School Well-Being and Self-Adjustment Among Vocational High School Students

Kesejahteraan Sekolah dan Kemampuan Beradaptasi Diri di Kalangan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan

Authors

  • Moch. Randy Nouval Putra Wandana Program Studi Psikologi, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia
  • Dwi Nastiti Program Studi Psikologi, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.21070/ijis.v13i2.1800

Keywords:

School Well-Being, Self-Adjustment, Vocational School, Student Behavior, Correlation

Abstract

Background: Students often struggle with forming harmonious relationships, breaking rules, and adjusting to school demands. Specific Background: School well-being is a key factor influencing students’ ability to adapt socially and emotionally in school. Gap: Few studies focus on vocational school students, despite their unique challenges. Aim: This study investigates the relationship between school well-being and self-adjustment among class 10 students at Krembung Islamic Vocational School. Method: A correlational quantitative design was used with 202 randomly selected students, employing school well-being and self-adjustment scales with high validity and reliability. Data were analyzed using Pearson Product Moment correlation. Results: Findings indicate a significant positive relationship (r = 0.662, p < 0.05), with school well-being contributing 43.5% to self-adjustment variance. Novelty: This research highlights the importance of school well-being in vocational education contexts. Implications: Schools should enhance physical, social, and psychological environments to improve students’ adjustment and participation.Highlight:

  • Positive link between well-being and adjustment

  • Contribution of school environment to behavior

  • Practical recommendations for schools

Keyword: School Well-Being, Self-Adjustment, Vocational School, Student Behavior, Correlation

Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan berhadapan dengan berbagai bentuk penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang dialaminya. Adanya perubahan menuntut adanya penyesuaian diri yang melibatan proses mental dan perilaku dan merupakan usaha individu untuk mengatasi kebutuhan, konflik, dan hal lainnya agar individu tersebut dapat melaraskan diri dengan tuntutan yang diberikan oleh lingkungan tempat dimana dia tinggal. Salah satu penyesuaian adalah penyesuaian diri yang dilakukan siswa di sekolah [1]. Di dalam lembaga seperti sekolah, selain para siswa menerima pengetahuan yang tujuannya agar siswa semakin matang (dewasa) dalam menghadapi segala situasi baik dalam segi pola pikir, juga belajar pengendalian diri maupun tingkah laku. Dalam proses kehidupan siswa di lingkungan sekolah, akan tercipta hubungan antara siswa dengan guru, teman, penjaga sekolah di lingkungan sekitar sekolah. Sekolah adalah salah satu tempat pendidikan yang sangat berperan dalam penyesuaian diri, terutama untuk siswa [2]. Hubungan antara siswa dengan orang-orang di sekitarnya di sekolah memunculkan konsekuensi kalau siswa harus melakukan penyesuaian diri Pada dasarnya, kemampuan untuk menyesuaikan diri diperoleh lewat proses yang terus-menerus dan dinamis. Seseorang mengubah perilakunya untuk membangun hubungan yang sesuai antara mereka sendiri dan lingkungan sekitar mereka, dab ini yang disebut dengan penyesuaian diri. Penyesuaian diri adalah suatu kemampuan untuk membuat hubungan yang serasi dan memuaskan antara individu dan lingkungannya [3].

Masing-masing siswa selalu melewati masa perubahan, misalnya dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi (misal kelas 10 ke kelas 11), perpindahan sekolah, misalnya dari SMP naik ke SMK. Saat siswa melewati masa transisi ini, siswa akan menghadapi berbagai perubahan baik dalam dirinya maupun lingkungannya saat ini, misalnya kewajiban yang semakin besar, ruang lingkup pembelajaran yang berubah dari sedikit menjadi lebih banyak, strategi belajar, materi pembelajaran yang tidak terduga, terlebih lagi konsentrasi menghadapi keadaan-keadaan tersebut. Kemajuan yang terjadi memerlukan kemampuan untuk melakukan penyesuaian [4]. Aspek-aspek penyesuaian diri ada 2, yakni aspek penyesuaian pribadi (kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya) dan aspek penyesuaian sosial (kemampuan individu untuk berkenalan dengan aturan, ketentuan, norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok lalu mematuhinya [5].

