Abstract

This research was conducted to describe and also analyze the facts regarding guardianship in carrying out their functions and responsibilities as guardians of children who have not yet been in high school. This study uses normative juridical approach, using the statue approach with analytical descriptive method. The results of this study that a guardian for a child has an obligation and responsibility in his care, both in managing the wealth of children under guardianship, education and the survival of children up to adulthood, namely when they are 21 or married. property rights not only include material things, but also include things that are immaterial, as long as this immaterial thing has economic value. According to Islamic law which is the basis of guardianship in stipulating the provisions of guardianship and law, it is always based on the Qur'an remembering how important it is to safeguard property, especially to the assets of orphans.

Pendahuluan

Perkembangan hukum islam di Indonesia Pada abad ke 20 M, dalam wacana syafi’iyah ini terjadi karena adanya islamisasi di indonesia sejak abad 12 dan 13 M. Merupakan saat-saat dimana perkembangan hukum islam berada pada masa masa kritis sampai pada yang terparahnya menutup pintu ijtihad meskipun terhadap hal tersebut banyak tokoh yang tidak setuju. Diawal munculnya gerakan pembaharuan islam pada abad 20 M. Pasang surutnya pemberlakuan hukum islam disebabkan oleh kekuatan hukum dan politik yang berdasar pada kekuatan sosial dan budaya yang kemudian berinteraksi dengan proses penetapan keputusan politik yang membawa perkembangan yang berkesinambungan terhadap pemberlakuan hukum islam di indonesia, baik dizaman penjajahan belanda, kesultanan, maupun pasca kemerdekaan. Isyarat positif dalam dimensi masyarakat indonesia terhadap perkembangan hukum islam, kini sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi sejak awal tahun 1980an tampak memiliki kemajuan yang cukup signifikan.

Adapun hukum islam yang membahas tentang al Mall tentu juga menjadi salah satu hal yang menjadi perbincangan terkaitan pemberlakuaknnya dalam sebuah hukum nasional, mengingat hal ini tak lepas dari pasang surutnya perekembangan penerapan hukum islam di Indonesia mengingat pentingnya tentang pemeliharaan harta benda. Oleh sebab itu, sangat diperlukan hukum islam mengenai pengelolaan harta benda (al-Mal), agar manusia tidak saling melanggar haknya masing-masing. Islam memang mengatur hal ini, seperti konsep tentang al-masalih al-khamsah (lima masalah yang harus dijaga) yaitu : menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga al-mal.

Di zaman modern yang penuh dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, banyak perubahan sikap hidup serta cara pandang dalam berpikir, sehingga terciptalah norma yang berbeda dimasyarakat. Oleh karena itu, masalah-masalah yang tergolong baru yang muncul seiring dengan perubahan zaman saat ini sudah tidak layak lagi dipersoalkan melalui nas yang terlalu terpaku dengan realita zaman dulu, melainkan melalui ijtihad. Namun, ada hal yang tidak perlu dikompromikan seperti berikut ini :

Semua hal yang diketahui secara pasti (qath’i) dalam agama, maka tidak ada tempat untuk melakukan ijtihad, dan tidak ada pula tempat untuk memperselisihkannya, karena yang benar itu hanya satu (tidak ganda). Hukum islam menjadi lebih dinamis seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan iptek saat ini.

Metode Penelitian

Sifat penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan menggunakan “pendekatan perundang-undangan (statue approach)”, yang lebih fokus terhadap pengumpulan undang-undang dan literatur yang berkaitan dengan perwalian, kemudian menganalisa hukum baik yang tertulis ataupun tidak, dan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peraturan hukum islam serta dampak pemberlakuannya di Indonesia. Penelitian ini memakai metode deskriptif analitis , yakni “suatu analisis data yang tidak keluar dari suatu ruang lingkup sampel yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan seperangkat data atau menunjukan komparasi data yang ada hubungannya dengan seperangkat data lain”. Dengan demikian penelitian ini dilakukan untuk menjabarkan dan sekaligus juga menganalisa fakta-fakta mengenai perwalian dalam melaksanakan fungsi serta tanggung jawabnya sebagai wali dari anak yang belum baligh. Sehingga akan terlihat tentang gambaran tersebut dengan berkaca kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat atas aturan hukum tentang perwalian ini.

Kedudukan Hukum Islam Dalam Negara Republik Indonesia

Terlihatnya pemikiran hukum islam di Indonesia di awali pada abad 17 M. ajaran tasawuf, fiqih, dan wacana syafii’yyah berada pada sebuah keseimbangan baru, hal ini disebabkan adanya perwujudan baru dari gerakan pemikiran tasawuf terdahulu dan keberadaan mazhab syafi’i yang dianut oleh penyebar islam pertama di Nusantara pada abad ke 12 dan 13 M. Gerakan pemikiran islam Indonesia ketika itu di dasari dua karakteristik epitemologi ini.

Pada abad ke 17 Sultan Iskandar Muda Mahlota Alam Syah dan Sultan setelahnya begitu responsif untuk mendatangkan ulama demi dalam berdakwah. Qurais Shihab menyebutkan dalam catatannya setidaknya ada empat ulama besar yang berhasil memperkaya khazanah keislaman di Nusantara, mereka adalah Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Sinkili. Memasuki abad ke 18 M, terdapat beberapa tokoh terkenal seperti Muhamma Arsyad al-Banjari, Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh. Dan pada abad ke 19 lahirlah tokoh-tokoh dari tanah air yang namanya harum hingga ke berbagai penjuru dunia, diantaranya Ahmad Rifa’i Kalisahak, Nawawi al-Bantani, dan Muhammad Ibn Umar.

