Social Well-Being of Teenage Social Media Users in Gelam Village

Kesejahteraan Sosial Pengguna Media Sosial Remaja di Desa Gelam

Authors

  • Mega Wahyu Islami Program Studi Psikologi, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia
  • Effy Maryam Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo https://orcid.org/0000-0003-4680-1607

DOI:

https://doi.org/10.21070/ijis.v13i2.1801

Keywords:

Social Well-Being, Teenagers, Social Media, Descriptive Study, Mental Health

Abstract

Background: The rapid development of technology has changed how teenagers communicate, with social media becoming their primary platform. Specific Background: This shift has raised concerns regarding teenagers’ social well-being, including miscommunication and reduced empathy during online interactions. Gap: Few studies have specifically mapped the level of social well-being among adolescent social media users in local communities. Aim: This study aimed to describe the social well-being of teenagers who actively use social media in Gelam Village, Sidoarjo. Method: A quantitative descriptive approach was employed, involving 214 respondents selected through purposive sampling. Data were collected using a social well-being Likert scale and analyzed using descriptive statistics with SPSS 25. Results: Findings revealed that 72.6% of respondents were in the medium social well-being category, with balanced results across gender. Novelty: This study provides localized empirical evidence of teenagers’ social well-being levels. Implications: The results can guide parents, educators, and policymakers in designing programs to strengthen teenagers’ positive social interactions both online and offline.

Highlights:

  • Most teenagers’ social well-being is in the medium category

  • Social well-being is consistent across gender

  • Social media plays a role in shaping social integration

Keyword: Social Well-Being, Teenagers, Social Media, Descriptive Study, Mental Health

Pendahuluan

Perkembangan teknologi yang begitu pesat pada zaman sekarang merubah pola manusia dalam bersosialisasi. Kecepatan informasi dan keterbukaan teknologi memungkinkan orang untuk bersosialisasi dengan cara yang baru dan begitu cepat, cara tersebut yaitu dengan menggunakan sosial media sebagai alat komunikasi. Perkembangan media sosial dan digitalisasi membuat pola komunikasi sosial masyarakat berubah dari yang pada umumnya secara tradisional tatap muka, kemudian seiring perkembangan teknologi yang memungkinkan seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang berada pada lokasi berbeda secara instan[1].

Menurut Mulyono, media sosial sangat menarik perhatian masyarakat, hal ini dikarenakan media sosial membantu masyarakat dalam mencari informasi secara luas serta mengajak penggunanya dalam memberikan feedback atau komentar[2]. Media sosial juga dapat digunakan individu untuk berkomunikasi dengan individu lain dalam jumlah banyak secara bersamaan jika dibandingkan dengan komunikasi yang dilakukan secara langsung [3]. Sabarrudin menyatakan bahwa media sosial mampu menjembatani individu yang introvert menjadi pribadi yang lebih terbuka melalui media sosial[4]. Dilansir dari laman DetikInet bahwa pengguna internet indonesia bertambah menjadi 202,6 juta per Januari 2021, sedangkan pengguna aktif media sosial bertambah menjadi 170 juta orang diberbagai platform[5]. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Hootsuite (2021) bahwa penggunaan media sosial dalam fungsi komunikasi di dominasi oleh usia remaja pada rentang 16-25 tahun[6].

Menurut Putri, dkk, dalam perkembangannya, remaja lebih sering melakukan komunikasi atau bergaul dengan teman sebaya untuk mencari identitasnya. Namun yang terjadi saat ini, remaja lebih aktif menggunkan media sosial [7]. Media sosial memberikan dampak positif seperti mudahnya mencari informasi, memudahkan dalam mencari hiburan, serta dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan bakat dan minat individu. Selain itu, media sosial juga memberikan dampak negatif diantaranya seperti penggunaan yang tidak bijak sehingga menimbulkan kecanduan yang mengakibatkan penggunanya mengalami penyakit mental, adanya konten-konten yang melibatkan normalisasi yang dapat memicu munculnya tindakan menyakiti diri [8].

