Religiosity and Social Support as Determinants of Death Anxiety Among the Elderly

Kekuatan Keagamaan dan Dukungan Sosial sebagai Faktor Penentu Kecemasan Kematian di Kalangan Lansia

Authors

  • Izzul Haq Program Studi Psikologi, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Indonesia
  • Lely Mariyati Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo https://orcid.org/0000-0003-1646-0004

DOI:

https://doi.org/10.21070/ijis.v13i1.1792

Keywords:

Religiosity, Social Support, Death Anxiety, Elderly, Psychology

Abstract

Background: Death anxiety is a psychological challenge frequently experienced by the elderly, often associated with feelings of helplessness and fear. Specific Background: Religiosity and social support are considered key protective factors that may reduce such anxiety. Knowledge Gap: Few studies have analyzed the combined role of religiosity and social support on death anxiety in elderly populations living in communal facilities. Aim: This study aims to examine the simultaneous and partial roles of religiosity and social support in reducing death anxiety among the elderly. Results: Multiple regression analysis on 100 respondents showed that religiosity and social support jointly explained 27.2% of the variance in death anxiety. Social support contributed the largest effective portion (14.8%), followed by religiosity (12.3%). Novelty: The study highlights the significance of combining religious engagement with social support interventions to address psychological distress in elderly groups. Implications: The findings suggest the need for integrated spiritual and social programs to promote emotional well-being and prepare the elderly for end-of-life acceptance.

Highlights :

  • Religiosity and social support reduce death anxiety

  • Social support contributes more than religiosity

  • Practical implications for elderly care programs

Keyword: Religiosity, Social Support, Death Anxiety, Elderly, Psychology

Pendahuluan

Paul Baltes, seorang ahli perkembangan semasa hidup menyatakan mengenai perspektif masa hidup “life span perspective” dimana perkembangan manusia berlangsung seumur hidup, mutidimensi, multiarah, plastis, multidisiplin, dan kontekstual, serta melibatkan proses pertumbuhan, pemeliharaan, dan regulasi terhadap penurunan. Sehingga, pola perubahannya pun berlangsung di sepanjang rentang kehidupan . Sedangkan, Hurlock menyatakan bahwa setiap manusia berkembang melalui beberapa periode yakni periode prenatal (kelahiran), periode infancy (masa bayi), periode early (masa kanak-kanak awal), periode akhir masa kanak-kanak, periode remaja, periode awal, periode dewasa, periode dewasa menengah (madya), serta periode dewasa akhir. Hurlock juga menyatakan bahwa periode dewasa akhir ialah periode terakhir dalam tahapan perkembangan manusia yang terjadi secara ilmiah dan tidak dapat dihindari oleh semua manusia selama rentang kehidupannya .

Siklus pada periode dewasa akhir dalam perkembangan manusia yaitu ketika menginjak usia 60 tahun ke atas yang kemudian sering kita istilah kan dengan lansia (lanjut usia). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 25 Tahun 2016 Tentang Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia Tahun 2016-2019 mengatakan lanjut usia merupakan seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas . Ketika memasuki usia lanjut, seseorang sangat rentan terhadap gangguan kesehatan dan berakibat terhadap terjadinya perubahan-perubahan dalam kehidupannya. Perubahan tersebut diantaranya ialah perubahan pada kondisi fisik, psikologis, dan sosial .

Kane mengatakan bahwa perubahan kondisi fisik yang terjadi pada lansia diakibatkan terjadinya penurunan fungsi organ sehingga berakibat pada penyusutan berat badan dan peningkatan jumlah masa lemak pada bagian tubuh yang kurus, jumlah air dalam tubuh berkurang, kekencangan kulit berkurang dan muncul keriput, kemampuan sistem kardiovaskular menurun dan mengakibatkan berkurangnya kemampuan hati merespon stress, serta berisiko terhadap kematian. Selain itu, muncul tulang keropos, sensitivitas mata terhadap warna berkurang, menurunnya fungsi pupil menyebabkan penglihatan menjadi kabur, fungsi pendengaran berkurang, penurunan performa intelektual, psikomotor menjadi lambat .

Hasylip dan Hansson mengatakan lanjut usia akan mengalami ketakutan yang lebih besar terhadap kematian dikarenakan memiliki pengalaman langsung terhadap kematian yang terjadi pada rekan dan sanak saudaranya yang meninggal. Sehingga, mereka lebih banyak berpikir dan berbicara mengenai kematian dengan rekan dan sanak saudaranya . Perubahan-perubahan yang terjadi itulah membuat lansia tampak tak berdaya dan lemah, sehingga lingkungan sosial mengurangi keterlibatan dan tanggung jawab terhadapnya. Perlakuan seperti itulah yang membuat lansia menjadi tidak percaya diri, sehingga membuat lansia berpikir bahwasanya mereka adalah orang yang lemah dan tidak diperlukan lagi .

Halgin & Whitbourne menjelaskan bahwa kecemasan merupakan kondisi khawatir, gelisah, tegang, dan tidak nyaman di luar kendali individu yang disebabkan adanya hal buruk yang diprediksi akan terjadi . Selanjutnya Freud membedakan kecemasan dalam tiga jenis yakni kecemasan neurosis, kecemasan moral, dan kecemasan realistik . Kurniasih menjelaskan bahwa terdapat dampak dari kecemasan yang ditunjukkan dengan adanya perasaan khawatir atau takut berlebihan, panik, munculnya perasaan tegang, tidak nyaman, dan merasa selalu dalam keadaan bahaya. Selain itu, menimbulkan perasaan gelisah hingga tidak dapat duduk dengan tenang, berbicara berlebihan dan cepat, sulit berkonsentrasi, susah tidur, rasa ingin pingsan atau tercekik, takut kehilangan kendali, takut mati, dan takut menjadi gila

Mengutip dari Psychology Today, dibalik adanya dampak negatif dari kecemasan, terdapat manfaat yakni kecemasan dapat memicu seseorang untuk lebih termotivasi dan siap menghadapi tantangan baru. Selain itu, kecemasan yang timbul dalam diri individu dapat menjadi acuan pengingat diri untuk menghadapi perubahan yang tidak pernah disadari, kecemasan sebagai peringatan darurat, dan kecemasan dapat membantu individu memfokuskan pada satu hal yang akan mengarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai serta sejalan dengan Freud yang mengatakan bahwa kecemasan tidak selalu berdampak negatif namun kecemasan/stress dapat melahirkan energi pada individu untuk daya gerak individu dalam melakukan sesuatu hal yang dapat mengembalikan diri dalam kondisi normal/keluar dari masalah .

