Marriage Validity and Divorce Resolution in Islamic Law Perspective

Keabsahan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian dalam Perspektif Hukum Islam

Authors

  • Inge Bethzeda Stefany program studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyab Sidoarjo, Indonesia
  • Rifqi Ridlo Phahlevy Faculty of Law, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

DOI:

https://doi.org/10.21070/ijis.v13i1.1796

Keywords:

Marriage Law, Islamic Family Law, Divorce Resolution, Court Decision, Legal Analysis

Abstract

Background: Marriage and divorce are central issues in Islamic family law and need to be analyzed in the context of modern society. Specific Background: Many divorce cases arise due to infidelity and communication breakdown, creating challenges for legal and social resolution. Knowledge Gap: Few studies analyze court decisions comprehensively by combining Islamic law interpretation and legal practice. Aim: This study aims to examine marriage validity and divorce resolution from the perspective of Islamic law and statutory regulations. Results: The study reveals that court decisions are largely consistent with Islamic principles but highlight areas requiring better public understanding of legal grounds for divorce. Novelty: This research integrates legal analysis with social implications, providing a holistic view of divorce resolution. Implications: Findings suggest the need for strengthening legal literacy and counseling programs to reduce preventable divorce cases.

Highlights : 

  • Marriage validity and divorce law reviewed

  • Islamic law and legal practice integrated

  • Recommendations for counseling and education

Keyword: Marriage Law, Islamic Family Law, Divorce Resolution, Court Decision, Legal Analysis

Pendahuluan

Menurut UU Perkawinan No. 1 / 1974, perkawinan didefinisikan sebagai "ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." [1]. Sepanjang sejarah peradaban umat manusia, perkawinan memiliki kedudukan yang penting, sakral dan strategis. Khususnya bagi masyarakat Indonesia, arti penting perkawinan terletak pada landasan dan motivasi perkawinan.Konsep rumah tangga yang harmonis sebagai tujuan perkawinan, bersandar pada ajaran agama yang berdimensi jasmani dan rohani.

Kendati-pun tujuan perkawinan yakni untuk mewujudkan kebahagiaan, tapi tidak kurang juga perkawinan yang justru membawa nestapa dan berujung pada perceraian. Ketidakharmonisan pada perkawinan bisa dilihat sebagai bagian realitas kegagalan manusia pada beradaptasi dengan perubahan, pada akomodasi perbedaan, dan pada menetapi komitmen yang sudah disepakati.Pada hal ini, alasan yang lazim terjadi dari konsekuensi perceraian sendiri yakni perbuatan zina, meninggalkan satu dari banyak pihak tanpa kesepakatan, kekejaman (KDRT), perselisihan, dan lain-lain[2].Dengan hal tersebut, perceraian dipandang sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Terlebih Agama juga memberi ruang bagi adanya perceraian, kendati dengan penekanan bahwa perbuatan itu dibenci oleh Allah[3].

Asumsi bahwa perceraian yakni solusi cepat dan halal untuk mengatasi permasalahan hidup berumah tangga, menjadikan tingkat perceraian di Indonesia terbilang tinggi. Pada tahun 2021 terdapat 477.183 perkara yang diputus cerai di Pengadilan Agama (PA), meningkat menjadi 486.340 kasus di tahun 2022, dan turun menjadi 467.907 perkara pada tahun 2023[4]. Fenomena tingginya tingkat perceraian dan makin beragamnya alasan perceraian tersebut memperlihatkan dinamika dan kompleksitas permasalahan hidup masyarakat Indonesia hari ini. Hal itu terlihat dari perceraian di PA Sidoarjo, yang satu dari banyak alasannya yakni perselingkuhan. Di tahun 2021, dari 5.230 kasus perceraian di PA Sidoarjo, 124 kasus diantaranya yakni perceraian akibat perselingkuhan. Di tahun 2022 dari 5.185 kasus perceraian 114 diantaranya diakibatkan oleh perselingkuhan. Di tahun 2023 dari 4.711 kasus perceraian, 88 diakibatkan oleh perselingkuhan.

Tingginya angka perceraian dengan motif perselingkuhan di Pengadilan Agama Sidoarjo pada tiga tahun terakhir yakni sebuah fenomena yang menarik. Terlebih pada praktik perceraian di PA Sidoarjo juga terdapat perzinaan sebagai satu dari banyak alasan diputuskannya perceraian. Hal ini menarik mengingat kedudukan dan pemahaman atas konsep perselingkuhan sebagai dasar perceraian. Secara normatif, istilah selingkuh tidak tegas dan lugas dinyatakan sebagai dasar bagi bolehnya perceraian. Pemisahan ide selingkuh dari perzinaan sebagai alasan perceraian di PA Sidoarjo menghadirkan variasi baru pada daftar alasan yang mendorong perceraian selama ini terdapat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adanya putusan cerai yang didasarkan oleh adanya selingkuh di luar perzinaan menarik untuk dikaji lebih jauh, mengingat syari’at Islam memungkinkan adanya seorang laki-laki yang diperbolehkan menikah dengan beberapa wanita (poligami)[5].

Kajian atas relasi perselingkuhan dan perceraian telah dilaksanakan beberapa penulis pada berbagai bidang keilmuan.Pertama, M. Syaiful Amri pada tahun 2020 menulis “Mitsaqan Ghalidza: Studi Perceraian Sebab Media Sosial di Era Disrupsi”. Kajian keIslaman tersebut dilakukan secara deskriptif analitis pada perceraian keluarga muslim tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa relasi antara penggunaan sosial media dan perceraian terbilang tinggi. Penggunaan sosial media tanpa diimbangi pemahaman agama yang baik, menjadi sumber lahirnya perselingkuhan bisa memicu adanya perceraian[6].Kedua, Jurnal Rizqiyah Rosyidatul Azizah pada tahun 2021 dengan judul "Pola Pertimbangan Hakim dalam Keputusan Perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo". Jurnal ini membahas pola pertimbangan yang dipakai hakim saat memutus perkara perceraian, dengan fokus pada KDRT, tidak memberi nafkah kepada istri, dan perselisihan yang terus menerus. menerus[7].Ketiga, Nur Mayasari pada tahun 2021 menulis ‘’Tinjauan Yuridis Tentang Proses Penyelesaian Perkara perceraian sebab terjandinya Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus Yang Disebabkan Perselingkuhan (Studi putusan Pengadilan Agama Demak)’’hasil studi menunjukkan bahwa Hakim Pengadilan Agama Demak menyebut perselingkuhan sebagai satu dari banyak alasan retaknya hubungan keharmonisan rumah tangga.Artinya bahwa dengan terjadi perselingkuhan, akan muncul timbulnya konflik dan ketidaksepakatan.Dengan demikian, Pasal 116, huruf (f) KHI oleh hakim Pengadilan Agama Demak dianggap sebagai alasan perceraian[8]. Dari literatur tersebut penelitian sebelumnya dan penelitian ini sama-sama mempelajari bagaimana hakim memutuskan perkara perceraian, yang berbeda yakni subjek penelitian dan dasar hukum yang dipakai oleh hakim pada memutuskan kasus tersebut. .Selain itu pada literatur yang pertama belum menitikberatkan penelitianya pada perkara selingkuh, Jadi, titik tekan (stres) dari penelitian ini yakni landasan hukum nasional dan agama, serta pertimbangan hakim saat memutuskan perceraian sebab perselingkuhan pada keputusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 1934/Pdt.G/2021/PA.Sda, No. 2438/Pdt.G/2022/PA.Sda, dan No. 1153/Pdt.G/2023/PA.Sda.

Perceraian yang diakibatkan oleh adanya perselingkuhan sebenarnya tidak diatur secara konkret pada UU tertulis ataupun hukum islam di Indonesia, oleh sebab itu masih terdapat keraguan di pada masyarakat, sebenarnya apakah bisa perselingkuhan dijadikan sebagai alasan perceraian? .Melihat fenomena tersebut, penulis lantas melakukan penelitian di Pengadilan Agama Sidoarjo.Peneliti telah membuat beberapa rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas yaitu pertama, bagaimana pemaparan peselingkuhan pada perspektif hukum nasional maupun hukum agama di Indonesia?. Hal Ini dirancang untuk memberikan pemaparan yang utuh perihal hukum Indonesia mengatur perceraian, serta alasan-alasan yang memungkinkan sepasang suami istri melakukannya..Rumusan masalah yang kedua yakni bagaimana pertimbangan hakim pada memutuskan kasus perceraian oleh perselingkuhan, apakah benar jika perselingkuhan bisa dijadikan sebagai alasan yang kuat untuk sepasang suami istri bercerai? Diharapkan dengan penelitian yang dilakukan bisa memberikan pemahaman kepada warga negara Indonesia perihal kedudukan perselingkuhan sebagai dasar pengajuan gugatan perceraian atau pernyataan talak cerai dari pihak suami. Penelitian kali ini terfokus kepada pertimbangan hukum yang dibuat oleh hakim pada Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 1934/Pdt.G/2021/PA.Sda, No. 2438/Pdt.G/2022/PA.Sda, dan No. 1153/Pdt.G/2023/PA.Sda.