Sebenarnya hukum islam yang ada di indonesia dapat dibaca melalui potret sejarah masuknya islam ke Indonesia, secara Sosiologis dan kultural hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup. Tanpa reserve hukum islam dapat diterima oleh masyarakat. Hukum islam dengan gayanya yang fleksibel inilah yang memungkinkan itu semua dapat terjadi.

Pada abad ke 17 ketika pertama kali belanda datang ke Nusantara dengan melihat realitas tersebut membuat mereka tertarik untuk paham tentang eksistensi hukum Islam. Setelah cukup lama tidak turut ikut campur, melalui VOC pada mei 1760 akhirnya mengeluarkan sebuah kebijakan terhadap hukum islam yang berisi ketentuan diberlakukannya hukum islam terkait hukum perkawinan, dan hukum kewarisan. Unttuk di pergunakan dalam pengadilan VOC bagi masyarakat Indonesia yang kemudian dikenal dengan nama Conpendium Freiyer, hal ini dapat dikatakan sebagai legislasi hukum islam pertama di Indonesia.

Dengan diresmikannya pengadilan agama yang ada di palembang melalui resolusi Gubernur Jendral No. 12 tanggal 3 juni 1823 yang di ketuai oleh pangeran penghulu, memiliki berbagai wewenang, Diantaranya; 1). Perkawinan 2). Perceraian 3). Pembagian harta 4). Kepada siapa anak diserahkan apabila orang tua bercerai 5). Hak tiap-tiap orang tua yang bercerai terhadap anak mereka 6). Pusaka dan wasiat 7). Perwalian 8). Perkara-perkara lain yang menyangkut agama. Hal ini menambah bukti bahawa adanya legislasi hukum islam di Indonesia.

Politik kolonial belanda pada mulanya posisi hukum Islam sangat diuntungkan, Setididaknya sampai pada abad ke 19, selanjutnya melihat adanya perubahan orientasi politik yang cukup signifikan belanda mulai melakukan penyempitan terhadap gerak hukum islam. Dengan munculnya teori Receptie belanda memiliki cukup banayk alasan untuk membentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang pengadilan agama di jawa dan madura. Berbekal

komisi untuk meninjau kembali wewenang pengadilan agama di Jawa dan Madura. Berbekal sebuah rekomendasi dari komisi ini yang melahirkan STB No. 116 yang membahas tentang pencabutan otoritas pengadilan agama terkait penanganan perkara waris dan sebagainya. Yang selanjutnya permasalahannya dilimpahkan kepada pengadilan Negeri.

Terjadi sebuah silang pendapat sebelum indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945 terkait ideologi yang akan dianut oleh negara Indonesia. Pada mulanya, BPUPKI yang memperjuangkan dibentuknya negara Islam, ternyata hanya 15 orang yang memilih negara Islam dibanding negara berdasar kebangsaan dari total 62 orang anggotanya. Setelah melalui pedebatan panjang, akhirnya tercapai sebuah kompromi, panitia 9 dari BPUPKI pun berhasil melahirkan piagam Jakarta yang salah satu di antaranya adalah ketuhanan yang maha Esa dengan mewajibkan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya. Namun, kemudian itu tertolak dan hanya mencantumkan ketuhanan yang maha esa, meski demikian 7 kata yang kemudian dihapuskan tersebut tetap dapat diambil maknanya dalam kata “Ketuhanan yang Maha Esa” bahwa Syariat Islam tetap berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam. Pada tanggal 5 Juli 1959, Piagam Jakarta ditetapkan di dalam konsiderans dan disaat yang sama juga dilakukan penetapan undang-undang 1945 dalam diktum yang disahkan dalam satu peraturan UU yang disebut sebagai dekrit presiden yang keduanya memiliki kedudukan hukum yang setara.

Demikian itu, Piagam Jakarta dan UUD 1945 merupakan satu kesatuan dalam konstitusi dan ini diyakini oleh presiden Republik Indonesia. meski 7 kata di dalam piagam Jakarta tersebut ditolak namun ke-7 kata itulah yang diejawantahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan satu kesatuan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Jika kita memaknai secara negatif, tentunya tidak boleh dibuat lagi peraturan perundang-undangan di dalam negara republik Indonesia yang berkontradiksi dengan syariat Islam. dan jika kita memaknainya secara positif, tentunya bagi siapa pun yang memeluk agama Islam wajib untuk menjalankan syariat Islam. Pada tahun 1959, Perdana Menteri Juanda menerangkan bahwa perlu adanya undang-undang yang didasari oleh syariat Islam yang kemudian diberlakukan sebagai Hukum Nasional. Dengan adanya pengakuan terhadap piagam Jakarta sebagai sebuah dokumen historis dari UUD 1945, selanjutnya ia harus menjadi sebuah dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan yang tidak hanya pengakuannya mengenai pembukaan undang-undang dasar 1945 saja.