Sejalan dengan hal tersebut, sebagai masyarakat yang beragama wajib meyakini akan kedatangan akhir kehidupan manusia. Tidak ada satu manusiapun yang dapat menghindari kematian, hanya persoalan waktu dan cara yang berbedah pada setiap inidividu. Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S Al-Jumu’ah : 8) .

Komaruddin Hidayat menjelaskan bahwa kecemasan menghadapi kematian adalah sebuah bentuk ketakutan terhadap sebuah perspektif dan kondisi emosional mengenai rentang kehidupan akhir yang dilalui oleh seseorang. Secara psikologis, sesungguhnya kita semua menolak kematian. Rasa takut terhadap kematian berakar pada keinginan laten untuk selalu hidup nyaman. Sehingga, sikap cemas menghadapi kematian itu disebabkan karena kematian identik dengan tragedi, sakit, ketidakberdayaan, kehilangan, dan kebangkrutan hidup. Sejalan dengan hal tersebut, ketakutan yang menjadi penyebab utama kecemasan menghadapi kematian ialah karena kita tidak memiliki pengetahuan apapun terhadap kehidupan setelah mati. Dimana dinyatakan oleh Al-Qur’an bahwa ada risiko setelah kematian yang mana kita akan mendapatkan siksaan, baik di alam ruhani maupun di alam barzakh. Maka, tak heran kita sering merasa was-was ataupun khawatir jika berhadapan dengan kematian .

Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Irwan, Zulfitri, dan Jumaini pada tahun 2022 dengan judul “Hubungan Persepsi Lansia Tentang Kematian Dengan Kecemasan Menghadapi Kematian” menunjukkan bahwasanya sebanyak 55 orang responden memiliki persepsi negatif terhadap kematian, sehingga mereka menjadi lebih tertekan dan takut. Adapun 5 orang responden mengalami kecemasan menghadapi kematian rendah, 42 orang responden mengalami kecemasan menghadapi kematian sedang, dan 8 orang responden mengalami tingkat kecemasan menghadapi kematian tinggi .

Fakta dilapangan juga menunjukkan hal yang sama. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan kepada dua lansia di Liponsos Keputih Surabaya, yakni Ibu A berusia 61 tahun dan Ibu I yang juga berusia 60 tahun mengalami kecemasan menghadapi kematian. Pada Ibu A merasakan takut ketika berbicara dan mengingat kematian yang akan menimpa dirinya sendiri. Dimana ketika ada kerabat atau tetangga yang meninggal, Ibu A merasa takut ketika hal tersebut suatu saat terjadi terhadapnya. Ibu A juga merasakan tidak bisa tidur, gelisah atau was-was, susah makan, jantung berdebar, lemas, gemetar, daya konsentrasi berkurang ketika membahas mengenai kematian, dan dihantui perasaan takut ketika melihat mayat. Selain itu, Ibu A mengatakan takut jika suatu saat berada diliang lahat mendapatkan siksaan karena dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat, perasaan was-was jika suatu saat mengalami kematian bagaimana keadaan keluarga yang ia tinggalkan. Sedangkan dari perjalanan masa lalu, Ibu I merasakan takut terhadap kematian ketika ada pengalaman langsung perihal kematian yakni ditinggal oleh suami ataupun saudaranya. Ibu I sering mengalami mimpi buruk, takut kegelapan, dan gelisah ketika dirumah sendirian. Ibu I juga menyatakan bahwasanya ketika ada tetangganya yang meninggal ia merasakan kesedihan disertai dengan respon seluruh tubuh gemetar dan sulit berjalan karena merasa nyeri otot, perasaan tersebut masih belum hilang hingga saat ini. Untuk mengatasi hal tersebut, Ibu I membaca dzikir dan doa-doa yang beliau hafal. Selain itu, peneliti juga mewawancarai salah satu liponsos desa setempat, beliau menyatakan bahwasanya terdapat penilaian dan pengaduan negatif terhadap lansia di Liponsos Keputih Surabaya dimana mereka memiliki perspektif bahwa di usia lansia, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali berdiam diri di barak karena kondisi fisik mereka yang mulai menua. Oleh karenanya, diperlukan pula kegiatan keagamaan dan dukungan sosial agar lansia lebih termotivasi dan lebih tenang dalam menjalani sisa kehidupannya.

Adapun aspek kecemasan secara umum termasuk menghadapi kematian menurut Nevid adalah terbagi menjadi aspek yang meliputi: 1) aspek fisik yaitu jantung berdebar, keringat dingin, kepala pusing, ujung-ujung jari terasa dingin, sulit tidur, dada sesak, nafsu makan menurun atau hilang gangguan pencernaan, merasa lemas, dan terasa kaku. 2) aspek perilaku (behavioral) yaitu bermalasmalasan dan menghindari perilaku dependen. 3) aspek kognitif yang meliputi adanya perasaan khawatir, perasaan takut terhadap sesuatu yang akan tercipta dimasa mendatang, khawatir akan tinggal sendiri, dan sulit berkonsentrasi menghadapi permasalahan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya kecemasan terhadap kematian antara lain, religiusitas, locus of control, kepribadian, social support, usia, jenis kelamin, integritas ego, kontrol diri, dan personal of sense fulfilment .