Metode

Metode penelitian yang dipakai pada studi ini yakni metode penelitian normatif dengan pendekatan konseptual. Penelitian ini melibatkan pemeriksaan konsep hukum, teori hukum, dan peraturan perUUan yang relevan. Pengumpulan data dilakukan melalui bahan hukum primer, seperti putusan pengadilan, Pasal 39 UU No. 1 / 1974, Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 / 1975, dan Pasal 116 huruf (f) KHI, serta sumber data sekunder seperti jurnal hukum. Selanjutnya, metode analisa data yang dipakai yakni analisa kualitatif. Setelah pengumpulan data, dilakukan penalaran deduktif, yang melibatkan pengumpulan data dari isu umum kemudian menarik kesimpulan untuk menyempitkan analisa ke arah aspek yang lebih khusus. Pada hal ini, beberapa pertimbangan hukum yang diberikan oleh hakim pada memutuskan kasus perceraian akibat perselingkuhan akan dianalisis, mengingat dasar hukum tertulis tidak mengatur secara eksplisit masalah tersebut, sehingga memberikan kebebasan kepada hakim untuk menginterpretasikan hukum. Analisa akan difokuskan pada apakah temuan hukum yang dibuat oleh hakim bertentangan dengan peraturan perUUan atau tidak.

Hasil dan Pembahasan

A. Konsep Hukum Tentang Perselingkuhan

Menurut pandangan dari Blow dan Hartnett, perselingkuhan didefinisikan "Tindakan seksual atau emosional yang dilakukan oleh satu dari banyak atau kedua individu yang terlibat dalam suatu hubungan yang bersifat komitmen dan dianggap sebagai pelanggaran pada kepercayaan atau norma-norma (baik yang terlihat maupun tidak terlihat) yang berkaitan dengan eksklusivitas emosional atau seksual”.[9]Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan "selingkuh" bisa berarti tidak jujur; curang; serong; dan suka menyeleweng’’[10].

Dalam prespektif psikologis, pandangan seseorang yang melakukan perselingkuhan dipengaruhi motivasi kebutuhan hubungan seksual dengan orang lain, hubungan seksual melalui internet (Cybersex), keintiman fisik dan emosional dengan yang bukan pasanganya. Selain telah melanggar sebuah kepercayaan pada hubungan dan kesepakatan pernikahan, berselingkuh diklaim berkaitan dengan eksklusivitas hubungan seksual yang mengebu-gebu dan obsesi pada mendapatkan kepuasan[11].Dalam situasi ini, moral, hukum nasional, dan hukum agama yakni bagian dari kontrol sosial yang berfungsi untuk mencegah adanya perilaku perselingkuhan. Pada hal ini, konsekuensi dari ketidaksesuaian pada skala medis, seperti penyebaran penyakit seksual menular seperti HIV, herpes, klamidia, dan hepatitis, serta penyakit menular lainya.

Secara konseptual, istilah perselingkuhan tidak terdapat pada struktur penormaan di Indonesia. Kendati demikian, jika merujuk pada konsep perselingkuhan sebagaimana dikemukakan Blow dan Hartnett diatas, secara normative perselingkuhan sejatinya memiliki kedekatan karakter dengan tindakan perzinahan. Sedangkan pada Pasal 411 ayat (1) UU No. 1 / 2023 tentang KUHP perzinahan didefinisikan sebagai “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidanakan karena perzinaan…”[12]. membandingkan definisi tersebut dengan definisi Blow dan Hartnett terntang perselingkuhan, maka lingkup pengertian perselingkuhan sejatinya lebih luas dibandingkan dengan perzinaan. Jika perzinaan hanya dibatasi pada hubungan seksual atau adanya persetubuhan diluar perkawinan, maka pada perselingkuhan juga melibatkan aktifitas atau hubungan emosional yang bersifat eksklusif yang melanggar komitmen hubungan dan bertentangan dengan kepatutan norma dan Nilai-nilai keadaban pada masyarakat.

Pada kehidupan sehari hari selingkuh identik dengan ketidakjujuran dan kontra akan kesetiaan pada sebuah hubungan.Menurut survey paling tidak ada 27.100.000 hasil pada 0.46 detik pada search engine tentang perselingkuhan[13]. Secara garis besar selingkuh digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu:

a. Selingkuh Fisik (Sexual affair)

Perselingkuhan fisik yakni perselingkuhan yang melibatkan kontak fisik dengan orang lain selain pada pasanganya yang bertujuan untuk mendapatkan kepuasan hasrat seksual[14].Perselingkuhan fisik bisa mencakup tindakan mencium, meraba, bergandengan tangan dan berhubungan suami intim.Secara umum perselingkuhan ini sangat mudah digolongkan dan diamati.Kendati demikian perselingkuhan fisik tidak selalu didasari oleh rasa cinta antara seseorang dengan selingkuhanya, hal ini dikarenakan sebagian besar perselingkuhan fisik hanya didasari oleh bergejolaknya hawa nafsu untuk berhubungan intim.Itu artinya , bisa jadi beberapa pasangan mungkin masih saja tetap mencintai pasangan aslinya.

b. Selingkuh Emosional (emosional affair)

Perselingkuhan emosional yakni keterikatan emosional seseorang yang sering kita sebut dengan cinta dan ketertarikan pada seseorang yang bukan pasanganya.Pada hal ini, perselingkuhan emosional tidak selalu melibatkan fisik dengan teman selingkuhanya[15].Tindakan tersebut bisa mencakup curhat, atau yang sering disebut dengan istilah ‘’deep talk ‘’ oleh generasi milenial.Perselingkuhan ini masih tampak abu abu di mata masyarakat, pasalnya banyak pasangan yang mengusung dalih ‘’Kan hanya teman, lagian kita juga ga ngapa ngapain’’.Pada umumnya ,laki laki maupun perempuan sering menyepelekan perselingkuhan emosional sebab mereka percaya itu yakni hal yang wajar.Tapi kendati demikian, perselingkuhan emosional bisa menjadi gerbang menuju perselingkuhan besar besaran atau bisa disebut perselingkuhan fisik jika tidak dihindari, sebab notabenya perselingkuhan ini melibatkan ikatan emosional yang kuat.

Dari pemaparan diatas terlihat bahwa secara konseptual istilah perselingkuhan (affair), pada ruang lingkup yang luas, tidak dikenal pada literatur hukum Indonesia. Baik pada UU KUHP maupun pada KHI sejatinya tidak dipakai dan dijelaskan definisi baku tentang selingkuh dan perselingkuhan. Secara teoritis pun, tidak bisa ditemukan adanya konsep “affair” sebagai bagian dari konsep hukum keperdataan[16]. Konsep selingkuh baru bisa masuk pada kajian keilmuan hukum, jika merujuk pada satu dari banyak bentuk spesifik dari konsep perselingkuhan, yakni perselingkuhan fisik (Sexual affair). Konsep perselingkuhan fisik juga tidak sepenuhnya bisa dipakai, mengingat pada konteks KUHP dan KHI, perselingkuhan fisik yang masuk pada konsep hukum yakni yang terkait dengan senggama atau persetubuhan yang dilakukan diluar hubungan pernikahan.

Merujuk pada definisi diatas, konsep perselingkuhan pada sistem hukum Indonesia wajib dilihat sebagai bentuk persetubuhan atau senggama yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah dengan lawan jenis diluar hubungan pernikahannya. Definisi tersebut sejatinya lebih merujuk pada konsep Perzinahan juga ditemukan pada UU KUHP lama, Pasal 284 KUHP, dan pada Pasal 116 KHI, huruf (a), yang berbunyi, "Salah satu pihak yang berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan”.

