Islamic Mysticism
DOI: 10.21070/ijis.v2i2.16

The Meaning of Dhikr According to Abdul Qadir Jaelani


Makna Dzikir Menurut Abdul Qadir Jaelani

Indonesia
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Indonesia
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Indonesia

(*) Corresponding Author

Dhikr Al-Qur'an Tafsir

Abstract

This study examines the meaning of dhikr according to Abdul Qadir Al-Jailani as contained in Al-Jilani's. The choice of this figure was because his teachings were very closely related to the people in Indonesia, especially to the followers of the Naqshbandiyah Qadariyah Order. This research is a book research data processed through a method of description analysis in order to find a clear picture related to the meaning of dhikr in the literature. This study found: 1). The meaning of dzikir according to Abdul Qadir is to remember Allah in every moment of every event. In order to carry out what God commands and keep away from what God forbids and by doing the dhikr it will arrive at the mortal level. 2). The way of dhikr according to Abdul Qadir Jailani, there are two parts namely by oral and with qalb, for by oral that is by saying lafadz laa ilaha illaallah while with qalb must be done with: (a). Empty the heart other than the name of Allah (b). Get used to reading prayer beads at any time. (c). Don't concern yourself with worldly affairs but must always remember God (d). Trying to enjoy the dhikr so that it is truly enjoyable and feels mortality in his life. 3). The benefits of dzikir according to Abdul Qadir are: a). God also remembered, b). Forgiveness of sins, c). Up to mortal d). Enter the level of ma'rifaullah e). Calm his heart f). Meet with God g). granted the Prayer.

Pendahuluan

Kata dzakara dalam Alquran disebut sebanyak 266 kali yang terdiri dari 63 kata dalam berbagai bentuk derivasinya. Secara bahasa, perkataan dzikir berasal dari ungkapan bahasa Arab dzikir yang berarti mengingat, menyebut dan mengenang. Adapun yang dimaksudkan dengan dzikir dalam masalah amalliah agama adalah mengingat atau menyebut nama Allah. Al-Farra dan Ibnu Qutaibah memaparkan pengertian mengenai dzikir kepada Allah, menurut keduanya dzikir kepada Allah adalah tasbih dan tahlil, ketika seorang hamba menjauhkan dari kejahatan serta kemungkaran adalahdzikir kepada Allah. Apabila seorang hamba mengingat Allah, maka Allahpun akan memberikan pahala untuknya, diterangkan di dalam hadits qudsi :

فَاِنْ ذَكَرَنِيْ فَيْ نَفْسِهِ ذَكَرَنُهُ فِيْ نَفْسِيْ

“Jika hamba-Ku mengingat-Ku dalam dirinya, maka aku akan mengingatnya dalam diriku”

Seorang ulama yang ahli hikmah, Tsabit al-Bannani, pernah mengatakan, “Sesungguhnya aku mengetahui kapan Rabbku, Allah ‘Azza wa Jalla, ingat kepadaku”. Orang orang yang mendengar pernyataanya itu segera mengajukan pertanyaan kepadanya, “Bagaimana engkau bisa mengetahui hal itu?” ia menjawab “Apabila aku ingat kepadanya, maka Dia pasti akan mengingat kepadaku”

Dalam pengertian yang lebih jelas, Mu’jam al-Fazh al-Qur’an al-Karim memberikan 4 pengertian dasar dari kata dzikir tersebut yaitu :

  1. Mengucapkan dan menyebutkan nama Allah, serta menghadirkan dalam ingatan
  2. Mengingat nikmat Allah dengan cara menghadirkan Allah dalam kehidupan manusia dengan menjalankan kewajiban manusia sebagai hamba Allah
  3. Mengingat Allah dengan menghadirkan-Nya dalam hati manusia yang disertai tadabbur, baik disertai dengan ucapan lisan atau tidak
  4. Allah mengingat hamba-hamba-Nya melalui pembalasan kebaikan kepada mereka dan mengangkat derajatnya.