Dinamika transformasi hukum islam ini memiliki sinergitas dengan dinamika perpolitikan di Indonesia. Sejak tahun 1970 sampai kini, hubungan antara Islam dan negara setidaknya terdapat tiga fase, yaitu fase antagonistik yang bertelau-telau konflik, fase resiprokal yang bergradasi pembangunan struktur atau organisir Islam, dan terakhir fase akomodatif yaitu fase harmonisasi antara islam dan negara, kini telah membuka lebar pintu bagi islamisasi pranata sosial, budaya, politik, dan hukum di indonesia. hukum islam yang secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial, budaya, politik dan hukum dalam masyarakat ini konsep pengembangannya diubah ke arah yang lebih kualitatif dan diakomodasikan dalam berbagai perangkat perundang-undangan dan peraturan yang dilegalisasikan oleh pemerintah dan negara.

Produk UU yang diwarnai dengan syariat Islam ini jika digeneralisasikan memiliki setidaknya 3 bentuk. Pertama, yaitu hukum yang baik secara formil maupun materil menggunakan metode ancangan Islam. Kedua, hukum yang asas dan prinsip dari syariat Islam muncul sebagai materi muatan dari hukum itu sendiri melalui sebuah proses taqnin. Ketiga, Hukum yang bermuatan syariat Islam ditransformasikan sebagai sumber persuasi dan kekuasaan. Sampai saat ini, akhirnya syariat Islam memperoleh pengakuan yuridis dalam kedudukannya sebagai hukum di Indonesia. Bentuk-bentuk peraturan dan perundangan terkait diberlakukan sistem hukum islam berpengaruh ke dalam pranata sosial, budaya, politik dan hokum di Indonesia.

Pemberlakuan syariat Islam di Indonesia kini telah memperoleh kedudukan secara konstitusional, yang dikemukakan oleh Abdul Gani Abdullah setidaknya berdasarkan pada tiga alasan, yaitu. Pertama, alasan filosofis, Islam merupakan ajaran, pandangan hidup, asas moral, dan cita hukum mayoritas masyarakat Indonesia yang memeluk agama Islam. Kedua, alasan sosiologis, cita dan kesadaran hukum yang bersendikan ajaran Islam di Indonesia telah memiliki ikatan erat dengan sejarah perkembangan masyarakat Indonesia.Dan ketiga alasan yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 undang-undang dasar 1945 memberi tempat secara yuridis formal terhadap hukum islam.

peristiwa yang paling fenomenal dari sekian banyaknya produk undang-undang yang memuat hukum islam yaitu disahkannya undang-undang nomor 7 tahun 1985 tentang peradilan agama. betapa tidak, hal ini menjadi sangat begitu fenomenal karena peradilan agama telah dikenal sejak masa penjajahan dan baru disahkan dalam undang-undang pada tahun 1980. Padahal undang-undang nomor 14/1970 yang tertuang dalam pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan peradilan agama berikut eksistensi dan kewenangannya.

Isyarat positif dalam dimensi masyarakat indonesia terhadap perkembangan hukum islam, kini sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi sejak awal tahun 1980an tampak memiliki kemajuan yang cukup signifikan. Tersisa positioning dari umat islam sendiri perihal kondisi politik agar tak kehilangan cahaya dan arahnya agar dapat tetap beraktualisasi dan mengambil peranan yang lebih dalam proses menyejahterahkan bangsa Indonesia.

Konsep Perwalian Dalam Hukum Islam

Syari’at Islam terutama yang tertera dalam adillatus syar’i (Al-Qur,an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas) telah memperlihatkan sejauh mana peranan, kewajiban, dan hak yang dimiliki oleh seorang wali atas anak dan materi (dalam kasus ini harta benda) yang berada dibawah naungannya. Seperti apa yang tertera dalam surat an-Nisa 5-6.

Artinya :

“Dan jangan engaku menyerahkannya pada orang-orang yang belum matang akalnya, harta ( mereka yang berada dalam naunganmu ) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Belanjakanlah mereka dan berilah mereka pakaian ( dari hasil harta itu ) dan berkatalah kepada mereka dengan kata-kata yang baik”.(5)

“Dan ujilah anak yatim itu hingga mereka cukup usia untuk menikah. apabila menurut pendapatmu mereka telah pandai ( pmemelihara harta ), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan ( janganlah kamu ) tergesa-gesa ( membelanjakannya ) sebelum mereka dewasa. Barang siapa ( di antara pemelihara itu ) mampu, maka hendaklah ia menahan diri ( dari memakan harta anak yatim itu ) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut, kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi ( tentang penyerahan itu ) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai pengawas ( atas persaksian itu )”.(6)

Perwalian dalam hukum islam hakikatnya merupakan tanggung jawab dari orang tua,hal ini di atur dalam hadlanah yaitu pemeliharaan terhadap anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar namun belum tamyiz, menyediakan kebutuhannya, menjaganya dari hal yang dapat menyakiti dan merusaknya serta mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu menghadapihidup dalam memikul tanggung jawabnya sendiri. Dari hal inilah dapat diketahui peran wali sebagai pengganti orang tua mana kala tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai wali bagi anak di sebabkan sudah meninggal ataupun hal yang dapat menghalanginya dalam perwalian.