Adapun pada konsep UU KUHP yang baru yakni Pasal 411 UU No. (1) / 2023, perzinahan tidak selalu berada pada konteks perselingkuhan, sebab dimungkinkan dilakukan oleh mereka yang sama-sama belum terikat oleh pernikahan. Pada hal ini perkara hukum yang menimpa Ariel Peterpan bisa dilihat sebagai contoh yang relevan untuk menjelaskan perbedaan antara perselingkuhan dan perzinahan. Adapun pada konsep UU KUHP yang baru yakni Pasal 411 UU No. (1) / 2023, perzinahan tidak selalu berada pada konteks perselingkuhan, sebab dimungkinkan dilakukan oleh mereka yang sama-sama belum terikat oleh pernikahan. Pada hal ini perkara hukum yang menimpa Ariel Peterpan bisa dilihat sebagai contoh yang relevan untuk menjelaskan perbedaan antara perselingkuhan dan perzinahan.

Berhubungan dengan skandal Ariel Noah dengan Luna Maya dan Cut Tari, di mana pada hal ini mereka melakukan perselingkuhan fisik yang berkaitan dengan video asusila dan termasuk kedalam kategori perzinaan[17].Berbeda dari Ariel Noah yang melakukan selingkuh fisik, sosok publik figur Rendy Kjarnett dan Syahnaz Sadiqah melakukan perselingkuhan dengan media online yakni menggunakan aplikasi layanan ojek online untuk berkomunikasi secara akrab dengan panggilan suami istri[18]. Pada konteks ini, perselingkuhan yang dilakukan oleh Rendy Kjarnett dan Syahnaz Sadiqaq termasuk kedalam ranah perselingkuhan emosional, yang dimana para pihak merasa nyaman dan tertarik berkomunikasi maupun bertukar cerita dengan yang bukan pasanganya.

B. Perselingkuhan Sebagai Dasar Perceraian dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Islam

1. Dasar Perceraian dalam Perspektif Hukum Indonesia

Secara terminologis, istilah "perceraian" berasal dari kata "cerai", yang berarti "memisahkan", diikuti oleh kata "per", yang berfungsi sebagai kata benda abstrak, dan akhirnya menjadi "perceraian", yang mengacu pada hasil dari tindakan menceraikan. Jika suami dan istri tidak bisa menjaga keharmonisan rumah tangga mereka, hubungan mereka berakhir dengan perceraian. Pasal 38 UU Perkawinan No. 1 / 1974 merujuk pada istilah ini dan menegaskan bahwa perkawinan bisa diakhiri sebab tiga alasan:

1. Kematian

2. Perceraian

3. Atas putusan pengadilan[19].

Setiap terjadinya perceraian tentu wajib didasari alasan yang jelas baik dari pihak suami atau istri sebab pada hakikatnya perkawinan yakni sebuah responsif di mata Tuhan Yang Maha Esa.Perkawinan yang putus akibat perceraian bisa disebabkan oleh beberapa alasan yang diatur kemudian di pada penjelasan Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 / 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa "Untuk melaksanakan perceraian harus ada alasan yang cukup yaitu antara suami isteri tidak akan hidup rukun sebagai suami istreri." Pemaparan Pasal 39 ayat 2 dan Pasal 19 PP No. 9 / 1975 menyatakan bahwa

"alasan yang bisa dijadikan dasar untuk perceraian yakni:"

a. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuanya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri;

f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisishan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga [20].

Selain itu, hukum keluarga Islam yang dikenal sebagai KHI mengatur perceraian bagi pasangan suami istri yang beragama islam. Selain itu, Pasal 114 KHI menyatakan bahwa "putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.". Artinya, proses perceraian yang diakui secara sah oleh hukum dan negara dilakukan oleh suami melalui Pengadilan Agama. Kode Hukum Islam hanya berlaku bagi umat Islam, sehingga perceraian hanya bisa diajukan di Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal masing-masing pihak yang terlibat. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam mengatur alasan-alasan yang bisa menyebabkan perceraian:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuanya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau isteri;

d. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

e. Suami melanggar taklik talak;

f. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga[21].

Melihat dari pemaparan yang telah disinggung diatas, baik ditinjau dari UU Perkawinan dan KHI jika dikaitkan dengan perselingkuhan maka kedudukan hal tersebut lebih condong dengan perbuatan zina. Meskipun demikian, pada hukum Indonesia juga tidak memaparkan secara tegas dan tertulis pada perUUan, sebab pada konteks ini perselingkuhan dimasukkan kedalam alasan pemicu retaknya sebuah rumah tangga.Perselingkuhan sendiri juga dikaitkan dengan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dari kedua belah pihak, yang bisa menjadi titik tolak bagi pihak suami atau istri untuk melayangkan gugatan perceraian maupun talak.Sebab jika perkawinan tersebut masih tetap dipertahankan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa rumah tangga akan mengalami kerusakan. Pada hal ini, berarti perselingkuhan tidak bisa menjadi alasan mutlak sebuah percerain , tetapi sifatnya hanya memperjelas alasan tambahan yang disebutkan pada UU Perkawinan dan KHI.

2. Dasar Perceraian Pada Pandangan Islam

Pada hukum Islam atau fiqih munakahat, istilah "talak" dan "khuluk" merujuk pada perceraian yang diinisiasi oleh suami, sementara "khuluk" mengacu pada perceraian yang diinisiasi oleh istri. Secara terminologi, talak berarti melepaskan ikatan pernikahan, sementara khuluk yakni permohonan cerai yang diajukan oleh istri dengan membayar sejumlah uang tebusan.[22]

Ada beragam bentuk talak, termasuk talak sunni dan bid'i, talak ba'in dan raji', talak sarih dan kinayah, munjaz dan mu'allaq, talak takhyir dan tamlik, talak wakalah dan kitabah, talak dengan pengharaman, dan talak haram[23]. Sebagaimana yang disampaikan pada sebuah riwayat hadis yang dilaporkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim,Allah sangat membenci perbuatan talak di antara halal yang diperbolehkan. Secara prinsip, talak dianggap sebagai perbuatan yang tidak disukai (makruh)[24]. Penegasan ini didukung oleh hadis lain yang dilaporkan oleh Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, yang menyatakan bahwa bagi wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka bau surga haram baginya. Meskipun demikian, walaupun tidak ada ayat pada Al-Qur'an yang memerintahkan atau melarang perceraian, tapi terdapat ayat yang mendorong untuk menikah. Banyak ayat Al-Qur'an yang mengatur tentang thalaq, tetapi kontennya hanya menentukan kapan wajib terjadi, baik itu arah atau larangan. Menurut beberapa ayat Al-Qur'an, jika seorang pria ingin menceraikan istrinya, ia wajib menunggu sampai masuk masa iddah, seperti yang disebutkan pada QS. Thalaq ayat 1, yang berbunyi “Hai Nabi, jika kamu menceraikan istrimu, maka hendaklah kamu menceraikannya pada waktu yang mereka menghadapi masa iddahnya yang wajar”, dan juga larangan yang dinyatakan oleh Allah pada QS. Al-Baqarah ayat 232, yang menyatakan “Jika kamu menceraikan istrimu, dan mereka telah selesai masa iddahnya, maka janganlah para wali menghalangi mereka untuk menikah kembali dengan calon suaminya”.

Apabila dikaitkan dengan perselingkuhan, perceraian yang disebabkan perselingkuhan dalam islam memiliki kedekatan karakter dengan perzinaan, yang dalam hal ini termaktub pada ketentuan QS Al-Israa ayat;32 yang menyatakan bahwa sebagai seorang muslim dilarang mendekati perbuatan yang keji yakni perzinaan[25]. Perbuatan selingkuh dapat pula disejajarkan dengan perbuatan nusyuz, yaitu perbuatan meninggalkan kewajiban suami isteri[26]. Contoh nusyuz dari pihak isteri adalah meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, sedangkan nusyuz dari pihak suami adalah bersikap kasar terhadap isterinya, misalnya tidak mau menggaulinya atau memberikan haknya. Dalam hal ini juga diperkuat oleh ketentuan dari ayat Al Quran yaitu pada QS. An-Nisaa ;34 dan 128[27]. Pada dasarnya, selingkuh berarti suami atau isteri tidak jujur dalam hubungan bersuami isteri atau ikatan perkawinan, yang biasanya ditunjukkan dengan adanya PIL (pria idaman lain) atau WIL (wanita idaman lain) di masyarakat. Islam, sebagai agama yang luas, mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Syariat Islam memungkinkan dan melarang hubungan antara laki-laki dan perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, dengan orang lain yang bukan pasangannya. Syariat Islam membenarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak mengandung unsur perselingkuhan, perbuatan mendekati zina, dan perzinaan. Sebaliknya, melarang hubungan antara laki-laki dan perempuan yang mengandung unsur perselingkuhan, perbuatan mendekati zina, dan perzinaan.