Menurut Nuryani, penyesuaian diri sangat penting karena berdampak positif pada berbagai kegiatan di dalam dan di luar sekolah. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dapat berdampak negatif pada prestasi akademik, rentan stres, kurangnya kesehatan sekolah, motivasi berprestasi yang rendah, dan prokrastinasi akademik [6]. Kecenderungan siswa SMA mengalami stres yang tinggi jika mereka menyesuaikan diri dengan tuntutan akademik yang buruk [7]. Penelitian tentang penyesuaian diri pernah dilakukan oleh D. A. Susanti and D. Nastiti ini dilakukan di siswa kelas 10 SMA Negeri 1 Mojosari [2]. Dalam penelitian ini masih ditemukan ada 8 siswa penyesuaian dirinya sangat rendah, dan 39 siswa penyesuaian dirinya rendah diantara 37 siswa yang penyesuaian dirinya tinggi, dan 14 siswa penyesuaian dirinya sangat tinggi.

Hal yang sama juga ditemukan pada siswa di sekolah kelas 10 SMK Islam Krembung, Sidoarjo. Bedasarkan hasil survei awal yang dilakukan oleh peneliti kepada 10 anak kelas 10 yang berada pada SMK Islam Krembung Sidoarjo, 7 dari 10 anak menunjukkan tingkatan penyesuaian diri yang kurang, seperti siswa kurang mampu menerima dirinya yang berdampak sulit membentuk hubungan yang harmonis, sering bertentangan dengan orang lain di sekitarnya, dan siswa kurang mampu bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, sering melanggar aturan.

Salah satu faktor yang dianggap berperan pada kemampuan penyesuaian diri siswa di sekolah adalah lingungan sekolah [8]. Selama beraktivitas di sekolah siswa membutuhkan kenyamanan lingkungan di sekolah.. Hal ini dibutuhkan karena dapat mempengaruhi belajar siswa. Bagaimana kondisi lingkungan sekolah dan bagaimana hubungan sosial yang terjadi di sekolah dapat mempengaruhi siswa apakah mampu melakukan penyesuaian diri atau tidak [8]. Perasaan nyaman ini bergantung pada bagaimana siswa mempersepsikan lingkungan sekolahannya. Menurut A. Konu and M. Rimpelä (2002), lingkungan sekolah yang dimaksud di sini berkaitan dengan konsep school well-being [8]. School well-being adalah ketika seseorang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka, baik yang material maupun non-material di sekolah [9]. Konsep school well being berarti bahwa sekolah memiliki lingkungan yang mendukung sehingga siswa merasa senang dan memiliki sikap yang positif. Selain itu, lingkungan sekolah yang sehat dapat berdampak pada tingkat kebahagiaan siswa. dalam melakukan interaksi sosial di dalamnya [8].

Diener (1984) menerangkan bahwa well being adalah ide yang kompleks, mempengaruhi pandangan optimis, termasuk perasaan gembira dan kebahagiaan yang konstan. Seseorang yang mengalami perasaan menyenangkan, jarang merasakan emosi negatif, dan memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi pada hakikatnya dianggap sangat sejahtera. [10]. Ada 3 konsep dimensi well-being yaitu having, loving, dan being. Konsep tersebut dikembangkan menjadi scholl well being yang terdiri dari empat elemen: a. memiliki (kondisi sekolah/having) : berupa lingkungan fisik sekolah, baik di dalam maupun di luar, merupakan salah satu dari empat kualitas tersebut (berkaitan dengan keadaan sekolah); kawasan yang disebutkan merupakan lingkungan sekolah yang membantu siswa merasa aman dan nyaman dengan ventilasi dan suhu udara yang sesuai, memperhatikan kebisingan, dan sebagainya ; b. mencintai (interaksi sosial/loving) : merujuk kepada lingkungan sosial,belajar, hubungan siswa dengan guru, hubungan antar siswa dalam satu kelas, kolaborasi antara sekolah dan rumah, pengambilan keputusan di sekolah, dan lingkungan hierarki sekolah pada umumnya ; c. pemenuhan diri/being) : mengacu pada kecenderungan bahwa setiap individu dihargai sebagai bagian penting dari masyarakat.; dan d. kesehatan (health) : mencakup komponen fisik dan mental, seperti penyakit yang sedang berlangsung, efek samping psikosomatis, penyakit ringan, dan kekhawatiran terhadap kondisi seseorang. School well-being menggambarkan keadaan yang memungkinkan siswa memenuhi kebutuhan mendasarnya di lingkungan sekolah, baik materiil maupun non materi [8]. Saat sekolah dapat memenuhi semua kebutuhan siswa, kesejahteraan siswa di lingkungan sekolah dapat dikatakan terpenuhi. Siswa merasa aman, nyaman, dan sehat ketika berada di lingkungan sekolahnya. Kondisi lingkungan sekolah, hubungan sosial di sekolah, dan pemenuhan diri di sekolah adalah semua faktor yang berhubungan dengan kesejahteraan siswa [11]. Oleh karena itu keberhasilan belajar secara optimal diharapkan daoat tercapai dengan pemenuhan atas kebutuhan dasar siswa.