Dalam hukum islam perwalian dapat di ketegorikan menjadi 3 bagian yaitu :

  1. Perwalian terhadap jiwa (Al-Walayah ‘alan-nafs) yang melingkupi pada perwalian dalam urusan kekeluargaan misalnya, pernikahan, pengasuhan dan pembelajaran anak, dan kegiatan anak. Pada dasarnya Al-Walayah ‘alan-nafs berada di tangan ayah, kakek dan wali yang di tunjuk menggantikan keduanya.
  2. Perwalian terhadap harta (Al-Walayah ‘alal-maal) yang melingkupi pada ihwal pengelolaan kekayaan dalam pengembangannya, pembelanjaan dan penjagaanya terhadap kekayaan tersebut.
  3. Perwalian terhadap jiwa dan harta (Al-walayah ‘alan nafsi wal maal ma’an) perwalian ini meliputi pada urusan-urusab pribadi dan harta kekayaan yang mana perwalian ini hanya berada dalam tanggung jawab ayah dan kakek

Perwalian tidak hanya mencakup pada anak yang belum menikah atau berada di bawah umur 21 tahun, melainkan meliputi juga pada perwalian pada anak kecil, orang gila dan safih. Pertama, tanggung jawab dari perwalian anak kecil merupakan hak ayahnya kemudian kakeknya dan orang yang menerima wasiat dari ayahnya, hingga berakhir pada qadhi. Orang tua wanita tidak memiliki hak perwalian kecuali sebagian ulama syafi’iyah membolehkan perwalian dari ibu. Dalam pandangan Imam Hambali dan Imam Maliki wali selain ayah dapat diberikan pada orang yang menerima wasiat dari ayah. Manakala ayah tidak meninggalkan wasiat maka perwalian jatuh pada tangan hakim Syar’i, kakek dari bapak dalam pandangan kedua imam tersebut tidak memiliki hak perwalian karena tidak dapat mempercayai posisi ayah. Pandangan Imam Hanafi senada dengan kedua imam tersebut, namun yang membedainya adalah manakala sesudah dari wali yang di wasiatkan oleh ayah diberikan pada kakek dari pihak ayah, lalu orang yang diwasiati olehnya. Manaqkal tidak ada wali tersebut maka diberikan putusannya pada qadhi.

Kedua,orang gila sama perwaliannya dengan anak kecil dalam tata urutannya,baik orang gila tersebut gila sebelum akil baligh atupun sesudahnya. Ketiga, anak safih merupakan anak yang terkena gangguan mental (idiot), Madzhab Maliki dan Hambali sepakat bahwa apabila seorang anak kecil yang sudah menginjak akil baligh kemudian terkena ke-safih-an maka hak perwaliannya di serahkan pada tangan hakim.

Syarat, Kewajiban dan Tanggung Jawab Wali.

Dalam hukum islam, syarat-syarat seorang wali dapat disamakan dengan syarat dari wali nikah, adapun syarat-syarat menjadi wali diantaranya 1. Mukallaf, mukallaf adalah orang yang terbebani hukum dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. 2. Muslim. 3. Baligh dan berakal sehat, oleh karenanya orang gila atau orang yang sedang terhalang akalnya baik disebabkan penyakit (idiot dan ayan) gugur kewaliannya. 4. Adil, seorang wali hendaknya dapat berlaku adil karena di tangannya pemeliharaan baik harta dan anak serta pendidikannya. 5. Laki-laki.

Adapun dalam hadlanah orang yang dapat menjadi wali dalam pengasuhannya para ulama sepakat bahwa wali tersebut haruslah berakal sehat, dapat dipercaya dan suci dirinya, bukan orang yang suka melakukan maksiat, bukan penari, bukan peminum khamr serta tidak mengabaikan anak yang di asuhnya. Oleh karena itu seorang wali yang dapat menjadi wali bagi anak memiliki syarat yang harus dipenuhi sehingga dapat menjamin pada kesejahteraan anak dan mendidik anak menjadi orang baik kelak, syarat-syarat tersebut meliputi pada: 1. Dewasa dan akal sehat 2. Dapat dipercaya 3. Sanggup melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dan mempertanggung jawabkannya 4. Seagama, dalam hal ini yang dimaksut adalah seorang muslim.

Semua syarat- syarat tersebut harus ada dalam diri wali semenjak dirinya menjadi wali dan menerima orang yang daloam perwaliannya, hal itu harus dipenuhi. Kewaliannya dapat gugur atau tercabut mana kala terdapat perubahan misal hilangnya salah satu syarat dalam diri wali. Adanya perwalian ini bermaksut untuki membantu ketidak mampuan orang yang menjadi subjek perwalian dalam membantunya untuk mengaktualisasikan dan mengekspresikan dirinya.

Oleh karena itu, dasar dari adanya perwalian merupakan hal yang harus dilakukan pada seorang anak untuk mencegah adanya kekosongan pengasuhan pada diri anak yang telah tercabut orang tuanya padahal anak tersebut masih membutuhkan bimbingan serta pengasuhan orang tuanya. Perwalia ini membantunya dalam menjalani kehidupan baik dalam pendidikannya ataupun managemen kekayaannya, sehingga perwalian dalam islam tidak sekedar mengisi lubang belaka, melainkan mengisinya dengan peran yang setara yang dibutuhkan lubang tersebut agar tertutupi kekosongannya.

Disamping itu, Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) juga memberikan ketentuan pada pasal 107 ayat 4 agar wali itu harus orang yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum dan diutamakan.

Penggunaan kekayaan seorang wali diperbolehkan dalam pandangan imam madzhab selama penggunaan tersebut bertujuan untuk kebaikan anak dan tidak menyebabkan mudlarat dalam penggunaan tersebut, berdasarkan hal ini maka diperbolehkan menggunakan kekayaan dari orang yang dalam perwaliannya (anak kecil, orang gila dan safih) untuk berdagang agar harta tersebut berkembang, meminjamkannya, dan membelikannya pada hal-hal yang dibutuhkan, seperti perabut rumah, peralatan pendidikan anak dll, dengan ketentuan adanya kemashlahatan dan kejujuran dalam penggunaan harta tersebut.