Melalui institusi pernikahan, Allah SWT menginginkan supaya manusia bisa menjalani kehidupan di dunia ini pada suasana yang penuh dengan kedamaian. Tapi, tidak selalu pasangan suami istri bisa menjaga keharmonisan pada hubungan mereka. Terkadang, konflik-konflik yang sulit dihindari terjadi, yang bisa mengarah pada kekerasan yang membahayakan nyawa istri, suami, dan anak-anak mereka. Konflik tersebut tidak hanya berdampak pada hubungan suami istri, tetapi juga merambat ke lingkup keluarga yang lebih luas, sehingga rumah tangga tidak lagi menjadi tempat yang nyaman dan aman, melainkan menjadi ancaman. Meskipun Allah SWT telah memperbolehkan perceraian dan memberikan hak talak kepada suami, tapi suami tidak boleh menggunakan hak talaknya tanpa alasan yang jelas. Hak-hak istri, anak, dan suami istri akan dilindungi pada proses perceraian yang dijalankan melalui proses hukum. Oleh sebab itu, jika perceraian dianggap sebagai solusi, maka proses talak wajib dilakukan secara resmi di hadapan lembaga pengadilan. Sebagai contoh, jika seorang suami menceraikan istrinya di pengadilan, pengadilan akan menetapkan bahwa suami wajib membayar uang iddah, uang mut'ah, maskawin, biaya anak-anak, dan biaya lainnya sesuai dengan kemampuannya. Keputusan pengadilan akan membuat suami tidak bisa menghindar dari tanggung jawab tersebut.

C. Perselingkuhan Sebagai Dasar Perceraian Di Indonesia.

Belakangan ini banyak kasus perselingkuhan hingga menyebabkan keretakan rumah tangga atau perceraian.Di Pengadilan Agama Sidoarjo pada tahun tahun 2021, dari 5.230 kasus perceraian di PA Sidoarjo, 124 kasus diantaranya yakni perceraian akibat perselingkuhan. Di tahun 2022 dari 5.185 kasus perceraian 114 diantaranya diakibatkan oleh perselingkuhan. Di tahun 2023 dari 4.711 kasus perceraian, 88 diakibatkan oleh perselingkuhan.Eksistensi perceraian yang disebabkan perbuatan selingkuh selain lunturnya keharmonisan rumah tangga, hilangnya kepercayaan dan komitmen, juga bisa menjadi bom yang bisa meledak kapan saja pada sebuah bahtera rumah tangga. Secara konseptual, istilah perselingkuhan tidak terdapat pada struktur penormaan di Indonesia. Kendati demikian, jika merujuk pada konsep perselingkuhan sebagaimana dikemukakan diatas, secara normatif perselingkuhan sejatinya memiliki kedekatan karakter dengan tindakan perzinahan. Sedangkan Pasal 411 (1) UU No. 1 / 2023 tentang KUHP mengatakan, “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidanakan sebab perzinaan…”[28]. Karenanya, meskipun UU di Indonesia tidak secara spesifik mengatur perselingkuhan, tapi poin (a) hingga (f) dari Pasal 19 PP / 1975 dan poin (a) hingga (h) dari Pasal 116 KHI dapat dijadikan acuan. Perselingkuhan sendiri sering kali dihubungkan dengan perilaku yang merugikan dan terus-menerus yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Dampaknya, suami atau istri bisa menggunakan situasi tersebut sebagai alasan untuk mengajukan perceraian atau talak. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan adanya kerusakan pada rumah tangga jika pernikahan dipertahankan.Dalam hal Ini menegaskan bahwa perselingkuhan bukanlah alasan tunggal untuk perceraian pada konteks ini. Sebaliknya, hal ini hanya memperkuat alasan-alasan lain yang telah diatur pada UU Perkawinan dan KHI. Pada hal ini, keputusan yang diambil oleh Pengadilan Agama Sidoarjo selama tiga tahun terakhir, mulai dari tahun 2021 hingga 2023, bisa dipakai sebagai panduan bagi hakim pada menyelesaikan kasus perceraian yang berakar dari perselingkuhan.

a. Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 1934/Pdt.G/2021/PA.Sda

Penggugat, seorang wanita berusia 43 tahun yang beragama Islam dan bekerja sebagai karyawan swasta, tinggal di Kabupaten Sidoarjo, mengajukan gugatan melawan tergugat, seorang pria berusia 33 tahun yang juga bekerja sebagai karyawan swasta dan tinggal di Kabupaten Sidoarjo. Penggugat yakni istri sah dari tergugat. Pernikahan mereka dilangsungkan pada tanggal 19 Juli 2009 di Kantor Urusan Agama Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur, dengan nomor kutipan akta nikah 385/76/VII/2009.

1. Duduk Perkara

Penggugat dan tergugat tinggal bersama di rumah penggugat di Sidoarjo setelah menikah dan menjalin hubungan asmara, tetapi tidak memiliki anak. Pada awal pernikahan, rumah tangga mereka berjalan dengan damai dan harmonis. Tapi, sejak April 2016, keadaan rumah tangga mereka mulai memburuk sebab tergugat terlibat pada perselingkuhan dengan seorang wanita lain yang tinggal di kampung halamannya. Setelah penggugat mengetahui tentang perselingkuhan tersebut, tergugat dan penggugat terlibat pada pertengkaran yang serius, dan tergugat gagal memberikan nafkah kepada penggugat selama lebih dari enam bulan. Akibatnya, terjadi konflik dan pertengkaran yang berlarut-larut, meskipun penggugat berusaha mempertahankan ketenangan pada rumah tangganya. Tapi, pada akhirnya, penggugat tidak lagi mampu bertahan. Meskipun telah mencoba berunding dengan keluarga penggugat dan tergugat untuk mencari solusi, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penggugat memenuhi syarat yang diatur pada Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 / 1975, jo. Pasal 116 huruf (f) KHI untuk mengajukan gugatan perceraian pada tergugat sebab tidak mungkin untuk hidup rukun pada ikatan perkawinan. Oleh sebab itu, gugatan cerai dianggap sah. Gugatan perceraian ini telah memenuhi persyaratan yang tercantum pada Pasal 19 huruf (f) PP / 1975, serta Pasal 116 huruf (f) KHI di Indonesia / 1991.

2. Pertimbangan Hukum

Demi mematuhi ketentuan Pasal 130 HIR, serta Pasal 82 ayat (1) dan (4) UU No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP No. 9 / 1975, Majelis Hakim mengusulkan supaya Penggugat berdamai dan memulihkan kerukunan sebagai suami istri dengan Tergugat selama persidangan. Tapi, upaya tersebut tidak berhasil. Pada gugatannya, Penggugat menyatakan bahwa tempat tinggalnya berada di wilayah hukum Pengadilan Agama Sidoarjo, sehingga menurut Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 / 1989, kasus tersebut berada pada yurisdiksi Pengadilan Agama Sidoarjo. Terdapat seringnya perselisihan dan konflik antara Penggugat dan Tergugat, yang disebabkan oleh perselingkuhan, seperti yang diungkapkan oleh saksi I dan II. Hal ini menunjukkan bahwa Tergugat telah meninggalkan Penggugat, dan keduanya telah berpisah selama enam tahun. Sebagaimana dinyatakan pada Al-Qur'an surat Ar Rum ayat 21 dan pasal 1 UU No. 1 / 1974 Jo. pasal 3 KHI, tujuan pernikahan yakni untuk membentuk rumah tangga yang harmonis. Tapi, pada kondisi rumah tangga Penggugat dan Tergugat, tujuan ini sulit terwujud. Berdasarkan pertimbangan tersebut, gugatan Penggugat sesuai dengan persyaratan Pasal 39 UU No. 1 / 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) dan PP No. 9 / 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI. Oleh sebab itu, permintaan Penggugat supaya Pengadilan menjatuhkan talak satu bain sugro pada Tergugat diterima. Putusan ini dibuat pada sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo pada hari Jumat tanggal 11 Juni 2021 Masehi, bertepatan dengan tanggal 30 Syawal 1442 Hijriyah, dihadiri oleh Drs. Akramudin, M.H., sebagai Ketua Majelis dan Dra. Hj. Nur Fadhilatin, M.H., sebagai Hakim Anggota. Putusan ini juga dibacakan pada sidang terbuka untuk umum pada hari yang sama, dengan bantuan Dini Aulia Safitri, S.H.