Pola reaksi siswa yang buruk seperti rasa tertekan, kebosanan, isolasi, kesendirian, dan depresi akan muncul sebagai hasil dari lingkungan sekolah yang tidak menyenangkan, menekan, dan membosankan. Kondisi tersebut juga dapat mempengaruhi penurunan potensi prestasi siswa. Sekolahan yang kurang menyenangkan mungkin dapat menjadi sumber stress dan mengurangi prestasi belajar. Semakin tinggi stres yang dialami oleh siswa makan akan berpengaruh buruk pada penilaian siswa terhadap sekolahannya. Siswa yang jenuh akan tidak nyaman dalam hubungan sosial dan merasa tidak puas dengan pemenuhan dirinya di sekolah [12]. Secara umum, sekolah harus memperhatikan dan melaksanakan pendidikan kesejahteraan karena ini akan membuat siswa bahagia, sehat, dan merasa bahagia ketika mereka belajar. Ini juga akan memungkinkan sekolah untuk melakukan pembelajaran dengan baik dan berkontribusi pada hasil yang baik karena sekolah harus menjadi tujuan utama pendidikan.

Keinginan siswa untuk berhasil tidak terpenuhi bisa karena faktor school well-being. Bagaimana school well-being akan mempunyai manfaat yang begitu besar terhadap penyesuaian diri siswa selama mengikuti proses pembelajaran dan pembentukan karkarakter siswa di lingkungan sekolah. Makin tinggi makin tinggi kemampuan penyesuaian diri siswa, dan sebaliknya semakin rendah school well-being siswa berhubungan dengan makin rendah penyesuaian diri siswa. Kemampuan siswa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah akan sangat membantu siswa menempatkan diri, melakukan interaksi, dan mengikuti proses pembelajaran dengan nyaman. Untuk mengurangi dampak negatif, seperti membolos, tidur di kelas dan tidak mengikuti pelajaran, siswa diharapkan dapat memperoleh dan mencapai kepuasan di sekolah [7].

Beberapa penelitian sebelumnya telah menyelidiki scholl well being dengan penyesuaian diri siswa, tetapi lebih mengarah pada penelitian yang menghubungkan peneysuaian diri dengan school well-being [9] dengan subyek siswa pondok pesantren, [13] dengan subyek siswa SMP [14] dengan subyek mahasiswa [15] dengan subyek siswa SMP. Hasilnya semua menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara penyesuaian diri dengan school well-being. Sedangkan penelitian lain menyelidiki hubungan school well-being dengan penyesuaian diri pada siswa SMA [2]. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini meneliti hubungan school well-being dengan penyesuaian diri tetapi pada siswa SMK.

Berdasarkan deskripsi masalah di atas, penelitian ini menjawab masalah penelitian yaitu apakah ada hubungan antara school well-being dengan penyesuaian diri pada siswa kelas 10 SMK Islam Krembung. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara school well-being dengan penyesuaian diri siswa kelas 10 SMK Islam Krembung. Selain itu untuk menguji hipotesis penelitian yaitu ada hhubungan positif antara school well-being dengan penyesuaian diri siswa kelas 10 SMK Islam Krembung.

Metode

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk menentukan seberapa besar korelasi koefisien korelasi antara perubahan pada satu variabel dan perubahan pada variabel lain [16]. Penelitian meneliti korelasi pengukuran terhadap variabel yang saling berhubungan, sehingga dapat dilakukan secara bersamaan dalam lingkungan yang realistis. Variabel bebas (X) School well-being dan variabel terikat (Y) penyesuaian diri adalah dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Populasi penelitian ini ialah seluruh siswa kelas 10 SMK Islam Krembung sebanyak 476 siswa. Penentuan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian didasarkan pada tabel Isaac dan Michael dengan taraf kesalahan 5% yakni sebanyak 202 siswa. Teknik sampling menggunakan sistem simple random sampling karena subyek penelitian bersifat homogen yaitu siswa SMK kelas 10.