Pada umumnya pengasuhan anak oleh orang tua dalam hukum islam diserahkan pada ibu manakala adanya perceraian dalam hubungan rumah tangga, jika ibunya meninggal atau pengasuhannya tidak dapat dilakukan maka perwalian anak akan diberikan dengan susunan seperti berikut ini:

a. Orang tua wanita dari mama ( nenek dari mama )

b. Orang tua wanita dari bapak ( nenek dari bapak )

c. Orang tua wanita dari nenek (Buyut)

d. Selanjutnya mendahulukan perempuan. Kalo sudah tidak ada, baru laki-laki (kalau sudah tidak ada yang perempuan ) seperti bibi.

Dalam hukum islam disebutkan bahwa yang dapat dan berhak untuk dijadikan wali dari seorang anak terdiri dari:

1. Apabila anak sudah dapat memilih atau tidak lagi membutuhkan pelayanan dari pelayannya maka yang dijadikan sebagai walinya sesuai dengan urutan hukum waris, yaitu orang yang terlebih dahulu menerima waris.

2. Jika anak tersebut belum dapat memilih, maka kerabat ibu didahulukan dibandingkan dengan kerabat ayah, adapun urutannya adalah sebagai berikut:

  1. Nenek dari pihak ibu
  2. Kakek dari pihak ibu
  3. Saudara perempuan sekandung dari anak tersebut
  4. Saudara perempuan se ibu
  5. Saudara perempuan se ayah
  6. Kemenakan perempuan sekandung
  7. Kemenakan perempuan ibu se ibu
  8. Saudara perempuan ibu sekandung
  9. Saudara perempuan ibu se ibu
  10. Saudara perempuan ibu se ayah
  11. Kemenakan perempuan ibu se ayah
  12. Anak perempuan saudara laki-laki sekandung
  13. Anak perempuan saudara laki-laki se ibu
  14. Anak perempuan saudara laki-laki se ayah
  15. Bibi dari ibu sekandung
  16. Bibi dari ibu se ibu
  17. Bibi dari ibu se ayah

Oleh karena itu dalam urutan tersebut hakim agama dapat memutuskan melalui urutan-urutan tersebut dimana kerabat dari ibu lebih didahulukan dibanding kerabat ayah, hal ini terjadi ketika tidak ada wasiat dari orang tua yang meninggal sebagai pengganti pewaliannya pada anak.

Seorang wali bagi seorang anak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam pengasuhannya, baik dalam pengelolaan kekayaan anak yang di bawah perwaliannya, pendidikannya serta keberlangsungan hidup anak hingga dewasa yaitu ketika berumur 21 atau sudah menikah. Manakala yang menjadi di bawah perwaliannya merupakan anak yatim yang dalam kondisinya miskin dan tidak mampu, maka diperbolehkan untuk mengambil hartanya untuk digunakan dalam pemenuhan kebutuhan anak yatim tersebut atau untuk mengembangakan harta tersebut dan harus disertai dengan kejujuran dan tanggung jawab.

Tugas dan kewajiban seorang wali adalah mengurus pribadi anak serta harta kekuasaan anak yang berada di bawah perwaliannya untuk kepentingan anak itu sendiri. Selanjutnya perincian tugas dan kewajiban seorang wali terhadap diri dan harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya dijelaskan dalam pasal 110 Kompilasi Hukum Islam:

1. Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di Bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.

2. Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.

3. Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.

4. Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat ( empat ) Undang-undang No. 1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat ( tiga ) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun sekali.

Dalam Pasal 111 ayat ( 1 ) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berda di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.

Adapun gugurnya sebuah perwalian terdapat 2 faktor, faktor tersebut meliputi pada diri wali ataupun anak yang dibawah perwaliannya, adapun gugurnya perwalian disebabkan dari diri wali adalah manakala syarat dari walayah dalam dirinya tidak dapat dilakukan atau ia tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut serta wali tersebut meninggal dunia. Dimana kemudia hal itu diputuskan pengadilan untuk mengagantinya yang dapat memenuhi kriteria dan sanggup menggantikan perwalian dari orang yang telah gugur perwaliannya.

Adapun faktor gugurnya perwalian disebabkan oleh anak dibawah perwaliannya adalah manakala anak tersebut telah dewasa berumur 21 tahun sehingga dapat hidup mandiri dan mengurusi hidupnya sendiri atau anak tersebut meninggal dunia.

Konsep Al- Mall Dalam Prespektif Hukum Islam

Dalam al-Quran, kata “al-Mal” diulang sebanyak 86 (delapan puluh enam) kali, dikemukakan di berbagai macam ayat dan surah al-Quran. Semuanya itu memiliki konotasi arti yang sama yakni harta benda, kakayaan atau hak milik. Begitu banyaknya pengulangan bahasan tentang al-Mal dalam al-Quran, karena pada kenyataannya harta benda memang sering menjadi sumber ketegangan antar manusia, bahkan sampai menimbulkan pertikaian antar sesama.

Oleh karena itu, hukum yang mengatur tentang harta benda (al-Mal) dalam kehidupan manusia sangat di perlukan, agar tidak dilanggarnya hak milik seseorang oleh orang lain. Islam memang mengatur itu dalam al-masalih al-khamsah (lima masalah yang harus dijaga) yaitu : pertama, menjaga agama, kedua menjaga jiwa, ketiga menjaga akal, keempat menjaga keturunan, dan kelima menjaga al-mal.