Aprillia, dkk, dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kecanduan media sosial terutama dikalangan remaja tergolong tinggi yaitu sebesar 48,6%, hal ini dapat menghambat remaja dalam pengembangan diri jika media sosial tidak digunakan secara bijak[9]. Penggunaan media sosial juga dapat menimbulkan masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, kesepian dan stres [10]. Menurut Fang, dkk., menjelaskan bahwa seseorang yang menggunakan media sosial secara berlebihan dipicu adanya dukungan yang diperoleh dari media sosial seperti like serta komentar positif dari sesama pengguna, sehingga muncul perasaan takut akan ketinggalan update atau informasi jika tidak membuka media sosial. Perilaku tersebut membuat individu tidak dapat lepas dari aktivitasnya dalam menggunaan media sosial, sehingga meraka akan lebih memilih menggunakan handphone dari pada berinteraksi secara langsung dengan orang-orang sekitar ketika sedang berada diruang publik[11].

Penggunaan media sosial pada remaja memicu menurunnya moral, berubahnya pola interaksi dan komunikasi serta dapat mengundang perilaku menyimpang lainnya [12]. Menurut Mulyono, penggunaan media sosial yang berlebihan juga membuat individu menjadi sulit berkonsentrasi sehingga menimbulkan perasaan malas belajar. Pemahaman akan bahasa dalam berkomunikasi juga akan terganggu, hal ini dikarenakan remaja beranggapan bahwa ejaan yang digunakan dalam bermedia sosial tidak aturan tata bahasa dan ejaan, sehingga remaja tidak dapat membedakan saat berkomunikasi di media sosial dengan dunia nyata [1]. Namun menurut Putri , dkk., menyebut bahwa remaja yang tidak memiliki atau kurang aktif dalam bermain media sosial akan dianggap sebagai remaja yang kuno dan kurang pergaulan[13].

Menurut Booker, dkk.,bahwa penggunaan media sosial juga berkaitan dengan kesejahteraan, hal ini dikarenakan adanya korelasi signifikan antara interaksi di media sosial dengan intersepsi kesejahteraan dan antara interaksi media sosial dengan penurunan kesejahteraan[14]. Tariq, dkk., berpendapat bahwa tingginya penggunaan media sosial pada individu tidak hanya dapat menghubungkan individu tersebut dengan teman sebaya, namun juga memberikan efek negatif pada social well-being seseorang[15]. Menurut Keyes, social well-being adalah bentuk evaluasi terhadap kemampuan atau pencapaian individu untuk menghadapi tugas atau peran sosial dalam struktur sosial dan komunitasnya. Social well-being mengevaluasi mengenai integrasi sosial, penerimaan sosial, kontribusi sosial, koherensi sosial serta aktualisasi sosial pada individu dalam lingkungan sosialnya [16]. Terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhi social well-being yaitu adanya dukungan sosial, pratisipasi sosial, kontak sosial serta sikap sosial [17].

Social well-being juga dapat terbentuk melalui jaringan sosial online yang diperoleh dari orang lain. Menurut Putnam, keberadaan media sosial sangat berguna dalam melengkapi beberapa kasus menggantikan interaksi atau hubungan sosial tatap muka yang semakin berkurang [18]. Menurut Kelly, dkk., bahwa penggunaan suatu media sosial baik laki-laki dan perempuan memiliki dampak yang perbedaan. Perempuan cenderung menunjukan gejala depresi terkait pelecehan online, citra tubuh yang buruk dan kurang tidur, sehingga bagi pengguna media sosial perempuan sangat jauh dari kata well-being dibandingkan dengan remaja laki-laki[19].

Menurut Gabbiadini, dkk., adanya ternologi komunikasi (media sosial) terutama pada saat pandemi covid membantu seseorang mengurangi rasa kesepian dan keterasingan serta dapat meningkatkan rasa memiliki melalui dukungan sosial[20]. Sedangkan menurut Batool & Akram, penggunaan jejaring sosial yang berlebihan dapat membatasi kontribusi seseorang dalam keluarganya, serta menyebabkan isolasi fisik[15].

Weinstein menjelaskan bahwa dalam bermedia sosial dapat mempengaruhi individu terkait dengan empat dimensi fungsional yakni, interaksi relasional yang berkontribusi terhadap kedekatan atau pemutusan hubungan, ekspresi diri dapat memfasilitasi penegasan bersama dengan perhatian tentang penilaian orang lain, eksplorasi karena minat memberikan inspirasi ataupun kesulitan, serta browsing yang dapat mengarah pada hiburan dan kebosanan, serta kekaguman dan kecemburuan[21].