Dua skala psikologi digunakan dalam pengumpulan data, yaitu skala school well-being dan skala penyesuaian diri. Skala school well-being diadopsi dari skala yang disusun berdasarkan aspek school well-being yaitu having, loving, being, health dari Konu Rimpela [8]. Hasil analisa data validitas yang ditunjukkan bahwa validitas aitem bergerak dari 0,375-0,854. Nilai reliabilitas alpha cronabach dari alat ukur school well-being sebesar 0,909. Skala penyesuaian diri juga diadopsi dari skala yang disusun berdasarkan elemen penyesuaian diri yakni aspek penyesuaian pribadi dan aspek penyesuaian sosial [17]. Hasil uji validitas aitem menunjukkan skala penyesuaian diri memiliki nilai validitas yang bergerak dari 0,381-0,934. Selanjutnya nilai reliabilitas alpha cronbach dari alat ukur penyesuaian diri sebesar 0,891. Penyusunan aitem skala menggunakan model skala likert yaitu dalam bentuk pernyataan favorable dan unfavorbel dengan alternatif jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), kurang setuju (KS), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Metode korelasi Product Moment digunakan untuk menguji data yang diperoleh dari hasil penelitian. Analisis data statistik menggunakan program statistik SPSS for windows.

Hasil dan Pembahasan

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan data yang telah diperoleh maka dilakukan pengujian analisis data untuk pengujian hipotesis, yang sebelumnya dilakukan uji asumsi pertama. Untuk penelitian ini, uji normalitas dan linearitas digunakan.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Penyesuaian Diri School Well-Being
N 206 206
Normal Parametersa,b Mean 24,94 37,72
Std. Deviation 4,554 6,837
Most Extreme Differences Absolute ,228 ,177
Positive ,190 ,105
Negative -,228 -,177
Test Statistic ,228 ,177
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000c ,000c
Table 1. Uji Normalitas

Menurut tabel hasil uji normalitas dua skala, nilai signifikansi skala penyesuaian diri 0,000 menunjukkan bahwa nilainya kurang dari 0,05, dan data distribusinya dianggap normal. Sementara itu, nilai signifikansi skala school well-being sebesar 0,000 menunjukkan bahwa nilainya kurang dari 0,05 (0,000 > 0,05), dan dapat dianggap bahwa distribusinya normal.

ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Penyesuaian Diri * School Well Being Between Groups (Combined) 2645,959 26 101,768 11,345 ,000
Linearity 1862,990 1 1862,990 207,686 ,000
Deviation from Linearity 782,969 25 31,319 3,491 ,000
Within Groups 1605,670 179 8,970
Total 4251,629 205
Table 2. Uji Linearitas

Berdasarkan hasil uji linieritas dari tabel di atas maka diperoleh nilai 207,686 dan signifikasi 0,000 yang artinya <0,005. sebagai hasilnya, data di atas dapat dianggap linear. Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa data terdistribusi dengan tidak normal dan ada hubungan linear antara tingkat school well-being dan penyesuaian diri. Selanjutnya, uji korelasi dilakukan dengan menggunakan perhitungan korelasi Product Moment Pearson.

Correlations
School Well-Being Penyesuaian Diri
School Well-Being Pearson Correlation 1 ,662**
Sig. (2-tailed) ,000
N 206 206
Penyesuaian Diri Pearson Correlation ,662** 1
Sig. (2-tailed) ,000
N 206 206
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Table 3. Uji Kolerasi

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai rxy = 0,662, dengan signifikansi 0,000 (< 0,05), yang menunjukkan korelasi yang kuat antara school well-being dengan penyesuaian diri siswa kelas 10 SMK Islam Krembung, Nilai positif menunjukkan adanya hubungan positif antara school well-being dengan penyesuaian diri siswa kelas 10 SMK Islam Krembung. Dengan demikian hipotesis penelitian ini dapat diterima karena sekolah dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi (school well-being) memiliki tingkat penyesuaian diri yang tinggi, dan sebaliknya, sekolah dengan tingkat kesejahteraan yang rendah (school well-being) memiliki tingkat penyesuaian diri yang rendah.

Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,662a ,438 ,435 3,422
Table 4. Sumbangan Efektif Model Summary

Berdasarkan pada tabel di atas, telah diketahui bahwa besaran pengaruh variabel X yaitu school well-being terhadap variabel Y, yakni penyesuaian diri adalah tergolong tinggi, dimana nilai R Square sebesar 0,435. Jadi R Square = 0,435 x 100% = 43,5%. School well-being dapat mempengaruhi 43,5% terhadap penyesuaian diri. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel school well-being terhadap variabel penyesuaian diri sebesar 43,5%. Sedangkan, 56, 5%, penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Selain hasil di atas, peneliti juga mencoba mencari gambaran kondisi masing-masing variabel penelitian, yaitu school well-being dan penyesuaian diri seperti di bawah

Kriteria School Well-being Penyesuaian Diri
Total % Total %
Sangat Rendah 4 2% 18 9%
Rendah 13 6% 153 76%
Sedang 119 59% 24 12%
Tinggi 62 31% 5 2%
Sangat Tinggi 4 2% 2 1%
Total 202 100% 202 100%
Table 5. Kategori Variabel Penenlitian

Dilihat dari tabel di atas, diperoleh gambaran penyesuaian diri siswa cenderung rendah yaitu ada 153 siswa dari 202 siswa (76%), bahkan ada 18 siswa dari 202 siswa (9%) memiliki kemapuan penyesuaian diri yang sangat rendah. Selain itu, ada 24 siswa dari 202 siswa (12%) memiliki kemampuan penyesuaian diri dengan klasifikasi sedang (cukup tinggi), tetapi sebaliknya, terdapat 5 siswa dari 202 siswa (12%) yang dianggap mampu menyesuaikan diri yang tergolong tinggi, dan 2 siswa dari 202 (1%) yang mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang tergolong sangat tinggi. Hal ini berarti sebagian besar siswa kelas 10 SMK Islam Krembung cenderung tergolong rendah penyesuaian dirinya.

Sementara itu, tabel di atas menggambarkan kondisi school well-being siswa cenderung sedang (cukup tinggi) yang terwakili 119 dari 202 siswa kelas 10 di SMK Islam Krembung (59%). Bahkan terdapat 62 siswa dari 202 siswa (31%) memiliki school well-being yang tinggi, dan 4 siswa dari 2020 siswa (2%) yang memiliki school-well being sangat tinggi. Sebaliknya, terdapat 13 siswa yang memiliki school well-being yang rendah, bahkan ada 4 dari 202 siswa memiliki school well-being sangat rendah, siswa yang mempunyai kapasitas sejahtera sekolah derajat sedang sebanyak 119 siswa, Dengan demikian, school well-being siswa 10 SMK Islam Krembung cenderung tergolong sedang.

B. Pembahasan

Dari perbincangan susunan di atas cenderung disimpulkan bahwa siswa kelas 10 SMK Islam Krembung memiliki kapasitas perubahan diri yang rendah. Dalam penataan mata pelajaran pada variabel kesejahteraan sekolah, siswa kelas 10 di SMK Islam Krembung akan cenderung bersikap moderat. Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara variabel kesejahteraan sekolah dengan variabel perubahan karena hasil eksperimen menunjukkan dengan signifikansi 0,000 (< 0,05), yang menunjukkan korelasi positi yang signifikan antara school well-being dengan penyesuaian diri siswa kelas 10 SMK Islam Krembung. Dengan demikian hipotesis penelitian ini dapat diterima yang berarti makin tinggi school well being siswa maka makin tinggi penyesuaian diri siswa, dan sebaliknya, makin rendah school well-being siswa akan diikuti makin rendah penyesuaian dirinya.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sejenis yang sebelumnya dilakukan Wulandari dimana secara psikologis well-being dari siswa SMK dapat mendukung tercapainya penyesuaian diri siswa akan lingkungan sekolahnya [18]. Penelitian lain yang juga mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian D. A. Susanti and D. Nastiti yang meneliti hubungan antara school well-being dengan penyesuaian diri siswa SMA Negeri 1 Mojosari. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,956 dengan signifikansi (p) 0,000 (< 0,05), artinya terdapat hubungan positif antara school well-being dengan penyesuaian diri siswa SMA Negeri 1 Mojosari [2]. Masalah kemampuan penyesuaian diri siswa bisa ditanggulangi dengan adanya school well-being yang tinggi karena dengan adanya school well-being yang tinggi maka kemampuan penyesuaian diri pada siswa juga akan tinggi dengan menciptakan lingkungan (fisik maupun sosial) yang lebih mendukung aktivitasnya untuk melakukan penyesuaian diri. Hal ini menjadikan siswa lebih produktif. Sekolah yang bisa menciptakan school well-being pada siswa maka bisa membuat siswa merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan saat mengikuti pembelajaran, dan pada kahirnya siswa dapat berkontribusi aktif di sekolah. School well-being yang tinggi bisa memenuhi kebutuhan siswa yang diharapkan bisa diperoleh di sekolah yang megandung empat dimensi yaitu situasi fisik sekolah yang membuat siswa merasa aman dan nyaman untuk belajar (Having), hubungan sosial siswa, seperti hubungan sosial dengan teman sebaya, perundungan atau pelecehan, dan dinamika kelompok yang terjadi di lingkungan sekolah (Loving), dan kesempatan mengembangkan kemampuan diri (Being), serta perhatian terhadap status kesehatan fisik dan mental siswa (Health) [19].