Putri mengatakan bahwa religiusitas dan keyakinan keagamaan merupakan salah satu komponen penting dalam meningkatkan kehidupan yang bermakna secara psikologis pada diri seseorang . Amawidyati mengungkapkan bahwa sikap positif seperti ketabahan, adanya penerimaan, serta hubungan yang positif dengan orang lain akan membentuk kondisi psikologis yang positif pula . Urgensi dari religiusitas untuk mengatasi kecemasan menghadapi kematian ini adalah seseorang tidak merasakan kesendirian, kesepian, tidak putus asa dan hati merasa tenang damai, serta merasa dekat dengan Allah Swt . Gazalba mengatakan bahwa religiusitas bersumber dari kata religi yang bahasa latinnya religio, dengan permulaan kata adalah regilure yang berarti meningkat. Dengan demikian, religiusitas merupakan bentuk keterkaitan antara seseorang terhadap nilai moral atau keyakinannya (religi/agama) yang pada umumnya memberikan tanggung jawab untuk dipatuhi oleh para penganutnya, sehingga terjadi peningkatan nilai-nilai spiritual seperti hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama individu, dan alam sekitarnya.

Sejalan dengan hal tersebut terdapat penelitian terdahulu dari Pamungkas, Wiyanti, dan Widya Agustin mengatakan religiusitas dan dukungan sosial memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecemasan menghadapi tutup usia pada lansia di Kelurahan Jebres Surakarta. Apabila religiusitas dan dukungan sosial tersebut tinggi maka kecemasan menghadapi tutup usia pun menjadi rendah . Adapun penelitian terdahulu dari Maghfiroh, Zainuri, dan Sudarsih pada tahun 2022 juga menunjukkan hasil bahwa lansia dengan religiusitas yang tinggi (54,7%) akan menjalani masa tua nya dengan penuh ketenangan tanpa ada rasa cemas dalam menghadapi kematian. Adapun penelitian lain dari Mellawati pada tahun 2019 menunjukkan bahwa tingginya tingkat religiusitas yang diterapkan dapat memberikan pengaruh terhadap rendahnya tingkat kecemasan kematian pada lansia.

Selain religiusitas, dukungan sosial juga memberikan pengaruh kuat terhadap keberlangsungan hidup seseorang. Garmenzy menyatakan bahwa terdapat manfaat dari dukungan sosial, yaitu dapat mengurangi kecemasan yang merupakan faktor munculnya stress . Pendapat lain juga disampaikan oleh Christensen, Martin & Smyth yang mengatakan bahwa dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh semua individu . Sarafino mendefinisikan dukungan sosial sebagai berikut “Social support is generally used to refer to the perceived comfort, caring, esteem or help a person receives from other people or groups”. Artinya dukungan atau bantuan yang dibutuhkan oleh lansia bisa didapatkan dari bermacam-macam sumber seperti keluarga, teman, dokter atau professional dan organisasi kemasyarakatan . Pada dasaranya, menurut Cutrona & Gardner terdapat lima aspek dukungan sosial, yakni dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dukungan instrumental, dan dukungan kelompok .

Penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih dan Nurjanah pada tahun 2020 menunjukkan bahwa terdapat hubungan dengan korelasi positif antara dukungan keluarga dan kecemasan kematian, dimana dukungan keluarga memiliki peran dalam menurunkan tingkat kecemasan menghadapi kematian pada lansia . Penelitian lain ditunjukkan oleh Novita, Romayati, Wahyudi, Zainaro pada tahun 2014 mengenai “Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kecemasan Pada Lansia Di Desa Banjar Jaya Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Jaya Lampung Tengah” menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan kecemasan menghadapi kematian pada lansia. Dukungan keluarga tersebut memberikan pengaruh positif terhadap perilaku lansia yang adaptif dalam mengatasi permasalahannya .

Yang menjadi pembeda dalam penelitian ini adalah penambahan variabel dukungan sosial sebagai X2, dan menggunakan subyek lansia sebagai sampel penelitian karena sering ditemukan pada variabel kecemasan adalah subjek penelitian menggunakan remaja. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh religiusitas dan dukungan sosial terhadap kecemasan menghadapi kematian pada lanjut usia. Dalam penelitian ini terdapat hipotesa berupa, hipotesa mayor yaitu terdapat pengaruh yang signifikan antara religiusitas dan dukungan sosial terhadap kecemasan menghadapi kematian pada lanjut usia, lalu hipotesa minor 1 yaitu terdapat pengaruh signifikan antara religiusitas terhadap kecemasan menghadapi kematian pada lanjut usia, selanjutnya hipotesa minor 2 yaitu terdapat pengaruh signifikan antara dukungan sosial terhadap kecemasan menghadapi kematian pada lanjut usia.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasi . Jenis populasi dalam penelitian ini adalah individu lanjut usia di Liponsos Keputih Surabaya. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 2 barak, yang masing-masing barak diambil 50 responden. Sehingga, total responden dalam penelitian ini sebanyak 100 responden. Karakteristik populasi dalam penelitian ini ialah laki-laki dan perempuan, berusia 60 tahun ke atas, komunikatif, tinggal di Liponsos Keputih Surabaya, dan beragama islam. Teknik pengambilan sampel yang digunakan ialah purposive quota random sampling.

Semua skala dalam penelitian ini menggunakan model skala likert yang telah dimodifikasi. Adapun untuk mengukur religiusitas dalam penelitian ini yakni menggunakan skala religiusitas disusun oleh Kartikasari dengan mengacu pada konsep Glock dan Stark. Nilai reliabilitas pada skala tersebut yaitu 0,932 . Sedangkan, untuk mengukur kecemasan menghadapi kematian menggunakan skala yang telah dimodifikasi oleh sabiq dari Death Anxiety Scale (DAS) yang disusun oleh Templer pada tahun 1970. Nilai reliabilitas pada skala tersebut yaitu 0,976 Selain itu, untuk mengukur dukungan sosial, peneliti menggunakan adaptasi skala dukungan sosial dari Sabiq yang dikonstruk dengan menggunakan teori sarafino yakni dengan dimensi dukungan sosial yang meliputi dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan persahabatan. Nilai reliabilitas pada skala tersebut yaitu 0,873 .

Teknik analisis data pada penelitian ini diuji menggunakan analisis regresi berganda yang meliputi uji simultan dan uji parsial . Teknik analisis data tersebut menggunakan bantuan program JASP 0.14.1.0 dan SPSS versi 25.

Hasil dan Pembahasan

A. Hasil

Deskriptif Data Penelitian

Analisis deskriptif data penelitian dilakukan dengan tujuan untuk memahami secara umum tanggapan dari sampel penelitian terhadap variabel yang diteliti pada religiusutas, dukungan sosial, dan kecemasan menghadapi kematian yang diperoleh di lapangan.