Menghabiskan terlalu banyak waktu jejaring sosial memisahkan individu dari masyarakat, sehingga mengalami lebih sedikit komunikasi dan interaksi dengan anggota keluarga dan teman. Pernyataan tersebut didukung oleh Isarabhakdi & Pewnil bahwa kecanduan internet adalah prediktor signifikan dari kurangnya interaksi dengan anggota keluarga, teman sebaya serta dapat mengurangi keterampilan sosial seseorang dalam proses interaksi secara langsung[15].

Penelitian yang dilakukanoleh Septiana dengan judul “Dampak Peggunaan Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental Dan Kesejahteraan Sosial Remaja Dimasa Pandemi Covid-19” menyimpulkan bahwa penggunaan atau keberadaan media komunikasi (media sosial) memiliki pengaruh positif dimasa pandemi seperti saat ini, serta memiliki kontribusi dalam pembentukan kesejahteraan sosial (social well-being) bagi remaja. Media sosial menjadi alternatif media dalam upaya pemenuhan kesejahteraan sosial (social well-being) remaja, khususnya dalam mengantisipasi hal negatif yang timbul atas keterbatasan maupun pandemi yang sedang berlangsung di lingkungan sosial[22].

Penelitian lain yang dilakukan oleh Bekalu, dkk., dengan judul “Association of Social Media Use With Social Well-Being , Positive Mental Health , and Self-Rated Health : Disentangling Routine Use From Emotional Connection to Use” menyimpulkan bahwa individu yang memiliki social well-being (kesejahteraan sosial) diakibatkan oleh seringnya individu tersebut dalam menggunakan media sosial sebagai rutinitasnya[18].

Penelitian lain yang dilakukan oleh dengan judul “International Perspectives On Social Media Use Among Adolescents : Implications For Mental And Social Well-Being And Substance Use” menjelaskan bahwa penggunaan media sosial yang bermasalah atau tidak bijak, memiliki mental dan social well-being yang rendah serta berada pada tingkatan tertinggi dalam penggunaan zat[23].

Peneliti melakukan wawancara dengan melibatkan beberapa remaja dari 5 Desa yang berbeda (Desa Sugihwaras, Desa Kedungkendo, Desa Gelam, Sumorame dan Desa Karangtanjung). Berdasarkan wawancara tersebut, diketahui bahwa remaja yang memiliki permasalahan mengenai social well-being dalam menggunakan media sosial terdapat di Desa Gelam. Hasil survei yang sudah dilakukan kepada remaja yang menggunakan media sosial di Desa Gelam yaitu, pada subjek pertama merasa bahwa pesan atau pendapat yang diberikan teman atau aggota komunitas tidak tersampaikan dengan baik melalui grup di media sosial (grup chatting whatsapp) sehingga sering menimbulkan kesalahpahaman antar anggota grup. Sedangkan pada subjek kedua merasa bahwa penggunaan media sosial sebagai sarana komunikasi sangat tidak efektif, hal ini disebabkan karena lambatnya respon yang diberikan serta ketidakpedulian anggota grup (whatsapp, telegram, dll) pada saat melakukan diskusi.

Social well-being perlu dibangun mengingat setiap orang adalah makhluk sosial yang saling bergantung satu sama lain, mengandalkan orang lain untuk memperoleh kesejahteraan, dan mendapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan [22]. Menurut Routledge, manfaat social well-being juga berpengaruh pada remaja, karena remaja yang memiliki social well-being tinggi, akan mampu dalam memenuhi tuntutan sosial serta berhasil dalam menghadapi terkanan hidupnya [24]. Berdasarkan pernyataan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan social well-being pada remaja pengguna media sosial.

Metode

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan data dan hasil statistik dari suatu fenomena melalui penyajian bentuk deskriptif tanpa menghubungkan, menyambungkan dan membandingkan dengan variabel maupun fenomena lainnya. Variabel penelitian ini yaitu social well-being. Populasi pada penelitianpada penelitian ini adalah remaja di desa Gelam Kecamatan Candi yang memiliki rentang usia 12-18 tahun yang berjumlah 483. Sampel diambil sebanyak 214 remaja dan diambil berdasarkan tabel Isaac dan Michael dengan taraf kesalahan 5%. Teknik sampling penelitian ini menggunakanpurposive sampling dimana subjek dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan yaitu individu remaja yang memiliki rentang usia 12-18 tahun sertamenggunakan media sosial.[24].