School well being yang dirasakan siswa kelas 10 di SMK Islam Krembung tergolong sedang, dimana terdapat 119 dari 202 siswa (59%), bahkan ada 62 siswa (31%) dengan school wellbeing tinggi. Hal ini berarti sebagian besar siswa merasa sekolahnya adalah sekolah yang nyaman sebagai tempat belajar. Hanya sebagian kesil saja 6 siswa (13%) yang merasa sekolah kurang nyaman untuk tempat belajar (school well being rendah). Hanya saja kondisi school well being siswa tidak disertai kondisi penyesuaian diri siswa yang cenderung tergolong rendah, dimana terdapat 153 siswa (76%) yang penyesuaian dirinya rendah, bahkan 18 siswa (9%) memiliki penyesuaian diri yang sangat rendah. Tinggi rendahnya penyesuaian diri siswa bisa dipengaruhi faktor-faktor lain selain faktor school well being. Dalam penelitian ini, besarnya peran school well-being terhadap kemampuan penyesuaian diri siswa menunjukkan 43,5%. Hal ini berarti ada 56,5% pengaruh faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri. Van rooij et. al. dalam penelitiannya menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri terdiri atas faktor motivasi intrinsik, efikasi diri, dan regulasi diri [20]. Hasil penelitian selanjutnya oleh Dufner et al menjelaskan bahwa self enhancement berkorelasi secara positif dan dapat menjadi faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri [21].

Siswa SMA yang masuk kedalam kategori fase remaja, merupakan fase yang dipenuhi dengan berbagai tekanan untuk beradaptasi kepada kehidupan sekolah, dimana hal tersebut dapat menimbulkan perasaan cemas dan frustasi. Adanya cemas dan frustasi tersebut akan membuat siswa mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian diri disekolah. Perasaan cemas dan frustasi ini dapat diatasi bila siswa bisa merasakan school well-being saat di sekolah. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Shamionov et. al yang menjelaskan bahwa school well-being dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat menjadi prediktor dari perasaan cemas di sekolah [22]. Dengan demikian school well-being memegang peranan penting dalam menentukan penyesuaian diri siswa jika dihubungkan dengan tuntutan beradaptasi dan juga perasaan emosi negatif yang mudah muncul di usia remaja ini. Siswa mampu melakukan penyesuaian diri apabila siswa memiliki kompetensi yang cukup dalam aspek sosial dan emosi. Sekolah dapat mendukung kemampuan penyesuaian diri dengan menciptakan prorgram-program yang termasuk kedalam aspek having dan loving dari school well-being yang dapat membangun keahlian sosial dan emosi yang dimiliki oleh siswa [23].

Campbell menjelaskan bahwa well-being akan terpenuhi ketika harapan atau kebutuhan dari individu telah terpenuhi [24]. Bedasarkan hal tersebut maka, harapan dan kebutuhan dari siswa di sekolah harus terpenuhi karena bedasarkan data dari penelitian ini, school well-being memiliki korelasi positif dengan penyesuaian diri dari siswa. Pemenuhan aspek having dapat memberikan kenyamanan bagi siswa selama di lingkungan sekolah dapat dilakukan dengan memenuhi sarana dan prasarana seperti kondisi ruang belajar, perlatan atau perlengkapan belajar-mengajar, fasilitas penunjang lainnya. Sesuai dengan hasil penelitian [25] yang menyatakan bahwa kenikmatan belajar di sekolah karena siswa dapat beradaptasi dengan baik dengan semua kondisi dan lingkungan sekolah, keyakinan bahwa kekurangan sekolah tidak menghalangi belajar, dan perasaan nyaman dan aman yang dimiliki siswa menyebabkan mereka menikmati belajar, yang pada gilirannya berdampak pada prestasi belajar mereka.