Descriptive Statistics
Kecemasan Menghadapi Kematian Religiusitas Dukungan Sosial
Valid 100 100 100
Missing 0 0 0
Mean 53.090 75.160 12.640
Std. Deviation 4.839 8.963 1.059
Minimum 43.000 60.000 12.000
Maximum 60.000 84.000 18.000
Table 1.

Uji Asumsi

Pemeriksaan asumsi dilakukan untuk menentukan apakah data yang diperoleh dalam hasil penelitian memenuhi standar analisis atau tidak. Dalam pemeriksaan asumsi, diperlukan uji normalitas, uji linieritas, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas. Hasil dari setiap pemeriksaan asumsi tersebut juga dicantumkan sebagai berikut :

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dalam suatu studi bertujuan untuk mengevaluasi apakah data yang dikumpulkan memiliki distribusi normal dan untuk menentukan apakah sampel yang digunakan sudah mencerminkan populasi dengan baik. Tabel ringkasan dari hasil uji distribusi data penelitian ditampilkan di bawah ini, sedangkan grafik hasil uji normalitas variabel sebagai berikut :

Figure 1.

Menurut gambaran yang ditunjukkan dalam grafik uji normalitas di atas, diamati dari pola yang membentuk piramida sempurna serta adanya pola garis lurus yang terlihat dalam table. Artinya data tersebut menunjukan normal.

b. Uji Linieritas

Uji linearitas dilakukan dalam penelitian ini untuk menentukan apakah ada hubungan signifikan antara variabel dependen dan variabel independen, dengan tingkat signifikansi p-value lebih besar dari 0,05.

Tabel 3. Hasil Uji Linieritas

ANOVA Table

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Kecemasan Menghadapi Kematian (Combined) 611,565 8 76,446 4,076 ,000
Religiusitas Linearity 357,167 1 357,167 19,045 ,000
Deviation from Linearity 254,398 7 36,343 1,938 ,072
Within Groups 1706,625 91 18,754
Total 2318,190 99
Table 2.

Kecemasan Menghadapi Kematian vs. Religiusitas

Berdasarkan hasil uji linieritas ANOVA Table hasil nilai signifikansi yang diperoleh p liniearity 0,072 > 0,05

ANOVA Table

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Kecemasan Menghadapi Kematian (Combined) 415,055 4 103,764 5,180 ,001
Dukungan Sosial Linearity 411,503 1 411,503 20,541 ,000
Deviation from Linearity 3,551 3 1,184 ,059 ,981
Within Groups 1903,135 95 20,033
Total 2318,190 99
Table 3. Kecemasan Menghadapi Kematian vs. Dukungan Sosial

Berdasarkan ANOVA Table hasil uji linieritas nilai signifikansi yang diperoleh p liniearity 0,981 > 0,05

Jika uji linearitas dari ketiga variabel, yaitu religiusitas, dukungan sosial, dan kecemasan menghadapi kematian, menunjukkan pembentukan garis lurus terbaik, maka dapat disimpulkan bahwa data yang diperoleh menunjukkan sifat linear.

c. Uji Multikolenieritas

Uji multikolinieritas dilakukan untuk menentukan apakah terdapat kesamaan fungsi antara variabel bebas dengan variabel lainnya. Model regresi penelitian dikatakan bebas dari multikolinieritas jika nilai VIF (Variance Inflation Factor) kurang dari 10.00 dan nilai T (Tolerance) lebih dari 10.00. Berikut adalah hasil uji multikolinieritas.

Tabel 4. Hasil Uji Multikolenieritas

Coefficients
Collinearity Statistics
Model Unstandardized Standard Error Standardized T p Tolerance VIF
H₀ (Intercept) 53.090 0.484 109.712 < .001
H₁ (Intercept) 86.176 5.597 15.398 < .001
Religiusitas -0.170 0.048 -0.315 -3.543 < .001 0.951 1.051
DukunganSosial -1.607 0.406 -0.352 -3.959 < .001 0.951 1.051
Table 4.

Multikolinieriti tidak terjadi ketika toleransi memiliki nilai lebih besar dari 0.100 dan nilai Variance Inflation Factor (VIF) kurang dari 10.00, sebagaimana ditunjukkan dalam analisis uji Multikolinieriti menggunakan perangkat lunak JASP pada tabel koefisien. Dari tabel yang disajikan, dapat diamati bahwa untuk variabel independen (X1) yang merupakan religiusitas, toleransinya adalah 0.951 dengan VIF 1.051, sementara variabel independen (X2) yang merupakan dukungan sosial memiliki toleransi sebesar 0.951 dan VIF 1.051. Dengan demikian, asumsi mengenai ketiadaan multikolinieritas telah terpenuhi.

d. Uji Heteroskedaktisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menentukan apakah ada ketidaksesuaian dalam uji linear, serta apakah titik-titik tersebar tidak merata dan tidak membentuk pola tertentu.

Tabel 5. Hasil Uji Heteroskedaktisita

Residuals vs. Predicted

Figure 2.

Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa garis merah yang menunjukkan residual terhadap nilai yang diprediksi cenderung datar, dan titik-titik tersebar secara acak. Hal ini menandakan bahwa residual dalam penelitian tidak dipengaruhi oleh variabel lain.

3. Uji Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji adalah "Ada korelasi antara tingkat religiusitas dan dukungan sosial dengan tingkat kecemasan menghadapi kematian pada populasi lanjut usia.”

Tabel 6. Hasil Uji Hipotesis

Model Summary – Kecemasan Menghadapi Kematian
Model R Adjusted R² RMSE
H₀ 0.000 0.000 0.000 4.839
H₁ 0.521 0.272 0.257 4.172
Table 5.

Hasil dari analisis tabel regresi korelasi berganda menunjukkan bahwa sumbangan efektif yang diberikan oleh religiusitas dan dukungan sosial secara bersama-sama mencapai 27.2% terhadap fenomena kecemasan menghadapi kematian dari sampel penelitian (R²=0.272). Sebanyak 72.8% sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam variabel religiusitas dan dukungan sosial. Kemudian, uji regresi linier berganda berdasarkan ANOVA dilakukan untuk mengonfirmasi temuan tersebut .