Teknik pengambilan data dalam penelitian data dalam penelitian ini menggunakan model skala likert. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 22 aitem pernyataan yang disusun peneliti berdasarkan dimensi-dimensi social well being menurut Septiana seperti integrasi sosial, penerimaan sosial, kontribusi sosial, koherensi sosial serta aktualisasi sosial. Aitem valid pada penelitian ini memiliki nilai koefisiensi yang bergerak dari 0,315-0,748 dengan reliabilitas aitem valid sebesar 0,863. Teknik analisis pada penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dimana hasil penelitian disajikan ke dalam bentuk tabel, grafik maupun persentase dengan masing-masing keterangan secara deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

A. Hasil

Hasil yang didapatkan oleh peneliti mengenai skala social well-being akan didistribusikan menjadi tiga kategori dengan menggunakan perhitungan statistik deskiptif melalui SPSS versi 25 for Windows. Hasil perhitungan statistic deskriptif tersebut adalah sebagai berikut :

N Mean Std. Deviation
TOTAL 214 58,65 10,63
Valid N (listwise) 214
Table 1. Standart Deviasi dan Mean

Berdasarkan data pada tabel di atas yang menjelaskan bahwa rata-rata (mean) yang dihasilkan dari tabulasi penilaian kuesioner dari 214 responden adalah 58,65 dengan standar deviasi sebesar 10,63, maka peneliti akan mendistribusikan skor dari skala social well- being menjadi tiga kategorisasi untuk memperoleh gambaran tentang social well-being yang sebenarnya, tabel distribusi kategorisasiskor sebagai berikut :

Kategori Norma Skor
Tinggi X ≥ (Mean + 1SD) ≥ 69
Sedang (Mean – 1SD) ≥ X < (Mean + 1SD) 48 s/d 69
Rendah X < (Mean – 1SD) < 48
Table 2. Kategorisasi SkorSocial Well-Being

Berdasarkan perhitungan pada tabel di atas, dapat diketahui tingkat social well- beingsebagai berikut:

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tinggi 30 14 14 14
Sedang 156 72,6 72,9 86,9
Rendah 28 13 13,1 100
Total 214 99,5 100
Table 3. Frekuensi Tingkat Social Well-Being

Berdasarkan pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa mahasiswa pengguna media sosial yang memiliki nilai social well-being rendah dengan skor < 48 ada sebanyak 28 orang dengan frekuensi 13%. Sedangkan mahasiswa pengguna media sosial yang memiliki nilai social well-being sedang dengan skor 48 s /d 69 ada sebanyak 156 orang dengan frekuensi 72% dan remaja pengguna media sosial di desa gelam yang memiliki nilai social well-being tinggi dengan skor ≥ 69 ada sebanyak 30 orang dengan frekuensi 14%. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa pengguna media sosial remaja di Desa Gelam memiliki tingkat social well-being yang sedang.

Aspek Kategori Jumlah % Mean
Integrasi Tinggi 21 10%
Sosial Sedang 152 71%
Rendah 41 19%
Total 214 100% 11,08
Table 4. Dimensi Integrasi Sosial

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa social well-being pada 214remaja di Desa Gelam, pengguna media sosial memiliki aspek integrasi sosial dengan kategori tinggi sebanyak 21 responden dan memperoleh presentase sebesar 10%. Kategori sedang sebanyak 152 responden dan memperoleh persentase sebesar 71%. serta kategori rendah sebanyak 41 responden dan memperoleh persentase sebesar 19%. Berikut diagram persentase untuk aspek penerimaan sosial :

Aspek Kategori Jumlah % Mean
Penerimaan Sosial Tinggi 21 10%
Sedang 152 71%
Rendah 41 19%
Total 214 100% 9,56
Table 5. Dimensi Penerimaan Sosial

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa social well-being pada 214 remaja pengguna media sosial di Desa Gelam memiliki aspek penerimaan sosial dengan kategori tinggi sebanyak 21 responden dan memperoleh persentase sebesar 10%. Kategori sedang sebanyak 152 responden dan memperoleh persentase sebesar 71%. serta kategori rendah sebanyak 41 responden dan memperoleh persentase sebesar 19%. Berikut diagram persentase untuk aspek kontribusi sosial :