Dizaman modern yang penuh dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, banyak perubahan sikap hidup serta cara pandang dalam berpikir, sehingga terciptalah norma yang berbeda dimasyarakat. Oleh karena itu, permasalahan baru yang muncul seiring dengan perkembangan zaman saat ini, tidak harus dihadapkan kepada ketentuan nas yang konfrontatif, melainkan melalui ijtihad. Namun, ada hal yang tidak perlu dikompromikan seperti berikut ini :

Semua yang telah diketahui secara pasti di dalam agama, maka tidak ada ruang untuk melakukan ijtihad, dan tidak ada pula ruang untuk memperselisihkannya, karena yang benar itu hanya satu (tidak ganda). Hukum islam menjadi lebih dinamis seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan iptek saat ini.

Konsep Hak Milik Dikalangan Fuqaha

al-Syatibi (W 790 H) yang merupakan ulama dikalangan mazhab Maliki berpendapat, bahwa hak milik adalah sesuatu yang dikuasai oleh seseorang sehingga ia dapat menghalangi orang lain untuk mengambilnya. Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulannya bahwa harta tetap menjadi milik yang berhak menerimanya, kecuali bila berpindah tangan karena dibenarkan oleh hukum (syara’) yang berlaku seperti jual beli, wasiat, hibah, wakaf atau warisan.

Bagi ulama kalangan Syafi’i dalam hal ini az-Zarkasyi, hak milik adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya, baik berupa materi ataupun pengambilan manfaat. Hal ini senada dengan pendapat al-Sanhuri, bahwa hak milik adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi yang dilindungi oleh undang-undang. Dalam hal ini hak milik didefinisikan sebagai harta, yang dimana memiliki tiga kategori, yakni dari segi manfaatnya, nilai ekonominya, dan juga ada perlindungan undang-undangnya.

Ulama dari kalangan hanafi menyatakan bahwa hak milik merupakan segala sesuatu yang layak untuk dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. Dalam hal ini barang atau sesuatu yang dimiliki merupakan sesuatu yang benar-benar kongkrit dan ril. Dari definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dinamakan dengan harta (al-Mal) ialah sesuatu yang dapat dikuasai, dapat disimpan dan ada manfaatnya.

Sementara konsep hak milik menurut Wahbah Azzuhaili ulama dari kalangan hanbali ialah yang dimana ketika barang itu hilang atau rusak, maka si pelaku harus mempertanggung jawabkan dan menanggungnya. Definisi ini memberikan dua kriteria tentang hak milik, yakni yang mempunyai nilai ekonomi dan memiliki hak cipta, sehingga yang merusak atau menyalahgunakannya diancam dengan undang-undang yang berlaku.

Berdasarkan penjelasan dari berbagai kalangan fuqaha diatas tentang konsep al-Mal, dapat dambil kesimpulannya bahwa hak milik itu tidak hanya mencakup hal yang bersifat materi, tetapi juga mencakup hal yang bersifat immateri, sepanjang hal yang immateri ini memiliki nilai ekonomi.

Hak Cipta Merupakan Kepemilikan yang Sempurna ( Milk Tam) Dalam Islam

Mengenai hak cipta sendiri, memang sejauh ini tidak ditemukan bahasannya dalam literatur fikih klasik, meskipun ada sedikit bahasan tentang hak cipta yang telah dikemukakan oleh imam al-Qarafi al-Maliki dalam kitabnya al-Furuq. Dalam bahasan fikih, ada yang disebut milik sempurna (milk tam) dimana haknya meliputi bendanya dan sekaligus manfaatnya, dan ada yang disebut milik tidak sempurna (milk naqis), yang dimana haknya hanya meliputi bendanya namun tak bisa memanfaatkannya.

Ada tiga ciri kepemilikan sempurna (milk tan), pertama pemilik bebas menggunakan dan mengolah sesuai kehendaknya, kedua pemilik bebas mengambil manfaatnya asalkan tidak bertentangan dengan hukum syara’, ketiga kepemilikan dan pemanfaatannya tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Kepemilikannya sepanjang masa terkecuali berpindah tangan ke orang lain sesuai aturan hukum yang berlaku.

Sementara untuk ciri kepemilikan tak sempurna (milk naqis) ada dua macam, pertama yang hanya terbatas pada pemanfaatannya tanpa menguasai bendanya (seperti hak atas bangunan atau barang yang disewakan), kedua yang hanya terbatas pada kepemilikan bendanya namun tak bisa memanfaatkannya (seperti hak atas benda yang tergadai sebelum ditebus).

Untuk hak cipta sendiri, memang merupakan hasil karya yang diciptakan seseorang berdasarkan olah pemikirannya, sehingga dia berhak menguasai dan memanfaatkannya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum syara. Oleh karena itu, hak cipta dikategorikan seperti hak harta, karena pada hakikatnya karya itu sendiri merupakan harta yang dimilikinya dan dia mempunyai otoritas atas harta tersebut dan tidak boleh disalahgunakan oleh orang lain. Dengan demikian hak cipta memang mempunyai posisi yang sama dengan hak atas harta benda dalam hukum islam.