Pemenuhan aspek loving dapat dilakukan dengan menjaga iklim sosial di lingkungan sekolah. Hal ini akan berdampak pada kesejahteraan dan kepuasan siswa di sekolah. Jika hubungan yang baik tercipta maka akan berdampak pada prestasi siswa di sekolah. Sekolah harus memiliki lingkungan yang nyaman, aman, dan memperhatikan kebisingan, suhu udara, dan ventilasi. Mereka juga dapat menghias ruang kelas dengan berbagai hiasan dinding [26]. Pemenuhan aspek being dapat dilakukan oleh sekolah dengan cara memfasilitasi aspirasi siswa agar dapat berkontribusi dalam pengambilan keputusan di sekolahnya misalnya melalui pemilu anggota osis, pemilihan ketua kelas, layanan bimbingan konseling, ekstrakulikuler, dan lain sebagainya. Pemenuhan aspek health dapat diimplementasikan misalnya dalam bentuk penyediaan UKS dan jam istirahat yang cukup. School well-being yang tinggi dapat menangani masalah penyesuaian diri. Untuk membuat lingkungan sekolah lebih baik yang memungkinkan Siswa beradaptasi dan lebih produktif, sekolah harus memiliki kemampuan penyesuaian diri yang tinggi [2]. Oleh karena itu, evaluasi kesehatan sekolah harus dilakukan secara teratur untuk memastikan bahwa siswa mengembangkan diri secara optimal.

Penelitian ini tentunya memiliki keterbasan. Penelitian ini menggunakan survei online yang dapat menimbulkan munculnya bias penelitian. Selanjutnya peneliti juga hanya mengangkat satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sedangkan masih banyak variabel lain yang berpotensi memiliki korelasi dan dapat menjadi prediktor penyesuaian diri yang masih dapat dikaji lebih lanjut.

Simpulan

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara school well being dengan penyesuaian diri pada siswa SMK Islam Krembung, dengan koefisien hubungan menunjukkan r = 0,662 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000 (< 0,05), dan itu berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat diakui. Pada pengujian ini, besarnya pengaruh school well being terhadap penyesuaian diri 43,5,3%. Dengan sisa prosentase sebesar 56,5% menunjukkan penyesusian diri dipengaruhi oleh variabel lain yang bukan merupakan titik fokus kajian ini.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan di sekolah. Siswa diharapkan meningkatkan penyesuaian dirinya dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan bakat dan minat di sekolah. Selain itu, pihak sekolah meningkatkan lingkungan sekolah yang nyaman seperti peningkatan sarana prasarana, peningkatan program belajar sekolah, menyediakan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang banyak diminati siswa disertai dengan pertandingan antar kelas, komunikasi guru dan siswa yang lebih harmonis, pemberian penghargaan bagi siswa berprestasi. Saran peneliti untuk penelitian selanjutnya adalah melibatkan lebih banyak variabel untuk menjelaskan variabel penyesuaian diri pada siswa sekolah.

Ucapan Terima Kasih

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada kepala sekolah SMK Islam Krembung yang telah mengijinkan peneliti untuk melakukan peneltian di lingkungan sekolah. Selanjutnya peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada guru dan juga partisipan serta seluruh pihak yang telah membantu peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.

References

[1] Y. A. Saputro and R. Sugiarti, "Pengaruh Dukungan Sosial Teman Sebaya dan Konsep Diri terhadap Penyesuaian Diri pada Siswa SMA Kelas X," Philanthropy Journal of Psychology, vol. 5, no. 1, p. 59, 2021, doi: 10.26623/philanthropy.v5i1.3270.

[2] D. A. Susanti and D. Nastiti, "The Relationship Between School Well-Being and Adjustment of Students of Class 10 in School," Academic Open, vol. 6, pp. 1–11, 2021, doi: 10.21070/acopen.6.2022.1648.

[3] J. Pahroji and M. Iqbal, "Penyesuaian Diri Remaja," Jurnal Bakti Sosial, vol. 1, no. 2, pp. 20–27, Dec. 2022. [Online]. Available: https://jurnal.asrypersadaquality.com/index.php/baktisosial/article/view/59

[4] A. Azizah and F. Hidayati, "Penyesuaian Sosial dan School Well-Being: Studi pada Siswa Pondok Pesantren yang Bersekolah di MBI Amanatul Ummah Pacet Mojokerto," Empati Jurnal Karya Ilmiah S1 Undip, vol. 4, no. 4, pp. 84–89, 2015.

[5] M. Choirudin, Penyesuaian Diri: Sebagai Upaya Mencapai Kesejahteraan Jiwa, Yogyakarta, Indonesia: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2017. [Online]. Available: https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/24359/

[6] N. Nuryani, "Dampak Kesulitan Menyesuaikan Diri pada Santri," G-Couns Jurnal Bimbingan dan Konseling, vol. 4, no. 1, Jan. 2020, doi: 10.31316/g.couns.v4i1.469.