3. Amar Putusan

Majelis Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo mengabulkan gugatan yang diajukan oleh penggugat dan menjatuhkan talak satu ba'in sughro kepada penggugat pada kasus ini. Meskipun tergugat telah diundang secara resmi dan berhak untuk menghadiri sidang, tapi tergugat tidak menghadiri Pengadilan Agama Sidoarjo dengan didampingi kuasanya pada hari sidang yang telah ditetapkan. Selain itu, tergugat tidak menunjuk wakil tanpa alasan yang sah untuk hadir menggantikannya. Ini terjadi meskipun tergugat telah diundang secara sah untuk hadir di sidang dengan didampingi kuasanya. Sebab tidak ada kehadiran tergugat di sidang, mediasi tidak bisa dilakukan. Saat sidang berlangsung, hakim menyarankan supaya penggugat dan tergugat mencoba untuk berdamai dan kembali hidup sebagai suami dan istri, tetapi upaya tersebut tidak berhasil. Setelah itu, sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan oleh penggugat, yang kemudian dipertahankan oleh penggugat.

Berdasarkan fakta persidangan dan pertimbangan hakim diatas, dapat dilihat bahwa perselingkuhan sebagai sebab perceraian tidak secara spesifik diletakkan sebagai dasar putusan Hakim. Hakim dalam pertimbangannya meletakkan perselingkuhan sebagai faktor utama penyebab retaknya hubungan suami istri. Pertikaian secara berulang dan fakta suami meninggalkan rumah dan tidak menjalankan kewajiban rumah tangganya, dilihat sebagai dampak dari perselingkuhan yang dilakukan oleh suami. Sikap Hakim untuk tidak secara langsung mendasarkan putusan cerainya pada perselingkuhan, bukan berarti Hakim tidak mempertimbangkan fakta perselingkuhan itu sebagai sebab perceraian. Sikap Hakim tersebut dapat dilihat sebagai konsekwensi dari tidak adanya norma hukum yang secara spesifik meletakkah perselingkuhan sebagai dasar perceraian, sehingga Hakim harus menggunakan dasar hukum yang secara substantive mendekati.

Digunakannya ketentuan pada Pasal 39 UU No. 1 / 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 / 1975 jo. dan Pasal 116 huruf (f) KHI, adalah sikap moderat yang mampu mengakomodasi tuntutan dari Penggugat, dengan memungkinkan proses persidangan yang lebih cepat dan mudah bagi para pihak. Penggunaan Pasal 116 huruf (f) KHI tidak menuntut adanya beban pembuktian tertentu, mengingat alat bukti dapat didapat secara lebih mudah. Kondisi tentunya berbeda jika Hakim mempertimbangkan untuk menggunakan Pasal 116 huruf (a), yang meletakkan perzinahan sebagai dasar bagi perceraian. Penggunaan ketentuan huruf (a) tersebut tentunya harus diikuti dengan adanya proses pembuktian yang lebih rumit dan tidak mudah.

Secara teoritis, Hakim dalam putusannya tersebut berorientasi pada pemenuhan prinsip kepastian hukum dan asas peradilan yang cepat, mudah dan murah. Hakim dalam konteks ini meletakkan perselingkuhan dan perzinahan sebagai dua fakta yang berbeda. Pilihan Hakim tersebut mempertimbangkan aspek beban pembuktian. Dalam perkara ini, Hakim mengidentifikasi perselingkuhan sebagai bentuk relasi sosial yang menyimpang, bukan tindakan asusila layaknya perzinahan yang masuk dalam klasifikasi tindakan pidana. Oleh karenanya, perselingkuhan hanya menjadi fakta sosial yang dibuktikan dengan adanya pertikaian, percekcokan dan tindakan meninggalkan pasangan.

b. Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2438/Pdt.G/2022/PA.Sda

Pemohon, seorang pria berusia 46 tahun dan beragama Islam, bertugas di TNI AL dan bertempat tinggal di Kabupaten Sidoarjo. Termohon, seorang wanita berusia 38 tahun, bekerja sebagai karyawan swasta dan tinggal di Kabupaten Sidoarjo. Pemohon dan termohon telah menjalani pernikahan pada tanggal 3 Juni 2005, yang tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, dengan Kutipan Akta Nikah No.: 594/12/VI/2005.

1. Duduk Perkara

Setelah menikah, pemohon dan termohon tinggal bersama sebagai pasangan di Kelurahan Sidokare, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, kemudian pindah ke Desa Kramatjegu, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, dan memiliki 2 (dua) anak. Awalnya, kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon berjalan lancar. Tapi, sejak pertengahan tahun 2018, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran antara keduanya. Perselisihan ini dipicu oleh dugaan perselingkuhan termohon dengan pria lain dan masalah keuangan yang terus menerus. Pada pertengahan tahun 2018, termohon meninggalkan rumah tanpa izin dari pemohon, dan sejak itu perselisihan antara mereka semakin meningkat. Pemohon tinggal di Desa Kramatjegu, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, sementara termohon tinggal di Kota Surabaya. Perselisihan ini masih berlanjut hingga saat gugatan diajukan di Pengadilan Agama Sidoarjo.

Pengadilan Agama Sidoarjo memutuskan bahwa sebagai ayah kandung anak, pemohon wajib bertanggung jawab atas pendidikan dan asuhan anak-anaknya, yaitu ANAK I, yang lahir di Surabaya pada 31 Mei 2006 dan berusia 16 tahun, dan ANAK II, yang lahir di Surabaya pada 10 Januari 2010 dan berusia 12 tahun. Mengingat bahwa pemohon merasa tidak lagi bisa hidup harmonis dengan termohon, pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama Sidoarjo untuk memberikan izin untuk mengucapkan ikrar talak pada termohon.

2. Pertimbangan Hukum

Untuk memenuhi tujuan Pasal 130 HIR, khususnya Pasal 82 ayat (1) dan (4) pada UU No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama, serta Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP No. 9 / 1975, Majelis Hakim menyarankan Pemohon untuk berdamai dan kembali rukun sebagai suami istri bersama Termohon selama persidangan. Tapi, upaya tersebut tidak berhasil. Pada permohonannya, Pemohon menyatakan bahwa tempat tinggal Termohon berada di wilayah hukum Pengadilan Agama Sidoarjo. Oleh sebab itu, berdasarkan Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama yang bersesuaian dengan Pasal 118 HIR, perkara a quo berada pada kewenangannya secara relatif. Pada situasi ini, Pemohon mengklaim telah menikah dengan Termohon menurut hukum Islam, dan sebab sering terjadi pertengkaran, Pemohon meminta Pengadilan Agama Sidoarjo untuk memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj'i pada Termohon di hadapan Pengadilan Agama Sidoarjo. Dengan dasar Pasal 39 dan Pasal 66 ayat (1) UU No. 1 / 1974 tentang Perkawinan, serta Pasal 66 ayat (1) UU No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama, Pemohon telah menyerahkan bukti tertulis, yakni Bukti P-1, P-2, dan P-3, serta saksi I dan saksi II, yang akan dibahas lebih lanjut. Berdasarkan Pasal 76 UU No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 171 HIR, dan Pasal 22 PP No. 9 / 1975, keterangan saksi 1 dan 2 pemohon tersebut memenuhi syarat sebagai saksi formal. Keterangan saksi tersebut dianggap sebagai bukti yang sah dan bisa diterima jika berkaitan dengan hal-hal yang dilihat atau dialami secara pribadi. Dengan bukti dari keterangan saksi 1 dan saksi II yang saling mendukung, bahwa pada rumah tangga Pemohon dan Termohon sering terjadi perselisihan dan pertengkaran. Terbukti juga bahwa alasan pertengkaran antara Pemohon dan Termohon yakni sebab Termohon diduga memiliki selingkuh dengan orang lain dan telah menikah secara siri. Selain itu, Termohon selalu mengalami kekurangan gaji dan meninggalkan rumah tanpa izin Pemohon sejak pertengahan tahun 2018 hingga kini. Diketahui bahwa pernikahan menurut Al-Qur'an surat Ar Rum ayat 21 dan pasal 1 UU No. 1 / 1974 Jo. pasal 3 KHI bertujuan untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tapi, dengan kondisi rumah tangga Pemohon dan Termohon, tujuan ini menjadi sulit untuk dicapai. Dengan demikian, permohonan Pemohon memiliki dasar yang kuat dan memenuhi persyaratan Pasal 39 UU No. 1 / 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 / 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI. Oleh sebab itu, petisi Pemohon supaya Pengadilan Agama Sidoarjo memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj'i pada Termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Sidoarjo bisa diterima. Keputusan ini diambil pada sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo pada hari Kamis, 28 Juli 2022 Masehi, yang bertepatan dengan tanggal 30 Zulhijah 1443 Hijriyah. Ridwan, S.H., bertindak sebagai Ketua Majelis, dan Drs. Ahmad Khoiron dan Drs. H. Ilmi, bertindak sebagai Hakim Anggota. Putusan ini dibacakan oleh Majelis pada sidang terbuka untuk umum pada hari yang sama, dengan kehadiran Pemohon dan tanpa kehadiran Termohon.