Perlindungan Hukum Islam Terhadap Hak Cipta

Memang sejajar hak cipa dengan hak atas harta benda, oleh karenanya perlu adanya payung hukum yang melindunginya. Pada dasarnya hak ini adalah hasil karya seseorang yang berupa karya tulis, atau penemuan-penemuan lain yang memberikan manfaat bagi orang lain dalam seluruh aspek kehidupan dan bagi pendidikan ilmu pengetahuan. Hak cipta termasuk hak pribadi yang dalam islam sendiri dilarang untuk melanggarnya, seperti dalam ayat al-Quran seseorang dilarang menggunakan atau memakan harta yang guakn miliknya dengan cara yang salah (bathil). Setidaknya, ada tiga kategori yang meliputi hak pribadi yakni kehormatan, keselamatan jiwa serta hartanya yang sangat dilindungi didalam islam, sehingga melanggarnya merupakan dosa yang sangat berat, karena sama halnya seperti mencuri/merampas harta atau barang orang lain dengan sengaja.

Pelanggaran terhadap hak cipta bisa dikategorikan seperti mencuri yang dimana merupakan tindakan mengambil hak yang bukan miliknya tanpa sepengetahuan pemiliknya. Faktor ekonomi bukan hanya menjadi alasan utama dalam pencurian hak cipta ini, tapi juga karena faktor kekurang-sadaran atas kepemilikan orang lain yang sempurna (milk tam).

Dalam islam sendiri, meskipun hak cipta itu merupakan hak pribadi dan hak milik sempurna (milk tam), namun bisa juga menjadi manfaat bagi orang lain dalam hal kepentingan umum. Seperti contoh kecil, hak membaca atau meminjam buku hasil karya orang lain yang dipajang di perpustakaan. Hal-hal seperti ini memang diatur dalam islam sedemikian rupa agar memberikan keharmonisan antar sesama manusia, namun tak melupakan kewajiban untuk taat terhadap hukum yang berlaku.

Wali al-Mall dalam Konsep Hukum Islam Nasional

Perwalian di atur dalam ketentuan hukum islam dan KUHP, indonesia dahulu dikenal sebagai negara kaya penghasil rempah-rempah, hal ini menarik perhatian para saudagar dari berbagai penjuru dunia tidak terkecuali pedagang asal Arab, Gujarat, dan Persia. Para saudagar di samping kesibukannya berdagang, mereka juga melancarkan aksi dakwah untuk memperkenalkan ajaran islam kepada para penduduk setempat. Pada 1 Mei 1848 KUHP di berlakukan dan masih berlaku hingga saat ini. KUHP berlaku atas asas konkordansi atau asas keselarasan, yang di atur dal pasal 131 ayat (2) IS.

Islam dan KUHP mengenal beberapa jenis perwalian. Para ulama mengelompokkan perwalian menjadi tiga bagian.

  1. al-walayah ‘alan-nafs. (Perwalian terhadap jiwa)
  2. al-walayah ‘alal-mal. (Perwalian terhadap harta)
  3. al-walayah ‘alan-nafsi wal-mali ma‘an. (Perwalian terhadap jiwa dan harta)

Dalam perwalian dapat dikelompokan setidaknya menjadi dua kategori menurut dedi Junaedi:

  1. Yang mencakup kepentingan bersama ya itu bangsa/rakyat yang disebut perwalian umum. Waliyul amri yang bisa disebut sebagai gubernur atau sebagainya. Kemudian perwalian yang mencakup jiwa dan harta seseorang yang disebut sebagai perwalian khusus seperti kepada seorang anak yatim.
  2. Perwalian yang meliputi perwalian terhadap harta benda sekaligus terhadap diri pribadi yaitu perwalian khusus.

Menurut hukum islam yang menjadi landasan perwalian dalam menetapkan aturan tentang perwalian, selalu berdasarkan al-Qur’an mengingat betapa penting pemeliharaan pada harta, apalagi menyangkut harta seorang anak yatim. Firman Allah: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangalah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.”

Jika anak-anak yatim tersebut belum dewasa maka walinya berhak untuk mengelolah harta tersebut, jika tidak maka Allah akan sangat murka terhadapnya. Dalam kontek hukum hal ini telah di adopsi kedalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) di atur dalam pasal 107 ayat (1-4) bab tentang perwalian. Yang kemudian dinyatakan bahwa:

  1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
  2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.
  3. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut, dan
  4. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Dalam pasal 110 KHI, dinyatakan bahwa wali memiliki tanggung jawab yang bertujuan memelihara kesejahtraan yang di perwakilkan begitupun dengan harta benda yang ditinggalkan.

  1. Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada dibawah perwaliannya.
  2. Wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari.
  3. Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan dan kelalainnya
  4. Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun sekali.

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:

  1. Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
  2. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut.
  3. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.

Menyangkut dengan mulai berlaku suatu perwalian MartimanProdjohamidjojo mengatakan sutau perwalian itu berlaku:

  1. Sejak perwalian itu diangkat oleh hakim dan bila pengangkatan itu dilakukkannamun dalam tidak kehadirian si wali maka saat pengangkatan itudiberitahukan kepadanya maka berlangsung lah perwalian tersebut.
  2. Jika suatu perhimpunan yayasan atau lembaga amal atas permintaan atau kesanggupan sendiri diangkat menjadi wali pada saat mereka menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu.
  3. Jika seorang perempuan bersuami diangkat sebagai wali, baik oleh hakim Maupun oleh salah satu orang tua dari kedua orang tuanya pada saat ia dengan bantuan atau kuasa dari suaminya atau dengan kuasa dari hakim menyatakan kesanggupanya menerima pengangkatan itu.
  4. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua sianak pada saatpengangkatan itu, karena meninggalnya, memperoleh suatu kekuatan untukberlaku dan yang dianggap sebagai wali menyatakan kesanggupan menerimapengangkatan itu.
  5. Jika seorang menjadi wali karena hukum, pada saat terjadi peristiwa yang mengakibatkan perwalianya.
  6. Di tunjuk oleh orang tua yang dimasudkan agar menjalankan kekuasaan dari orang tua, sebelum tiba waktunya meninggal dunia yang dilakukan dengan memberikan wasiat atau pesan dihadapan dua orang sebagai saksi.