ANOVA
Model Sum of Squares df Mean Square F P
H₁ Regression 629.949 2 314.974 18.097 < .001
Residual 1688.241 97 17.405
Total 2318.190 99
.
Table 6.

Uji F digunakan untuk menilai apakah terdapat pengaruh secara bersama-sama antara variabel X dan variabel Y. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam uji F adalah bahwa nilai signifikansi harus kurang dari 0.05, menandakan bahwa variabel X secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel Y. Hasil uji F dapat ditemukan dalam tabel ANOVA. Dari tabel tersebut, terlihat bahwa tingkat signifikansi p<0.001, yang menunjukkan nilai yang jauh lebih rendah dari persyaratan uji F sebesar 0.05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa religiusitas dan dukungan sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap tingkat kecemasan menghadapi kematian dari sampel penelitian atau berpengaruh terhadap variabel dependen (Y).

Coefficients
Model Unstandardized Standard Error Standardized t p
1 (Intercept) 86.176 5.597 15.398 < .001
X1 -0.170 0.048 -0.315 -3.543 < .001
X2 -1.607 0.406 -0.352 -3.959 < .001
Table 7.

Uji T digunakan untuk mengetahui sebaran pengaruh secara parsial antara variabel X dan variabel Y. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam uji T adalah t hitung < t tabel. Hasil uji T menunjukan x1 t hitung (-3.543) < t tabel (-1.984) dengan taraf p < ,001, yang artinya terdapat pengaruh secara signifikan antara religuisitas terhadap kecemasan menghadapi kematian. Sedangkan nilai x2 t hitung (-1.959) < t tabel (-1.984) dengan taraf p < ,001 yang artinya terdapat pengaruh secara signifikan antara dukungan sosial terhadap kecemasan menghadapi kematian pada lanjut usia.

Tabel 7. Hasil Uji Korelasi

Variabel Personal Correlation Sig. Keterangan
X1 Religiusitas 0.393 0,001 PositifSignifikan
X2 Dukungan Sosial 0.421 0,001 PositifSignifikan
Table 8.

Dalam penelitian ditemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara Religiusitas dan Kecemasan Menghadapi Kematian di Liponsos Keputih Surabaya, yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi sebesar 0.393 (p < 0.001). Ini menegaskan bahwa semakin tinggi Kecemasan Menghadapi Kematian, semakin rendah pula Religiusitas dalam populasi tersebut. Sedangkan korelasi yang signifikan antara Dukungan Sosial dan Kecemasan Menghadapi Kematian di Liponsos Keputih Surabaya, yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi sebesar 0.421 (p < 0.001). Ini menegaskan bahwa semakin tinggi Kecemasan Menghadapi Kematian, semakin rendah pula Dukungan Sosial dalam populasi tersebut.

Tabel 8. Hasil Sumbangan Efektif

Variabel Koefisien regresi (β) Koefisien regresi (Rxy) R2 Sumbangan Efektif
Religiusitas -0.315 -0.393 0.272 12.3%
Dukungan Sosial -0.352 -0.421 14,8%
Table 9.

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa variabel religiusitas memberikan sumbangan efektif terhadap kecemasan menghadapi kematian sebesar 12,3%, sedangkan variabel dukungan sosial memberikan sumbangan efektif terhadap kecemasan menghadapi kematian sebesar 14,8%. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa kontribusi terbesar terhadap kecemqasan menghadapi kematian berasal dari dukungan sosial.

B. Pembahasan

Berdasarkan analisis, ditemukan adanya peranan signifikan antara religiusitas dan kecemasan menghadapi kematian, dengan koefisien korelasi sebesar -0,393 (p<0,001) dan tingkat signifikansi 0,001, yang mendukung diterimanya hipotesis pertama. Religiusitas menunjukkan hubungan negatif yang signifikan dengan kecemasan menghadapi kematian, yang berarti semakin rendah religiusitas, semakin tinggi tingkat kecemasan dalam menghadapi kematian, dan sebaliknya. Selain itu, analisis hubungan antara dukungan sosial dan kecemasan menghadapi kematian menunjukkan nilai sebesar -0,421 (p<0,001) dengan tingkat signifikansi 0,001, yang mendukung diterimanya hipotesis kedua. Ini menunjukkan adanya hubungan negatif antara dukungan sosial dan kecemasan menghadapi kematian, sehingga semakin rendah dukungan sosial, semakin tinggi kecemasan menghadapi kematian, dan sebaliknya.

Penelitian yang mengungkap bahwa religiusitas dapat memberikan ketenangan dan harapan, serta bagaimana ritual keagamaan dan keyakinan mempengaruhi pandangan tentang kematian . Tinjauan pustaka mengenai pengaruh religiusitas atau spiritualitas terhadap kesehatan mental, terutama terkait dengan kecemasan dan ketenangan dalam menghadapi kematian, menunjukkan bahwa religiusitas dapat memberikan rasa tujuan dan makna hidup, yang pada gilirannya dapat menurunkan tingkat kecemasan .

Lansia yang siap menghadapi kecemasan kematian melalui religiusitas biasanya memiliki beberapa ciri khas. Mereka cenderung memiliki keyakinan spiritual yang mendalam, yang memberikan mereka ketenangan dan keyakinan tentang kehidupan setelah kematian, seperti yang dijelaskan oleh Ruch dan Carver . Praktik religius yang rutin, seperti doa dan ibadah, juga merupakan indikator penting, karena membantu mereka merasa terhubung dengan kekuatan yang lebih tinggi . Dukungan dari komunitas religius atau gereja memperkuat kesiapan emosional mereka, menyediakan dukungan dan koneksi sosial yang berharga . Selain itu, memiliki pandangan positif mengenai kematian sebagai bagian dari siklus kehidupan membantu lansia menghadapi akhir hidup dengan lebih tenang . Kesejahteraan psikologis dan emosional yang baik, yang seringkali terkait dengan keyakinan religius, juga berperan dalam kesiapan mereka . Secara keseluruhan, ciri-ciri ini menunjukkan bahwa keterhubungan dengan keyakinan religius dapat membantu lansia merasa lebih siap dan tenang dalam menghadapi kematian.