Aspek Kategori Jumlah % Mean
Kontribusi Sosial Tinggi 21 10%
Sedang 160 75%
Rendah 33 15%
Total 214 100% 17,21
Table 6. Dimensi Kontribusi Sosial

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa social well-being pada 214 remaja pengguna media sosial di Desa Gelam memiliki aspek kontribusi sosial dengan kategori tinggi sebanyak 21 responden dan memperoleh persentase sebesar 10%. Kategori sedang sebanyak 160 responden dan memperoleh persentase sebesar 75%. serta kategori rendah sebanyak 33 responden dan memperoleh persentase sebesar 15%. Berikut diagram persentase untuk aspek aktualisasi sosial :

Aspek Kategori Jumlah % Mean
Aktualisasi Sosial Tinggi 21 10%
Sedang 160 75%
Rendah 33 15%
Total 214 100% 10,57
Table 7. Dimensi Aktualisasi Sosial

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa social well-being pada 214 remaja pengguna media sosial di Desa Gelam memiliki aspek aktualisasi sosial dengan kategori tinggi sebanyak 21 responden dan memperoleh persentase sebesar 10%. Kategori sedang sebanyak 160 responden dan memperoleh persentase sebesar 75%. serta kategori rendah sebanyak 33 responden dan memperoleh persentase sebesar 15%. Berikut diagram persentase untuk aspek koherensi sosial :

Aspek Kategori Jumlah % Mean
Koherensi Sosial Tinggi 25 12%
Sedang 157 73%
Rendah 32 15%
Total 214 100% 10,23
Table 8. Dimensi Koherensi Sosial

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa social well-being pada 214 remaja pengguna media sosial di Desa Gelam memiliki aspek koherensi sosial dengan kategori tinggi sebanyak 25 responden dan memperoleh persentase sebesar 12%. Kategori sedang sebanyak 157 responden dan memperoleh persentase sebesar 73%. serta kategori rendah sebanyak 32 responden dan memperoleh persentase sebesar 15%. Gambaaran tingkatan social well beingberdasarkan jenis kelamin:

Jenis kelamin Kategori Jumlah %
Laki-laki Tinggi 10 10%
Sedang 76 76%
Rendah 14 14%
Total 100 100%
Perempuan Tinggi 11 10%
Sedang 86 75%
Rendah 17 15%
Total 114 100%
Table 9. Tingkatan Social Well-Being Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dari 214 remaja, sebanyak 100 orang adalah responden berjenis kelamin laki-laki dan 114 orang lainnya adalah perempuan. Melalui data tersebut diketahui bahwa sebanyak 10 orang responden laki-laki memiliki tingkatan social well beingyang tinggi dengan persentase sebesar 10%. Kemudian sebanyak 76 orang memiliki tingkatan social well beingsedang dengan persentase sebesar 76%, serta sebanyak 14 orang memiliki social well beingyang rendah dengan persentase sebesar 14%. Sedangkan untuk responden perempuan sebanyak 11 orang memiliki tingkatan social well beingyang tinggi dengan persentase sebesar 10%. Kemudian sebanyak 86 orang memiliki tingkatan social well beingsedang dengan persentase sebesar 75%, serta sebanyak 17 orang responden memiliki tingkatan social well being yang rendah dengan persentase sebesar 15%. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa tingkatan social well beingpada responden laki-laki dan perempuan lebih dominan berada pada tingkatan yang sedang.

B. Pembahasan

Social well-being adalah bentuk evaluasi terhadap kemampuan atau pencapaian individu untuk menghadapi tugas atau peran sosial dalam struktur sosial dan komunitasnya. Social well-being mengevaluasi mengenai integrasi sosial, penerimaan sosial, kontribusi sosial, koherensi sosial serta aktualisasi sosial pada individu dalam lingkungan sosialnya [16]. Dalam hal ini, remaja pengguna media sosial di Desa Gelam dapat dikatakan merasakan social well-being di media sosial dalam takaran yang cukup Menurut Booker, dkk.,bahwa penggunaan media sosial juga berkaitan dengan kesejahteraan, hal ini dikarenakan adanya korelasi signifikan antara interaksi di media sosial dengan intersepsi kesejahteraan dan antara interaksi media sosial dengan penurunan kesejahteraan[14].

Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa social well being pada remaja di Desa Gelam Candi Sidoarjo masuk dalam kategori sedang dengan persentase sebesar 72,6% dengan jumlah responden 156 orang yang artinya remaja di Desa Gelam Candi Sidoarjo masih merasakan social well being. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bekalu, dkk.,bahwa individu yang memiliki social well-being (kesejahteraan sosial) diakibatkan oleh seringnya individu tersebut dalam menggunakan media sosial sebagai rutinitasnya, dengan demikian media sosial dapat menjadi alat yang berguna dalam memfasilitasi hubungan offline dengan cara online dan menjaga hubungan dengan teman[18].

Berdasarkan jenis kelamin, responden berjenis kelamin laki-laki dan perempuan menunjukkan tingkatan yang tidak jauh berbeda dalam merasakan social well-being di media sosial. Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Septiana, bahwa media sosial dapat membantu remaja baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam pengembangan hubungan dan pemeliharaan hubungan untuk menciptakan jaringan kemitraan relasional dengan berbagai tingkat kekuatan ikatan, dengan demikian penggunaan media sosial memiliki pengaruh positif serta menjadi kontribusi dalam membentuk kesejahteraan sosial (social well-being) pada remaja[22].

Pada dimensi integrasi sosial diketahui bahwa sebagian responden memiliki presentase sebesar 71% sebanyak 152 responden dan berada dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (71%) remaja di Desa Gelam menerapkan integrasi sosial dimana seseorang berproses menyesuaikan unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat namun tetap memiliki keserasian fungsi akan lebih bisa memanfaatkan media sosial untuk mendapatkan kesejahteraan sosial dengan komunitas pertemanan yang satu frekuensi melalui program-program yang ada. Menurut Septiana, adanya kesejahteraan sosial (social well-being) pada individu apabila individu tersebut dapat membina hubungan baik serta memberi manfaat bagi orang lain [21].

Pada dimensi Penerimaan Sosial sebagian besar responden berada dalam kategori sedang dengan nilai presentase 75% yang berjumlah 160 responden. Hal ini menunjukkan bahwa remaja desa gelam mudah diterima dikomunitas media sosial yang sesuai dengan pemikiran, dan bakat sehingga kesejahteraan sosial dapat dilakukan dengan pertemuan atau program secara langsung dengan rasa empati dan loyalitas yang tinggi pada pertemanan. Hal tersebut juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Prayacita & Maryam yang menyatakan bahwa bentuk penerimaan sosial yang di tunjukkan yaitu sama-sama percaya dengan media sosial whatsapp karena merasa berada di lingkup orang-orang terdekat atau bisa dibilang orang yang di kenal. Sedangkan video dalam media sosial youtube juga memiliki efek positif karena banyak tutorial yang dapat membantu dan bahkan ada video yang dapat menghibur[17].

Dimensi kontribusi sosial, sebagian besar responden dengan presentase sebesar 75% memiliki aspek peran aktif dalam berkontribusi sosial seperti kegiatan amal, penggalangan dana untuk bencana dan lain sebagainya dengan kategori sedang. Hal ini menjadi bukti bahwa kontribusi sosial yang berjalan dengan baik akan menciptakan kesejahteraan sosial. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan dari Septiana bahwa penggunaan media sosial memiliki pengaruh positif serta menjadi kontribusi dalam membentuk kesejahteraan sosial (social well-being) pada remaja, sehingga penggunaan media sosial yang bermasalah atau tidak bijak, dapat menjadikan individu memiliki mental dan social well-being yang rendah serta berada pada tingkatan tertinggi dalam penggunaan zat terlarang atau perlakuan yang menyimpang dari norma[22].

Pada dimensi aktualisasi sosial, sebagian besar responden dengan presentase sebesar 75% sebanyak 160 responden memiliki aktualisasi sosial yang berada pada kategori sedang. Hal ini menjadi bukti bahwa perkumpulan atau komunitas remaja Desa Gelam di media sosial memiliki kemampuan bekerja sama sehingga dapat mewujudkan keinginan dalam bersosial yaitu mencapai kesejahteraan sosial dengan menghimpun dana untuk menjalankan suatu kegiatan kemanusiaan. Hal tersebut juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Prayacita & Maryamyaitu subjek penelitian merasa mendapatkan dampak positif dalam pengunaan media sosial. Media sosial whatsapp dan youtube memiliki potensi yang baik karena membantu dalam perkuliahan sampai masalah bisnis serta mendapatakan banyak pengetahuan dari video youtube. Media sosial juga mudahkan dalam berkomunikasi dan untuk menghibur diri, serta dapat membagikan informasi[17].

