. Salamah, H. Prabowo, F. Parouq, and M. Huda, Haid dan Kesehatan Menurut Ajaran Islam, 1st ed. Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional, 2016.
[11] H. Agus Romdlon Saputra, “Pemahaman-Tentang-Taharah-Haid Nifas,” 2019.
[12] T. Tangngareng, I. G. B. A. P. Rayyn, and A.-F. Mahar, “Haid Perspektif Al-Qur’an (Analisis terhadap Ayat Kesehatan Reproduksi Wanita QS. Al-Baqarah/2: 222-223),” Jurnal Ushuluddin Media Dialog Pemikiran Islam, vol. 25, no. 2, pp. 222–223, 2023, doi: 10.24252/jumdpi.v25i2.39305.
[13] E. Fitri, R. Andriyani, and M. Megasari, “Pemberian Konseling pada Ibu Nifas Hari ke 29-42 Menggunakan ABPK di PMB Ernita Kota Pekanbaru Tahun 2022,” Jurnal Kebidanan Terkini (Current Midwifery Journal), vol. 2, no. 1, pp. 1–6, 2023.
[14] N. Novira, A. Hawariah, H. Sari, and Sumayyah, “Category of Blood That Comes Out Due to Moral Pregnancy,” Bustanul Fuqaha: Jurnal Bidang Hukum Islam, vol. 3, no. 3, pp. 308–320, 2022, doi: 10.36701/bustanul.v3i3.645.
[15] A. Barakah, “Istihadhah dan Problematikanya dalam Kehidupan Praktis Masyarakat,” Cendekia Jurnal Studi Keislaman, vol. 1, no. 1, pp. 1–15, 2015.
[16] R. U. Amani, S. Arif, and K. Nawawi, “Pandangan Para Ulama Tentang Darah Haid dan Darah Istihadhah,” As-Syar’i: Jurnal Bimbingan Konseling Keluarga, vol. 5, no. 1, pp. 144–155, 2023, doi: 10.47467/as.v5i1.1954.
[17] L. Maftuhatin et al., “Efektifitas Media Kalista (Kalender Istihadhah) untuk Meningkatkan Pemahaman Santri pada Bab Istihadhah dalam Kitab ‘Uyun al-Masa’il li al-Nisa’ di Asrama 3 Nusantara Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Peterongan Jombang,” Jurnal Pendidikan Islam, vol. 6, no. 2, pp. 214–236, 2022.
[18] M. Ardani, Risalah Haidl, Nifas & Istihadloh. Blitar: Pondok Pesantren Al-Falah, 1992.
[19] A. Sintyasari, A. Kamila, and R. P. Raya, “Analisis Pengetahuan Remaja Putri Tentang Menstruasi: Kajian Umum dan Tinjauan dalam Fiqih Islam,” JAIA: Jurnal Asuhan Ibu dan Anak, vol. 10, no. 1, pp. 19–27, 2025.
[20] S. Kahfi and Y. Arianto, “Pembahasan Fiqih Wanita dalam Perspektif Mazhab Syafi’iy di Pondok Pesantren,” Tadris Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam, vol. 14, no. 1, pp. 1–18, 2020, doi: 10.51675/jt.v14i1.69.
[21] H. Sahila, Listiowati, and Aprilliantoni, “Perkembangan Pesantren di Era Teknologi Informasi,” Idarah Tarbawiyah: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, vol. 5, no. 3, pp. 327–333, 2024, doi: 10.32832/itjmie.v5i3.16645.
[22] N. Nurdiana and A. Mukminin, “Efektivitas Metode Ceramah, Tanya Jawab, Diskusi dalam Pembelajaran Fiqih Kelas 7 Pondok Pesantren Ar-Rayyan Wonogiri,” ALMAHEER: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 3, no. 1, pp. 1–8, 2025.
[23] F. Ma’duali, Siskandar, and A. Sunhaji, “Implementasi Metode Diskusi terhadap Peningkatan Pembelajaran Kitab-Kitab Salaf,” IQ (Ilmu Al-Qur’an): Jurnal Pendidikan Islam, vol. 2, no. 2, pp. 232–253, 2019, doi: 10.37542/iq.v2i02.35.
[24] F. Kustina, “Fikih Wanita dan Pemahaman Remaja Putri di Pondok Pesantren Sunan Drajat,” Multidisciplinary Journal of Education, Economics, and Culture, vol. 1, no. 1, pp. 41–51, 2023, doi: 10.61231/mjeec.v1i1.58.
Downloads
Published
License
Copyright (c) 2025 Ahlul Maghfiroh, Moch. Bahak Udin By Arifin

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.