Perlu diadakan inventarisasi semua aset anak di bwah umur pada awal penetapan perwalian, dan wali wajib mendokumentasikan semua perubahan terhadap aset itu. Hal ini guna untuk menjaga segala aset dari anak tersebut.

Wali dilarang mengikat, membebani, atau membagi aset tersebut kecuali demi kepentingan pengembangan aset tersebut. Dan jika wali terpaksa menjual aset tersebut karena suatu alasan tertentu, wali terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari pengadilan agama. Dan jika anak telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah maka semua harta/aset harus di alihkan kepada anak tersebut.

Pengadilan agama memiliki hak untuk memutuskan Jika terdapat aset yang disalahgunakan oleh seorang wali. Melalui proses inventarisir harta yang di kelolah dan wajib mengganti jika terdapat penyalah gunaan.

Dan adapaun jika wali itu miskin tidak ada halangan baginya mengambil harta tersebut guna keperluannya setiap hari, apabila dia terhalang untuk melakukan yang lain karena terhalang mengurusi anak yang di perwalikannya.

Menurut ilmu fiqih tugas dan kewajiban seorang wali tak ubahnya seperti tugas dan tangung jawab orang tua, dan ada dua hal yang dilakukan yaitu ia harus memelihara anak yang belum dewasa dan mengelolah harta kekayaan seperti layaknya orang tua, dan sorang ayah atau nenek dapat memberikan wasiat kepada orang lain sebagai wali anak sesudah ia meninggal.

Pelaksanaan perwalian terhadap diri seorang anak untuk menjaga kesejahteraan anak, mengawasi hal-hal yang berhubungan dengan dirinya dan segala macam yang belum dapat diperolehnya.Seperti pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan seorang anak yang masih di bawah umur.Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama.Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak.Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali.

Kesimpulan

Hukum islam dan pergolakan perkembangannya di tanah air yang telah mengalami sebuah masa naik turun membuat penerapan sebuah hukum islam di indonesia menjadi semakin mantap dan kokoh bahkan telah di akui secara yuridis. Mengingat negara indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, maka adanya pemberlakukan aturan-aturan hukum islam dalam negara indonesia amatlah penting, terutama jika berkaitan dengan harta kekayaan. Dengan adanya kementrian atau pengadilan tinggi agama maka aturan-aturan terkait perwalian dalam harta benda secara otomatis sangat di perhatikan oleh negara yang diwewenangi oleh pengadilan agama dalam menjalankan aturannya tentunya sesuai dengan hukum islam maupun secara hukum kenegaraan.

References

  1. al syatibi, al-muwafaqat fi ushul al-syariah. Mesir: dar al-qalam, ttp.
  2. P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media Grup, 2009.
  3. B. Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
  4. M. Fuad, Hukum Islam Indonesia. Yogyakart: LKIS, 2005.
  5. A. Shihab, Islam Sufistik. Jakarta: Mizan, 2001.
  6. T. Abdullah, Sejarah Dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
  7. I. Ramulyo, Azas-Azas Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 1997.
  8. B. Arifin, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Pers, 1996.
  9. A. Q. Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional. Yogyakarta: Kanisus, 1998.
  10. E. S. Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Ban- dung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1981.
  11. D. P. RI, Kembali ke UUD 1945. Jakarta: Deperte- men Penerangan RI.
  12. A. G. Abdullah, “Peradilan Agama Pasca UU,”
  13. Mimbar Hukum, vol. 1, 1994.
  14. S. Sabiq, Fiqih Sunnah. Bandung: Al-Maarif, 1980.
  15. M. A. Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
  16. M. J. Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab (Ja’fari,Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali). Jakarta: Lentera, 2001.
  17. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang- undandang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 2007.
  18. I. Ramulyo, Fiqih Islam Lengkap, Hukum Perkaw- inan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Akasara, 1974.
  19. Martiman, Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997.
  20. B. Nasution, S. Johan, and Warjiati, Hukum Perdata Islam. Bandung: Mandar Maju, 1997.
  21. A. Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
  22. M. A. al Baqi, Al-mu’jam Al-mufahras li Alfadh Al- quran al-karim. Mesir: Dar al-fikri, 1981.
  23. H. Wehr, A dictionary of modern written arabic. Beirut: Maktab du liban, 1980, bairut : maktab du liban.
  24. J. al Suyuti, “al-Asybah wa al-Nadair.” Beirut: Dar al-Fikri.
  25. W. al Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 4. Damsiq: Dar al-Fikri, 1989, vol. 4.
  26. F. al Daraini, Haq al-Ibtikar fi al-fiqh al-Muqarin. Bairut: Matba’ah Muassasah al-Risalah.
  27. A. al Khafifi, Mukhtashar Akhkam al-Muamalah al- Syar’iyyah. Kairo: Matba’ah al-Sunnah, 1952.
  28. D. Junaedi, Bimbingan Perkawinan. Jakarta: Akademika Pressindo, 2000.
  29. M. Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia legal Center Publishing, 2002.
  30. S. Rasjid, Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2001.