Pada dimensi koherensi sosial, sebagian besar responden dengan presentase sebesar 73% sebanyak 157 responden memiliki koherensi sosial yang berada pada kategori sedang. Hal ini menjadi bukti bahwa koherensi sosial tercermin sebagai keselarasan hubungan yang stabil dan harmonis dengan teman-teman di media sosial. Hal tersebut juga didukung oleh Prayacita & Maryam menyatakan koherensi sosial (hubungan sosial) memiliki nilai yang positif dengan memahami kegiatan di dalamnya seperti aktif dalam grup whatsapp untuk berkomunikasi ataupun musyawarah dengan teman-temanya, media sosial juga sangat efektif dalam membantu untuk bertukar pikiran dalam bersosialisasi secara langsung dan mudah berkomunikasi dengan teman yang jaraknya jauh[17].

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa social well being pada sebagian besar responden dari 214 remaja yang menggunakan media sosial di Desa Gelam Candi Sidoarjo berada dalam kategori sedang dengan persentase 72,6%, baik pada remaja berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, artinya remaja yang aktif menggunakan media sosial di Desa Gelam Candi Sidoarjo memiliki social well being.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti menyarankan kepada remaja yang menggunakan media sosial agar bisa meningkatkan social well-being dalam dirinya, sehingga mampu menjalani aktivitas sehari-hari meskipun hanya melalui media sosial. Peneliti juga berharap penelitian ini dapat dijadiakan referensi untuk penelitian selanjutnya serta diharapkan untuk dikaji ulang dengan menggunakan lingkup yang lebih besar.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua responden yang sudah berpartisipasi untuk menyukseskan penelitian ini, taklupa ucapan terima kasih kepada Desa Gelam Sidoarjo yang telah membantu agar skripsi ini selesai hingga ketahap akhir.

References

[1] H. Hermansyah, “Pengaruh Penggunaan Media Sosial Bagi Kesehatan Mental Anak Remaja,” Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan Garawang, p. 34305, 2020. [Online]. Available: Pengaruh_Terapi_Murottal_Al_Qur’an_Terhadap_Nyeri_Pada_Pasien_Luka_Bakar

[2] F. Mulyono, “Dampak Media Sosial Bagi Remaja,” Jurnal Simki Economic, vol. 4, no. 1, pp. 57–65, 2021.

[3] R. I. M. Dunbar, “Do Online Social Media Cut Through the Constraints That Limit the Size of Offline Social Networks?,” Royal Society Open Science, vol. 3, no. 1, 2016, doi: 10.1098/rsos.150292.

[4] Sabarrudin, “Self-Disclosure Pada Mahasiswa Pengguna Instagram (Studi Kasus Mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Pangkep),” Journal of Communication Science, vol. 1, no. 2, pp. 111–120, 2019. [Online]. Available: http://www.journal-uim-makassar.ac.id/index.php/JCoS/article/view/288

[5] A. T. Haryanto, “Pengguna Internet Indonesia Tembus 202,6 Juta.” [Online]. Available: https://inet.detik.com/cyberlife/d-5407210/pengguna-internet-indonesia-tembus-202-6-juta

[6] Andi, “Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2021,” 2021. [Online]. Available: https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2021/

[7] W. S. R. Putri, N. Nurwati, and M. B. S., “Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Remaja,” Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, vol. 3, no. 1, pp. 47–51, 2016, doi: 10.24198/jppm.v3i1.13625.

[8] E. Abi-Jaoude, K. T. Naylor, and A. Pignatiello, “Smartphones, Social Media Use and Youth Mental Health,” CMAJ, vol. 192, no. 6, pp. E136–E141, Feb. 2020, doi: 10.1503/cmaj.190434.