3. Amar Putusan

Pada kasus ini, Majelis Hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk bercerai talak. Pemohon juga diberi izin untuk mengucapkan ikrar talak pada Termohon di hadapan Pengadilan Agama Sidoarjo. Majelis Hakim menetapkan bahwa anak-anak, ANAK I yang lahir pada tanggal 31 Mei 2006 di Surabaya, dan ANAK II yang lahir pada tanggal 10 Januari 2010 di Surabaya, masing-masing berusia 16 tahun dan 12 tahun, akan diasuh oleh Pemohon (ayah kandungnya). Pemohon hadir di persidangan pada hari yang ditetapkan, tetapi Termohon tidak hadir dan tidak memberikan wakil tanpa alasan yang sah, meskipun panggilan untuk tanggal 06 Juli 2022 dan 15 Juli 2022 telah dilakukan secara sah. Sebab Termohon tidak hadir pada persidangan, mediasi tidak bisa dilakukan. Selama persidangan, hakim menyarankan Pemohon untuk berdamai dan kembali menjadi suami istri dengan Termohon, tetapi upaya ini tidak berhasil.

Fakta persidangan dan keputusan hakim di atas menunjukkan bahwa mereka tidak secara eksplisit menganggap perselingkuhan sebagai alasan perceraian. Sebaliknya, mereka melihat perselingkuhan sebagai faktor utama yang menyebabkan hubungan suami istri runtuh, termasuk pertikaian berulang dan keengganan istri untuk memenuhi kewajiban rumah tangga. Hakim tidak mempertimbangkan perselingkuhan sebagai alasan perceraian karena sikapnya untuk tidak secara langsung mendasarkan keputusan cerainya pada hal itu. Ada kemungkinan bahwa sikap Hakim tersebut berasal dari fakta bahwa tidak ada undang-undang yang secara eksplisit menetapkan perselingkuhan sebagai dasar perceraian, sehingga Hakim harus menggunakan dasar hukum yang secara substantive serupa.

Penggunaan Pasal 39 UU No. 1 / 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 / 1975 jo. dan Pasal 116 huruf (f) KHI adalah sikap moderat yang mampu mengakomodasi tuntutan Penggugat dan memungkinkan proses persidangan yang lebih cepat dan mudah bagi kedua belah pihak. Pasal 116 huruf (f) KHI tidak menuntut beban pembuktian tertentu, karena alat bukti dapat diperoleh dengan mudah.

Secara teoritis, tujuan hakim adalah untuk memastikan kepastian hukum dan asas peradilan yang lebih efektif dan efisien. Hakim dalam kasus ini membedakan perselingkuhan dan perzinahan dari satu sama lain karena beban pembuktian. Hakim mengidentifikasi perselingkuhan dalam kasus ini sebagai jenis relasi sosial yang menyimpang daripada tindakan asusila seperti perzinahan, yang merupakan kategori tindakan pidana. Oleh karena itu, perselingkuhan hanyalah fakta sosial yang ditunjukkan dengan perselisihan, percekcokan, dan tindakan meninggalkan pasangan.

c. Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 1153/Pdt.G/2023/PA.Sda

Tergugat (istri), yang berusia 36 tahun, bekerja sebagai karyawan swasta dan tinggal di Kabupaten Sidoarjo, memiliki agama Islam. Sedangkan pemohon (suami), yang berusia 42 tahun, juga tinggal di Kabupaten Sidoarjo. Pernikahan mereka dilangsungkan pada tanggal 19 Oktober 2006 dan didaftarkan oleh Kepala Pejabat Agama Kabupaten Taman Provinsi Jawa Timur, sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor: XXXXXXX (dokumen terlampir).

1. Duduk Perkara

Setelah menikah, pemohon dan termohon tinggal bersama di rumah yang sama di Kabupaten Sidoarjo selama sekitar 15 tahun. Selama masa pernikahan mereka, mereka telah diberkati dengan tiga orang anak. Awalnya, kehidupan rumah tangga mereka berjalan seperti biasa. Tapi, sejak bulan Juli 2020, rumah tangga mereka mulai bergejolak dan sering terjadi pertengkaran. Masalah ini mencapai puncaknya pada akhir Maret 2022 sebab diketahui bahwa termohon telah berselingkuh dengan seorang pria yang dikenal sebagai Pria Idaman Lain (P.I.L), dan hubungan itu berlangsung sekitar satu tahun, dimulai sejak tahun 2021. Termohon telah mengusir Pemohon/suami dari rumah, pada bulan Maret tahun 2022.Pemohon akhirnya mengalah dan merasa tidak sanggup atas semua perlakuan Termohon, walaupun Pemohon sudah memberikan waktunya untuk Termohon dan anaknya, atas semua kejadian pada rumah tangga, hal ini mengakibatkan Pemohon memutuskan perceraian yakni jalan terbaik bagi Pemohon dan Termohon. Berdasarkan uraian tersebut, rumah tangga pemohon dan termohon tidak lagi memenuhi tujuan perkawinan sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 1 UU No. 1 / 1974 tentang perkawinan, yang menekankan pembentukan keluarga yang bahagia. Tapi, upaya tersebut tidak berhasil, sehingga pemohon tidak lagi mampu melanjutkan hidup bersama termohon. Lebih lanjut, pemutusan perkawinan, sesuai dengan Pasal 38 dan 40 UU No. 1 / 1974 tentang perkawinan, bisa dilakukan melalui keputusan dan pengajuan kepada Pengadilan. Oleh sebab itu, pemohon memohon kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara ini untuk memutuskan pemisahan atau perceraian perkawinan ini.

2. Pertimbangan Hukum

Pemohon telah memberikan kuasa kepada SUSANTO, SH., MUH. SYAH PERWIRO NEGORO, S.H., dan SAPTO JUNAEDI, S.H., Advokat yang berkantor di Jl. Dr. Wahidin A-07 Sekardangan, Sidoarjo, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 20 Maret 2023. Surat kuasa khusus tersebut telah memenuhi persyaratan formal dan materiil, sehingga Majelis Hakim memandang bahwa surat kuasa khusus tersebut sah dan penerima kuasa dianggap memiliki kapasitas hukum untuk bertindak atas nama pemberi kuasa pada menghadapi perkara ini. Pemohon dan Termohon beragama Islam dan tinggal di wilayah Kabupaten Sidoarjo, sehingga berdasarkan Pasal 49 ayat (1) jo. Pasal 66 ayat (1 dan 2) UU No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama, perkara ini yakni kewenangan Pengadilan Agama Sidoarjo. Meskipun Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan pihak Pemohon dan Termohon untuk kembali rukun, upaya tersebut tidak berhasil. Alasan utama Pemohon mengajukan cerai talak yakni ketidakharmonisan rumah tangga yang disebabkan oleh perselingkuhan Termohon dengan seseorang yang bernama PIL, serta perilaku Termohon yang tidak patuh dan bahkan mengusir Pemohon dari rumah pada bulan Maret 2022. Dua saksi yang diajukan oleh Pemohon, yang yakni orang dekat dengan kedua belah pihak, memberikan keterangan yang sesuai dengan keyakinan agama mereka dan diyakini mengetahui keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon. Keterangan mereka dianggap memenuhi syarat pembuktian dan relevan untuk mempertimbangkan kasus ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut, permohonan Pemohon untuk mendapatkan izin untuk menyampaikan talak raj'i memenuhi ketentuan pada KHI, sebab Pemohon belum pernah menjatuhkan talak sebelumnya. Oleh sebab itu, permohonan tersebut layak dikabulkan dengan putusan verstek. Keputusan ini diambil pada rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Rabu tanggal 05 April 2023 Masehi, yang bertepatan dengan tanggal 14 Ramadhan 1444 Hijriah, oleh Drs. Abd. Rauf sebagai Ketua Majelis, Drs. M. Shohih, S.H., M.H. dan Drs. Muhlis, S.H., M.H. sebagai Hakim Anggota. Putusan tersebut diumumkan pada sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut, didampingi oleh Hakim-Hakim Anggota dan dibantu oleh Siti Hauroh Zubaidah, S.H.I., M.H. sebagai Panitera Pengganti, dengan kehadiran kuasa Pemohon tanpa kehadiran Termohon.