[7] D. Christyanti, D. Mustami’ah, and W. Sulistiani, "Hubungan antara Penyesuaian Diri terhadap Tuntutan Akademik dengan Kecenderungan Stres pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya," Jurnal Insa Media Psikologi, vol. 12, no. 3, 2012. [Online]. Available: https://dspace.hangtuah.ac.id/xmlui/handle/dx/585

[8] A. Konu and M. Rimpelä, "Well-Being in Schools: A Conceptual Model," Health Promotion International, vol. 17, no. 1, pp. 79–87, 2002, doi: 10.1093/heapro/17.1.79.

[9] F. Azizah and Hidayati, "Hubungan Antara Penyesuaian Sosial dengan School Well-Being," Seminar Nasional Education Wellbeing, pp. 225–239, 2007.

[10] M. D. Rabbani and N. Sofia, "Hubungan Antara Stress Akademik dan School Well Being pada Siswa SMA di Yogyakarta," 2019.

[11] N. R. Oktiana and U. Karyani, "Kesejahteraan Siswa di Sekolah: Studi Komparasi," Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2017. [Online]. Available: https://eprints.ums.ac.id/53782/

[12] M. Rizki, A. Listiara, and L. Belakang, "Penyesuaian Diri dan School Well-Being pada Mahasiswa," Seminar Psikologi & Kemanusiaan, pp. 978–979, 2015.

[13] D. F. Simamora et al., "Layanan Pendidikan Inklusi Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus," Jurnal Pendidikan Sosial dan Humaniora, vol. 1, no. 4, pp. 456–463, Dec. 2022.

[14] S. Marpaung and E. W. Hapsari, "Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan School Well-Being pada Siswa SMP Negeri 1 Silaen," Experientia, vol. 11, no. 1, pp. 43–55, 2023.

[15] A. Azizah, "Penyesuaian Diri dan Persepsi terhadap School Well-Being Siswa SMP di Sidoarjo," Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2022.

[16] S. Azwar, Metode Penelitian, 2017.

[17] M. Choirudin, "Kata Kunci: Penyesuaian Diri, Kesejahteraan Jiwa," Hisbah Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, vol. 12, no. 1, pp. 1–20, 2015.

[18] S. Wulandari, "Hubungan Antara Kesejahteraan Psikologis dan Penyesuaian Diri," Jurnal Psiko-Edukasi, vol. 14, no. 2, 2016.

[19] Aidia Rasyid, "Konsep dan Urgensi Penerapan School Well-Being pada Dunia Pendidikan," Jurnal Basicedu, vol. 5, no. 4, pp. 2541–2549, 2021.

[20] E. C. M. van Rooij, E. P. W. A. Jansen, and W. J. C. M. van de Grift, "First-Year University Students’ Academic Success: The Importance of Academic Adjustment," European Journal of Psychology of Education, vol. 33, no. 4, pp. 749–767, 2018.

[21] M. Dufner, J. E. Gebauer, C. Sedikides, and J. J. A. Denissen, "Self-Enhancement and Psychological Adjustment: A Meta-Analytic Review," Personality and Social Psychology Review, vol. 23, no. 1, pp. 48–72, 2018.

[22] R. M. Shamionov et al., "The Role of Junior Adolescents’ School Well-Being/Ill-Being Characteristics in School Anxiety Variations," European Journal of Investigation in Health, Psychology and Education, vol. 11, no. 3, pp. 878–893, 2021.

[23] M. M. Barry, A. M. Clarke, and K. Dowling, "Promoting Social and Emotional Well-Being in Schools," Health Education, vol. 117, no. 5, pp. 434–451, 2017.

[24] J. S. Pamuji, D. E. Santi, and A. Ananta, "Penyesuaian Diri: Adakah Perananan Efikasi Diri dan Psychological Well-Being pada Santri Baru," Sukma Jurnal Penelitian Psikologi, vol. 4, no. 1, pp. 48–60, 2023.

[25] D. A. Sholihah, "School Well-Being pada Siswa Berprestasi Tinggi dalam Bidang Matematika," Jurnal Pembangunan Pendidikan Fondasi dan Aplikasi, vol. 10, no. 1, pp. 75–84, 2022.

[26] N. M. S. Anggreni and A. S. Immanuel, "School Well-Being adalah Sekolah Impianku," Buletin KPIN, 2019.

Published

2025-05-01

Issue

Section

Islamic Psychology

Categories