Berbagai jenis dukungan sosial, termasuk dukungan emosional, praktis, dan informasional, serta pengaruh masing-masing terhadap tingkat kecemasan . Dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga, teman, dan komunitas dapat membantu mengurangi kecemasan terhadap kematian pada lansia. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat menciptakan rasa keterhubungan dan mengurangi stres .

Dukungan sosial adalah elemen krusial bagi kesehatan mental dan kesejahteraan, dengan banyak penelitian terbaru yang mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Beberapa aspek penting yang diidentifikasi dalam jurnal-jurnal terbaru pasca 2019 mencakup kualitas hubungan sosial, di mana kedekatan emosional dan frekuensi interaksi berpengaruh pada tingkat dukungan sosial, dengan hubungan yang dalam dan saling mendukung umumnya memberikan dukungan yang lebih efektif . Selain itu, keberadaan dukungan sosial yang tersedia saat diperlukan secara aktif memainkan peran penting dalam kesejahteraan individu . Persepsi individu terhadap dukungan sosial juga memiliki dampak, di mana persepsi positif terhadap dukungan yang mungkin tidak banyak dapat meningkatkan kepuasan hidup dan kesehatan mental (zongyu., 2023). Dukungan sosial bisa berupa dukungan emosional, instrumental, atau informasi, dan efektivitasnya sering tergantung pada jenis dukungan serta kesesuaiannya dengan kebutuhan individu .

Lingkungan sosial dan budaya juga memainkan peran, di mana norma budaya dan struktur sosial dapat mempengaruhi bagaimana dukungan sosial diberikan dan diterima . Penggunaan teknologi dan media sosial dapat memengaruhi dukungan sosial dengan menyediakan platform untuk interaksi yang mungkin berdampak positif atau negatif tergantung pada konteksnya . Selain itu, kondisi kesehatan fisik dan mental dapat mempengaruhi dukungan sosial, di mana individu dengan masalah kesehatan sering membutuhkan dukungan tambahan yang dapat memengaruhi proses pemulihan mereka .

Dukungan sosial dari keluarga, teman, dan komunitas dapat berperan dalam mengurangi kecemasan terkait kematian pada lansia. Penelitian mengindikasikan bahwa dukungan sosial dapat memperkuat rasa keterhubungan dan menurunkan tingkat stres .

Sumbangan efektif yang diberikan religiusitas dengan dukungan sosial kepada kecemasan menghadapi kematian sebesar 27.2% Hal ini menandakan bahwa sebanyak 72.8% fenomena kecemasan menghadapi kematian dipengaruhi oleh variabel lain yang dapat mempengaruhi kecemasan menghadapi kematian pada lansia diantaranya Untuk mengidentifikasi faktor-faktor lain yang memengaruhi kecemasan menghadapi kematian pada lansia selain religiusitas dan dukungan sosial, beberapa variabel tambahan telah ditemukan dalam studi terbaru. Kesehatan fisik dan penyakit kronis, seperti yang dicatat oleh Li dan Wang , dapat meningkatkan kecemasan karena kondisi kesehatan yang buruk sering kali dikaitkan dengan kekhawatiran tentang kematian. Selain itu, kesehatan mental, termasuk depresi dan gangguan kecemasan, juga memberikan kontribusi signifikan terhadap tingkat kecemasan, sebagaimana dijelaskan oleh Pahl dan Knafo-Noam . Pengalaman hidup, termasuk trauma dan pencapaian, serta kesejahteraan psikologis secara keseluruhan, berperan penting dalam cara lansia memandang kematian . Kualitas hubungan sosial dan tingkat isolasi sosial, yang dapat meningkatkan kecemasan, juga merupakan faktor krusial . Faktor kognitif dan persepsi tentang kematian, termasuk keyakinan dan pemikiran mengenai kematian, mempengaruhi kecemasan, seperti diteliti oleh Van Orden dan Conner . Kualitas tidur dan gangguan tidur, yang dapat menambah stres dan kecemasan, juga merupakan aspek penting (Sateia, 2020). Selain itu, keterlibatan dalam aktivitas sosial dan hobi dapat mengurangi kecemasan dengan meningkatkan rasa tujuan dan kualitas hidup, sebagaimana diungkapkan oleh Charles dan Carstensen . Mempertimbangkan faktor-faktor ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang elemen-elemen yang mempengaruhi kecemasan menghadapi kematian pada lansia. faktor lain pribadi seperti kepribadian, kecenderungan untuk mencari dukungan, dan keterampilan sosial mempengaruhi cara dukungan sosial diterima dan dimanfaatkan .

Beberapa studi menjelaskan kecemasan mengenai kematian merujuk pada perasaan cemas yang muncul saat individu memikirkan kematian mereka sendiri atau orang lain. Kecemasan ini bisa muncul sebagai kekhawatiran tentang proses kematian, ketidakpastian mengenai apa yang terjadi setelah kematian, atau kesadaran akan kematian yang tidak dapat dihindari . Berdasarkan hal tersebut, tingkat kecemasan yang tinggi terhadap kematian dapat mempengaruhi seseorang baik dalam aspek religius maupun sosial.

Penelitian ini mungkin memiliki keterbatasan dalam menggeneralisasi temuan karena sampel yang digunakan mungkin tidak mewakili seluruh populasi lanjut usia, terutama jika sampel diambil dari lokasi atau kelompok tertentu, Religiusitas dan dukungan sosial bisa sangat dipengaruhi oleh konteks budaya tertentu, sehingga temuan penelitian ini mungkin tidak dapat diterapkan pada populasi lanjut usia di budaya yang berbeda, Penting untuk mempertimbangkan keterbatasan ini ketika menafsirkan hasil penelitian dan dalam upaya untuk mengembangkan studi lanjutan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru mengenai kecemasan menghadapi kematian pada lansia yang ditinjau dari aspek religiusitas dan dukungan sosial, sehingga dapat membantu pihak-pihak terkait, seperti lembaga sosial, dalam mengembangkan pemahaman mengenai peran religiusitas dan dukungan sosial.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, maka peneliti menyimpulkan bahwa hipotesa mayor terpenuhi yaitu terdapat pengaruh secara simultan antara variabel religiusitas dan dukungan sosial terhadap kecemasan menghadapi kematian pada lansia, sementara hipotesa minor 1 dan minor 2 diterima, yaitu variabel religiusitas dan dukungan sosial secara parsial berpengaruh terhadap kecemasan menghadapi kematian pada lansia. Besaran pengaruh variabel dukungan sosial lebih tinggi daripada variabel religiusitas.