3. Amar Putusan

Pada konteks ini, Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan oleh pemohon. Memberikan wewenang kepada pemohon untuk menyampaikan ikrar talak satu raj’i pada termohon di hadapan Pengadilan Agama Sidoarjo. Pemohon telah memberikan kuasa kepada SUSANTO, SH., MUH. SYAH PERWIRO NEGORO, S.H., dan SAPTO JUNAEDI, S.H., sebagai pengacara yang beralamat di Jl. Dr. Wahidin A-07 Sekardangan, Sidoarjo, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 20 Maret 2023, yang setelah diperiksa, memenuhi syarat formal dan materiil. Pemohon telah hadir pada persidangan yang telah ditetapkan, sementara termohon tidak hadir atau memberikan kuasa kepada orang lain sebagai wakil yang sah, meskipun telah dipanggil secara resmi dan layak, dan tidak ada alasan yang sah untuk ketidakhadirannya. Upaya mediasi tidak bisa dilakukan sebab termohon tidak pernah hadir pada persidangan. Oleh sebab itu, pemeriksaan perkara dilakukan pada sidang tertutup untuk umum dengan pembacaan surat permohonan pemohon yang isi dan maksudnya tetap dipertahankan oleh pemohon. Sebab termohon atau kuasanya yang sah tidak pernah hadir pada persidangan, jawaban termohon atas permohonan pemohon tidak bisa diterima.

Berdasarkan fakta persidangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakim telah mengambil keputusan yang adil dan sesuai dengan hukum. Ada alasan yang kuat untuk mengabulkan permohonan cerai karena perselingkuhan yang dilakukan oleh Termohon merupakan pelanggaran serius terhadap komitmen pernikahan. Namun demikian, dari proses persidangan terlihat bahwa hakim tidak secara serius melakukan proses penelusuran terkait bukti perselingkuhan yang dilakukan. Hal ini menyiratkan adanya penyederhanaan proses pembuktian atas perselingkuhan. Realitas yang disampaikan Pemohon cukup difahami sebagai tindakan menjalin hubungan percintaan dengan lelaki lain, yang memicu pertengkaran hingga tidankan pengusiran dari rumah.

Putusan Hakim untuk memutuskan cerai adalah berkaitan dengan tidak lagi terpenuhinya tujuan perkawinan sebagaimana dalam penjelasan Pasal 1 UU No. 1 / 1974, khususnya terkait pembentukan keluarga yang bahagia. Sikap hakim yang mengabulkan gugatan Penggugat lebih didasarkan atas fakta bahwa hubungan pasangan tersebut telah rusak dan sulit untuk dipulihkan. Dalam hal ini Hakim menilai paparan kesaksian perihal realitas perselingkuhan dan pertengkaran rumah tangga oleh pemohon sebagai reaitas obyektif yang dapat dipandang sebagai kebenaran yang meyakinkan tanpa proses pembuktian lebih lanjut.

Selayaknya dalam perkara sebelumnya, terlihat bahwa hakim memandang perselingkuhan sebagai jenis relasi sosial yang menyimpang daripada tindakan asusila seperti perzinahan, yang merupakan kategori tindakan pidana. karenanya, perselingkuhan dinilai fakta sosial yang eksistensinya sebagai dasar bagi putusan cerai ditunjukkan dengan pertengkaran, percekcokan yang terus menerus, dan tindakan meninggalkan pasangan dengan pria atau wanita lain yang bukan pasangan sahnya.

No Perkara Pertimbangan putusan Makna perceraian Kedudukan perselingkuhan
1 Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 1934/Pdt.G/2021/PA.Sda Adanya Pertengkaran terus menerus; Pasal yang digunakan:Pasal 39 UU No. 1 / 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) dan PP No. 9 / 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI. Perilaku sosial; sikap seseorang mencintai dan menjalin hubungan cinta dengan lelaki/wanita lain (diluar pasangan sahnya). Faktor Penyebab pertengkaran dan perselisihan.; tidak secara langsung sebagai alasan/ dasar bagi putusan cerai.
2 Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2438/Pdt.G/2022/PA.Sda Adanya perselisihan dan pertengkaran antara keduanya. Perselisihan ini dipicu oleh dugaan perselingkuhan termohon dengan pria lain dan masalah keuangan yang terus menerus. Pada pertengahan tahun 2018, termohon meninggalkan rumah tanpa izin dari pemohon, dan sejak itu perselisihan antara mereka semakin meningkatPasal yang digunakan : Pasal 39 UU No. 1 / 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 / 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI. Perilaku sosial ;Kurangnya harmonisasi dalam hubungan suami istri, sehingga salah satu pihak melakukan penyelewengan terhadap komitmen pernikahan. Faktor penyebab perselisihan dan ekonomi ; Dalam hal ini tidak secara langsung dapat dijadikan alasan tunggal bagi putusan cerai.
3 Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 1153/Pdt.G/2023/PA.Sda Adanya pertengkaran terus menerus;Pasal yang digunakan : Pasal 1 UU No. 1 / 1974 Perilaku sosial :Sikap sorong yang dilakukan seseorang yang dianggap melanggar kepercayaan hubungan rumah tangga. Faktor penyebab pertengkaran dan perselisihan : Dalam hal ini, tidak secara langsung dapat dijadikan alasan dasar putusan perceraian.
Table 1. Contoh perbandingan putusan dari tahun 2021 sampai 2023

Simpulan

Perselingkuhan memegang peranan penting pada pembuatan keputusan hakim di Pengadilan Agama Sidoarjo. Pada proses peradilan, perselingkuhan sering kali menjadi satu dari banyak point kunci yang dipertimbangkan oleh hakim pada menyusun keputusan. Berdasarkan penjelasan mengenai tiga perkara di atas, Majelis Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo memutuskan untuk mengabulkan permohonan perceraian yang disebabkan oleh perselingkuhan. Pada hal ini, hakim mempertimbangkan keterangan dari pemohon dan saksi-saksi untuk mencari fakta hukum yang menjadi dasar keputusan. Meskipun perselingkuhan bukanlah satu-satunya alasan untuk perceraian, tapi keberadaannya bisa menimbulkan masalah besar yang mengancam keutuhan rumah tangga. Dengan memperhatikan bahwa rumah tangga tidak lagi bisa hidup harmonis, bisa disimpulkan bahwa perselingkuhan bisa memperkuat alasan-alasan yang diakui oleh sistem hukum nasional. Meskipun demikian, kasus-kasus perselingkuhan terdapat pada Direktori Putusan Mahkamah Agung, menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dianggap remeh dan memerlukan penanganan khusus. Dengan mempertimbangkan tiga perkara tersebut, bisa disimpulkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo menggunakan Pasal 39 UU No. 1 / 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 / 1975 jo. dan Pasal 116 huruf (f) KHI sebagai acuan pada memutuskan perceraian yang disebabkan oleh perselingkuhan.

Ucapan Terima Kasih

Dalam kesempatan yang luar biasa ini, saya ingin mengucapkan terimkasih kepada para pihak yang telah mendukung dan berkontribusi dalam proses penyusunan penelitian ini.Terimakasih untuk orang tua saya dan keluarga yang telah mendoakan serta memberikan support penuh selama proses penyusunan penelitian ini.Terimakasih kepada pihak Pengadilan Agama Sidoarjo yang telah mengizinkan saya untuk melakukan penelitian dan memberikan dukungan materil yang membantu proses penelitian.Selain itu, saya mengucapkan terimakasih pada teman-teman terdekat saya yang sudah memberikan support dan semangatnya untuk saya.Tak lupa, saya mengucapkan terimakasih kepada diri saya sendiri yang tidak putus semangat dan mampu melewati segala rintangan dalam proses peneitian ini.