[9] R. Aprilia, A. Sriati, and S. Hendrawati, “Tingkat Kecanduan Media Sosial pada Remaja,” Journal of Nursing Care, vol. 3, no. 1, pp. 41–53, 2020. [Online]. Available: https://jurnal.unpad.ac.id/jnc/article/view/26928

[10] H. Bashir and S. A. Bhat, “Effects of Social Media on Mental Health: A Review,” International Journal of Indian Psychology, vol. 4, no. 3, pp. 125–131, 2017, doi: 10.17501/26138417.2020.3101.

[11] J. Fang, X. Wang, Z. Wen, and J. Zhou, “Fear of Missing Out and Problematic Social Media Use as Mediators Between Emotional Support from Social Media and Phubbing Behavior,” Addictive Behaviors, vol. 107, p. 106430, 2020, doi: 10.1016/j.addbeh.2020.106430.

[12] M. Ngafifi, “Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia dalam Perspektif Sosial Budaya,” Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, vol. 2, no. 1, pp. 33–47, 2014, doi: 10.21831/jppfa.v2i1.2616.

[13] C. L. Booker, Y. J. Kelly, and A. Sacker, “Gender Differences in the Associations Between Age Trends of Social Media Interaction and Well-Being Among 10–15 Year Olds in the UK,” BMC Public Health, vol. 18, no. 1, Mar. 2018, doi: 10.1186/s12889-018-5220-4.

[14] K. Tariq, A. Tariq, A. Shahid, R. Tariq, and A. Hussain, “Effects of Smartphone Usage on Social Wellbeing of School Going Children (5–16 Years) in Lahore, Pakistan,” Nature and Social Science, vol. 7, no. 3, pp. 65–71, 2018.

[15] N. Dwiningsih, “Social Well-Being pada Lansia yang Mengikuti Posyandu Lansia di Dusun X,” Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, 2019.

[16] H. Prayacita and E. W. Maryam, “Social Well-Being Pada Mahasiswa Pengguna Media Sosial,” Proceeding Inter-Islamic University Conference on Psychology, vol. 1, no. 1, pp. 1–4, 2021.

[17] M. A. Bekalu, R. F. McCloud, and K. Viswanath, “Association of Social Media Use with Social Well-Being, Positive Mental Health, and Self-Rated Health: Disentangling Routine Use from Emotional Connection to Use,” Health Education & Behavior, vol. 46, no. 25, pp. 69–80, 2019, doi: 10.1177/1090198119863768.

[18] Y. Kelly, A. Zilanawala, C. Booker, and A. Sacker, “Social Media Use and Adolescent Mental Health: Findings from the UK Millennium Cohort Study,” EClinicalMedicine, vol. 6, no. 12, pp. 59–68, 2018, doi: 10.1016/j.eclinm.2018.12.005.

[19] A. Gabbiadini, C. Baldissarri, F. Durante, R. R. Valtorta, M. De Rosa, and M. Gallucci, “Together Apart: The Mitigating Role of Digital Communication Technologies on Negative Affect During the COVID-19 Outbreak in Italy,” Frontiers in Psychology, vol. 11, Oct. 2020, doi: 10.3389/fpsyg.2020.554678.

[20] E. Weinstein, “The Social Media See-Saw: Positive and Negative Influences on Adolescents’ Affective Well-Being,” New Media & Society, vol. 20, no. 10, pp. 3597–3623, Oct. 2018, doi: 10.1177/1461444818755634.

[21] N. Z. Septiana, “Dampak Peggunaan Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental dan Kesejahteraan Sosial Remaja di Masa Pandemi Covid-19,” Jurnal Nusantara Research, vol. 8, no. 1, pp. 1–13, 2021.

[22] M. Boniel-Nissim et al., “International Perspectives on Social Media Use Among Adolescents: Implications for Mental and Social Well-Being and Substance Use,” Computers in Human Behavior, vol. 129, 2022, doi: 10.1016/j.chb.2021.107144.

[23] K. D. Kurnia, E. N. Wahyuni, and R. H. Susanti, “Pengaruh Kesejahteraan Sosial Terhadap Agresivitas Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Kepanjen,” Jurnal Konseling Indonesia, vol. 2, no. 2, pp. 57–62, 2017.

[24] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi, 2nd ed. Bandung, Indonesia: Alfabeta, 2020.

Published

2025-05-02

Issue

Section

Islamic Psychology

Categories