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis mengenai bidang psikologi dan intervensi berbasis reigiusitas dan dukungan sosial untuk mengurangi kecemasan menghadapi kematian pada lanjut usia. Peneliti selanjutnya disarankan untuk memperluas cakupan sampel dengan melibatkan partisipan dari berbagai latar belakang budaya, sosial, dan ekonomi untuk meningkatkan generalisasi temuan, untuk lansia Lansia dapat disarankan untuk lebih aktif dalam kegiatan keagamaan atau spiritual, baik secara individu maupun dalam komunitas. Hal ini dapat memberikan rasa damai dan membantu mereka mengatasi kecemasan yang berkaitan dengan kematian, untuk lembaga sosial, dapat mengembangkan dan menyediakan program dukungan spiritual yang dirancang khusus untuk lansia, termasuk kegiatan keagamaan, diskusi spiritual, dan sesi konseling dengan pemuka agama untuk membantu mengurangi kecemasan terkait kematian.

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak liponsos keputih surabaya yang telah mendukung penelitian. Kami berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat, kontribusi positif dalam memahami serta mengatasi kecemasan menghadapi kematian pada lanjut usia.

References

[1] J. W. Santrock, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup (13th ed.). Jakarta, Indonesia: Erlangga, 2018.

[2] E. B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta, Indonesia: Erlangga, 2016.

[3] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 25 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia Tahun 2016-2019, 2016.

[4] D. Fitri and Ifdil, "Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia)," Ejournal UNP, vol. 5, no. 2, 2016. [Online]. Available: http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor

[5] D. Adelina, T. Noor, and E. D. Soeharto, "Hubungan Kecerdasan Ruhaniah dengan Kesiapan Menghadapi Kematian pada Lansia," Jurnal Wina-Dela, pp. 1–13, 2012.

[6] R. Keane, Essentials of Clinical Geriatrics. Singapore: McGraw-Hill, 1989.

[7] T. Widyastuti, M. A. Hakim, and S. Lilik, "Terapi Zikir sebagai Intervensi untuk Menurunkan Kecemasan pada Lansia," Gadjah Mada Journal of Professional Psychology (GamaJPP), vol. 5, no. 2, p. 147, Oct. 2019, doi: 10.22146/gamajpp.13543.

[8] J. Feist, G. J. Feist, and Handriatno, Teori Kepribadian (Theories of Personality) (7th ed.). Jakarta, Indonesia: Salemba Humanika, 2014.

[9] R. Kurniasih and S. Nurjanah, "Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kecemasan akan Kematian pada Lansia," Jurnal Keperawatan Jiwa, vol. 8, no. 4, pp. 391–400, 2020.

[10] CNN Indonesia, "Tak Selalu Buruk, Ketahui 4 Manfaat Rasa Cemas," Aug. 2019. [Online]. Available: https://www.cnnindonesia.com/gayahidup/20190813154014-284-420921/tak-selalu-buruk-ketahui-4-manfaat-rasa-cemas

[11] Kementerian Agama RI, "Qur’an Kemenag," [Online]. Available: https://quran.kemenag.go.id/

[12] K. Hidayat, Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme (4th ed.). Bandung, Indonesia: Mizan Media Utama, 2022.

[13] F. Irwan, R. Zulfitri, and Jumaini, "Hubungan Persepsi Lansia Tentang Kematian Dengan Kecemasan Dalam Menghadapi Kematian," JUKEJ: Jurnal Kesehatan Jompa, vol. 1, no. 1, pp. 42–50, 2022. [Online]. Available: https://jurnal.jomparnd.com/index.php/jkj

[14] Yulianto, "Hubungan Ketaatan Beribadah dengan Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia di Desa Haduyang Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan," Skripsi, Universitas Islam Negeri Raden Intan, Lampung, 2021.

[15] W. S. Ardias and P. I. Purwari, "Kecemasan pada Dewasa Tua (Lansia) dalam Menghadapi Kematian," Ejournal.uinib.ac.id, vol. 22, no. 1, pp. 60–71, 2019.

[16] F. L. Maghfiroh, Hubungan Religiusitas dengan Kecemasan terhadap Kematian pada Lansia, Skripsi. Mojokerto, Indonesia: STIKES Bina Sehat PPNI Mojokerto, 2021.

[17] Suroso, Psikologi Islami. Jakarta, Indonesia: Pustaka Belajar, 2011.

[18] M. Mellawati, "Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kecemasan Dalam Menghadapi Kematian Pada Lansia," Thesis, Universitas Islam Riau, Riau, 2019.

[19] A. Pamungkas, S. Wiyanti, and R. W. Agustin, "Hubungan antara Religiusitas dan Dukungan Sosial dengan Kecemasan Menghadapi Tutup Usia pada Lanjut Usia Kelurahan Jebres Surakarta," Jurnal Ilmiah Psikologi Candrajiwa, vol. 2, no. 1, pp. 1–10, 2013.

[20] P. S. P. Putra and L. K. P. Susilawati, "Hubungan antara Dukungan Sosial dan Self Efficacy dengan Tingkat Stress pada Perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah," Jurnal Harian Regional, vol. 5, no. 1, pp. 145–157, 2018.

[21] I. Rifati, A. F. Abdi, A. Arumsari, and N. Fajriani, "Konsep Dukungan Sosial," Academia, vol. 1, no. 1, pp. 1–9, 2018.

[22] J. Purba, A. Yulianto, and E. Widyanti, "Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Burnout pada Guru," Jurnal Psikologi, vol. 5, no. 1, pp. 77–88, 2007.

[23] M. Dianto, "Profil Dukungan Sosial Orang Tua Siswa di SMP Negeri Kecamatan Batang Kapas Pesisir Selatan," Jurnal Counseling Care, vol. 1, no. 1, pp. 42–53, 2017.