References

[1] B. Waluyo, “Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” J. Media Komun. Pendidik. Pancasila Dan Kewarganegaraan, vol. 2, no. 1, Art. no. 1, Apr. 2020, doi: 10.23887/jmpppkn.v2i1.135.

[2] K. D. Amajihono, “Analisa Akibat Hukum Gugatan Perceraian yang Tidak Memenuhi Alasan Perceraian dalam Data (Studi Putusan Nomor 41/Pdt.G/2021/PN Gst),” vol. 5, no. 3, 2022.

[3] D. A. Zubaidah, “Analisis Hukum Islam Tentang Keabsahan Perceraian Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia,” Legitima J. Huk. Kel. Islam, vol. 4, no. 2, Art. no. 2, Jun. 2022, doi: 10.33367/legitima.v4i2.2541.

[4] N. M. N. Mayatika, “Efektivitas Komunikasi Pasangan Bekerja Dalam Mengatasi Konflik Rumah Tangga Untuk Tercapainya ‘Work Family Balance’ di Kelurahan Tanjung Karang Mataram,” J. Intelek Dan Cendikiawan Nusant., vol. 1, no. 2, Art. no. 2, May 2024. [Online]. Available: https://jicnusantara.com/index.php/jicn/article/view/254

[5] S. S. Karimullah, “Poligami Perspektif Fikih dan Hukum Keluarga Negara Muslim,” vol. 02, no. 01.

[6] M. S. Amri, “Mitsaqan Ghalidza di Era Disrupsi (Studi Perceraian Sebab Media Sosial),” Ulul Albab J. Studi Dan Penelit. Huk. Islam, vol. 3, no. 1, Art. no. 1, Jan. 2020. [Online]. Available: https://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ua/article/view/7496

[7] R. R. Azizah, “Pola Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Perceraian di Pengadilan Agama,” Kosmik Huk., vol. 21, no. 1, p. 24, Feb. 2021, doi: 10.30595/kosmikhukum.v21i1.8694.

[8] N. Mayasari, “Tinjauan Yuridis Tentang Proses Penyelesaian Perkara Perceraian Karena Terjadinya Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus yang Disebabkan Perselingkuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 1090/Pdt.G./2021/PA.Dmk),” Undergraduate Thesis, Universitas Islam Sultan Agung Semarang, 2021. [Online]. Available: https://repository.unissula.ac.id/24781/

[9] K. Muhajarah, “Perselingkuhan Suami Terhadap Istri dan Upaya Penanganannya,” Sawwa J. Studi Gend., vol. 12, no. 1, pp. 23–40, 2017.

[10] H. Naldi and E. Elimartati, “Analisis Politik Hukum Dalam Fenomena Perceraian di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar: Tinjauan Terhadap Kasus Perselingkuhan Aparatur Sipil Negara,” HAKAM J. Kaji. Huk. Islam Dan Huk. Ekon. Islam, vol. 8, no. 1, Art. no. 1, Jul. 2024, doi: 10.33650/jhi.v8i1.7560.

[11] F. Suhailah, “Dinamika Ketahanan Psikologis Keluarga pada Istri yang Suaminya Selingkuh,” Universitas Gadjah Mada, 2020. [Online]. Available: https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/183531

[12] R. S. Ritonga and A. Mukhsin, “Tinjauan Hukum Pidana Islam Pasal 412 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kohabitasi,” Leg. Standing J. Ilmu Huk., vol. 8, no. 3, Art. no. 3, Jul. 2024, doi: 10.24269/ls.v8i3.9934.

[13] “Tentang Selingkuh.” [Online]. Available: https://psychology.binus.ac.id/2019/02/13/tentang-selingkuh/

[14] S. Zainuddin and M. Wahid, “Strategi Komunikasi Antarpribadi Pasangan Suami dan Istri dalam Mencegah Tindakan Perselingkuhan di Kabupaten Donggala,” Kinesik, vol. 9, no. 3, Art. no. 3, Dec. 2022, doi: 10.22487/ejk.v9i3.498.

[15] “Kenali, Beda Selingkuh Emosional Vs Selingkuh Fisik.” [Online]. Available: https://lifestyle.kompas.com/read/2023/04/14/140000920/kenali-beda-selingkuh-emosional-vs-selingkuh-fisik?page=all

[16] M. Meirina, “Hukum Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam,” AHKAM, vol. 2, no. 1, pp. 22–49, Mar. 2023, doi: 10.58578/ahkam.v2i1.785.

[17] “Ternyata Ini Kronologi Tersebarnya Video Syur Ariel Noah dengan Luna Maya dan Cut Tari - Flores Editorial.” [Online]. Available: https://www.floreseditorial.com/entertainment/pr-3974093656/ternyata-ini-kronologi-tersebarnya-video-syur-ariel-noah-dengan-luna-maya-dan-cut-tari

[18] “Kronologi Lengkap Perselingkuhan Syahnaz Sadiqah dan Rendy Kjaernett Dibongkar Lady Nayoan, hingga Akhirnya Speak Up Bareng Jeje Govinda - ShowBiz Liputan6.com.” [Online]. Available: https://www.liputan6.com/showbiz/read/5340356/kronologi-lengkap-perselingkuhan-syahnaz-sadiqah-dan-rendy-kjaernett-dibongkar-lady-nayoan-hingga-akhirnya-speak-up-bareng-jeje-govinda

[19] K. Bakry, Z. Sam, and J. V. Usman, “Putusnya Perkawinan dan Akibatnya dalam Fikih Munakahat (Studi Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 38-41),” Bustanul Fuqaha J. Bid. Huk. Islam, vol. 2, no. 3, Art. no. 3, Dec. 2021, doi: 10.36701/bustanul.v2i3.401.

[20] R. Sambuardi, R. Aprina, and S. Hidayu, “Analisis PP No 9 Tahun 1975 Pasal 19-36 Juncto pada Pelaksanaan Pasal 38-41 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perceraian,” vol. 04, 2023.

[21] A. H. Dairobi and A. Akbar, “Cerai Gugat dalam Putusan Pengadilan Agama Stabat Nomor 2119/Pdt.G/2023/PA.Stb. (Ditinjau dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam),” J. Ilmu Huk. Hum. Dan Polit., vol. 4, no. 3, pp. 135–141, Mar. 2024, doi: 10.38035/jihhp.v4i3.1869.

[22] A. S. N. Fauziah, A. N. Fauzi, and U. Ainayah, “Analisis Maraknya Perceraian Pada Masa Covid 19,” Mizan J. Islam. Law, vol. 4, no. 2, Art. no. 2, Dec. 2020, doi: 10.32507/mizan.v4i2.838.

[23] A. S. N. Fauziah, A. N. Fauzi, and U. Ainayah, “Analisis Maraknya Perceraian Pada Masa Covid 19,” Mizan J. Islam. Law, vol. 4, no. 2, Art. no. 2, Dec. 2020, doi: 10.32507/mizan.v4i2.838.

[24] H. B. Nasution, A. Damanik, and D. A. Caniago, “Perceraian dalam Islam dan Kristen,” Stud. Sosia Religia, vol. 5, no. 2, Art. no. 2, Jul. 2023, doi: 10.51900/ssr.v5i2.14753.

[25] Y. F. Rozy and A. N. An, “Penafsiran ‘La Taqrabu Al-Zina’ dalam QS. Al-Isra’ Ayat 32 (Studi Komparatif antara Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka dan Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab),” QiST J. Quran Tafseer Stud., vol. 1, no. 1, Art. no. 1, Feb. 2022, doi: 10.23917/qist.v1i1.525.

[26] A. F. Putri, “Nusyuz Suami dan Penyelesaiannya Menurut Perspektif Qira’ah Mubadalah: Studi di Desa Manggar, Tlanakan, Madura,” Undergraduate Thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2023. [Online]. Available: http://etheses.uin-malang.ac.id/57709/

[27] R. Muhammadiyah, “Hukum Perselingkuhan,” Muhammadiyah. [Online]. Available: https://muhammadiyah.or.id/2021/02/hukum-perselingkuhan/

[28] S. Hizbullah, S. Hanani, and N. Nofiardi, “Delik Zina Controversy in the KUHP,” GIC Proceeding, vol. 1, pp. 356–362, Jul. 2023, doi: 10.30983/gic.v1i1.126.

Published

2025-02-23