[24] Y. Novita, U. Romayati, W. T. Wahyudi, and M. R. Zainaro, "Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kecemasan pada Lansia di Desa Bandar Jaya Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Jaua Lampung Tengah," Jurnal Kesehatan Houlistik, vol. 8, no. 2, pp. 64–70, 2014.

[25] D. W. Andhita, Aplikasi Statistika Parametrik dalam Penelitian. Yogyakarta, Indonesia: Erlangga, 2016.

[26] R. Z. Hanim, "Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Perawatan Diri pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Jenggawah Kabupaten Jember," Skripsi, Universitas Jember, 2018.

[27] A. Hadi, "Pengaruh Dukungan Sosial dan Modal Psikologis terhadap Kesejahteraan Subjektif Pegawai Bank X," Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018.

[28] D. P. Suwarsito and E. Z. Astuti, "Analisa Regresi dan Korelasi antara Pengunjung dan Pembeli terhadap Nominal Pembelian di Indomart Kedungmundu Semarang dengan Metode Kuadrat Terkecil," Psikometrika, vol. 1, no. 2, pp. 1–12, 2021.

[29] K. B. Grill, J. Wang, and M. E. Lyon, "The Role of Religiousness and Spirituality in Health-Related Quality of Life of Persons Living with HIV: A Latent Class Analysis," Psychology of Religion and Spirituality, vol. 12, no. 4, pp. 494–504, 2020.

[30] C. Loibl, D. R. Haurin, J. K. Brown, and S. Moulton, "The Relationship Between Reverse Mortgage Borrowing, Domain and Life Satisfaction," Journals of Gerontology: Series B, vol. 75, no. 4, pp. 869–878, Mar. 2020, doi: 10.1093/geronb/gby096.

[31] I. Koper, H. R. W. Pasman, B. P. M. Schweitzer, A. Kuin, and B. D. Onwuteaka-Philipsen, "Spiritual Care at the End of Life in the Primary Care Setting: Experiences from Spiritual Caregivers—A Mixed Methods Study," BMC Palliative Care, vol. 18, no. 1, Nov. 2019, doi: 10.1186/s12904-019-0484-8.

[32] P. Pentaris and K. Tripathi, "Palliative Professionals’ Views on the Importance of Religion, Belief, and Spiritual Identities Toward the End of Life," International Journal of Environmental Research and Public Health, vol. 19, no. 10, May 2022, doi: 10.3390/ijerph19106031.

[33] B. V. Mendes et al., "Spiritual Well-being, Symptoms and Performance of Patients Under Palliative Care," Revista Brasileira de Enfermagem, vol. 76, no. 2, 2023, doi: 10.1590/0034-7167-2022-0007.

[34] E. F. Acoba, "Social Support and Mental Health: The Mediating Role of Perceived Stress," Frontiers in Psychology, vol. 15, 2024, doi: 10.3389/fpsyg.2024.1330720.

[35] J. Vila, "Social Support and Longevity: Meta-Analysis-Based Evidence and Psychobiological Mechanisms," Frontiers in Psychology, Sep. 2021, doi: 10.3389/fpsyg.2021.717164.

[36] R. C. Ho and R. Cheng, "The Impact of Relationship Quality and Social Support on Social Media Users’ Selling Intention," 2020.

[37] J. Li and Y. Wang, "The Impact of Chronic Diseases on the Psychological Well-being of Older Adults," Journal of Aging and Health, vol. 33, no. 2, pp. 120–132, 2021.

[38] H. Shin and C. Park, "Social Support and Psychological Well-being in Younger and Older Adults: The Mediating Effects of Basic Psychological Need Satisfaction," Frontiers in Psychology, vol. 13, Nov. 2022, doi: 10.3389/fpsyg.2022.1051968.

[39] S. Zheng et al., "Cultural Differences in Social Support Seeking: The Mediating Role of Empathic Concern," PLoS One, vol. 16, no. 12, Dec. 2021, doi: 10.1371/journal.pone.0262001.

[40] L. Shao, M. Goli, A. A. Sewagegn, and A. K. Sahu, "Impact of Social Media Usage on Civic Engagement Towards Societal Problems: Qualitative Modelling Approach," Discrete Dynamics in Nature and Society, vol. 2022, 2022, doi: 10.1155/2022/1121215.

[41] C. C. Igbokwe et al., "Social Support, Health Behaviors, Self-Esteem, and Successful Aging in a Sub-Saharan African Sample of Older Adults: Test of a Sequential Mediation Model," Innovation in Aging, vol. 8, no. 4, 2024, doi: 10.1093/geroni/igae030.

[42] H. R. Walen and M. E. Lachman, "Social Support and Longevity: A Meta-Analysis," Health Psychology Review, vol. 13, no. 3, pp. 221–239, 2019.

[43] J. S. Pahl and A. Knafo-Noam, "Mental Health and Death Anxiety in Older Adults: A Review," Psychological Medicine, vol. 50, no. 5, pp. 804–815, 2020.

[44] D. P. McAdams and E. de St. Aubin, "The Life Story and Psychological Well-being: The Role of Life Experiences in Shaping Death Anxiety," Journal of Personality, vol. 89, no. 1, pp. 85–89, 2021.

[45] K. L. Chou and I. Chi, "Social Isolation and Health Outcomes in Older Adults: A Review," Aging and Mental Health, vol. 23, no. 1, pp. 4–11, 2019.

[46] K. A. Van Orden and K. R. Conner, "Cognitive Factors and Death Anxiety in Older Adults," Journal of Cognitive Psychotherapy, vol. 33, no. 4, pp. 259–274, 2019.

[47] S. T. Charles and L. L. Carstensen, "Aging and Emotional Experience: The Role of Social Engagement," Current Directions in Psychological Science, vol. 28, no. 2, pp. 104–109, 2019.

[48] J. Zheng and L. Gao, "Parenting Self-Efficacy and Social Support Among Parents in Mainland China Across the First Six Months Postpartum: A Prospective Cohort Study," Midwifery, vol. 123, p. 103719, 2023, doi: 10.1016/j.midw.2023.103719.

Published

2025-02-16

Issue

Section

Islamic Psychology

Categories