Adapun cara berdzikir secara umum menurut Ibnu Athaillah membagi bentuk dzikir kepada tiga macam yaitu pertama, dzikir jalli, kedua dzikir khafi dan ketiga dzikir hakiki.

Dzikir Jalli

Dzikir jalli adalah dzikir lisan, dzikir jalli ini merupakan dzikir yang dilakukan oleh lisan baik itu dengan lafadz yang mengandung arti pujian, pujaan atupun rasa syukur kepada Allah Swt. Dzikir ini biasa digunakan oleh orang awam yang masih belum terbiasa dengan lafadz-lafadz dzikir yang telah umum.

Dzikir Khafi

Dzikir Khafi adalah dzikir dengan hati. Dzikir ini bagi orang ahli wilayah, ialah dzikir hati dengan menghilangkan rasa kebosanan, dan selalu musyahadah kepada tuhannya. Dzikir khofi ini bisa dilakukan setiap saat dan setiap waktu oleh umat manusia, namun walupun demikian ada baiknya jika lisan dengan hati tetap mengingat Allah, dan keduanya saling mendukung untuk tetap mengingat Allah.

Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah juga pernah mengatakan “ ada dua jenis dzikir, yang pertama, dzikir kepada Allah Azza wa jalla yang dilakukan di dalam qalbu. Dan yang kedua, yang lebih baik, yaitu ingat kepada Allah ‘Azza wa Jalla saat terdorong hendak melakukan maksiat, sehingga tidak jadi melakukannya”

Dzikir khafi ini merupakn dzikir yang sangat rahasia karena hanya orang yang berdzikir dan Allah yang tau. Dinyatakan bahwa dzikir khafi atau rahasia tidak bisa diangkat ke langit oleh malaikat karena tidak tampak baginya. Dzikir semacam ini merupakan rahasia antara seorang hamba dan Allah.

Dzikir Hakiki

Dzikir Hakiki ini adalah dzikir yang paling tersempurna, dzikir hakiki adalah dzikir seluruh tubuh dan seluruh anggotanya ialah dengan memelihara anggotanya dari yang dilarang Allah dan mengerjakan apa yang diperintahkan Allah. Allah menciptakan anggota badan dan tubuh ini berfungsi hanya untuk berdzikir kepada Allah dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Allah memerintah manusia untuk berdzikir pasti mempunyai banyak manfaat, tidak mungkin Allah memerintah hambanya tanpa ada manfaat yang bisa diambil. Diantara manfaatnya yaitu :

Dzikir Sebagai Penenang Hati

Al-Hakim al-Tirmidzi seorang sufi dari Termez, Uzbekistan, menggambarkan hubungan dzikir dengan ketenteraman hati, sebagai berikut “Dengan mengingat Allah yang diresapkan ke dalam kalbu, hati seseorang akan menjadi lembut. Sebaliknya, hati yang lupa kepada Allah dan dipenuhi rekaman tentang berbagai dorongan nafsu dan kelezatan hidup semata, hati akan keras dan kering”.

Dzikir Sebagai Taqarrub kepada Allah

Ibnu atha’illah berpendapat bahwa “dzikir adalah membebaskan diri dari sikap lalai dan lupa dengan menghadirkan hati secara terus menerus bersama Allah. Sebagian kalangan mengatakan bahwa dzikir adalah menyebut secara berulang-ulang dengan hati dan lisan nama Allah, salah satu sifat-Nya, salah satu hukum-Nya, atau lainnya, yang dengannya seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah”

Dzikir Sebagai Pembersih Hati

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan “Tidak diragukan lagi bahwa hati dapat berkarat sebagaimana besi dan perak, sedangkan alat pembersih hati ialah dzikir. Dzikir dapat membuat bersih hati, sehingga dia jadi seperti cermin yang bersih. Apabila seseorang meninggalkan dzikir maka hatinya akan berkarat. Dan apabila dia berdzikir, maka hatinya akan bersih. Pembersih berkaratnya hati dapat dipicu oleh dua perkara, yaitu istigfar dan dzikir. Barangsiapa tidak sigap dalam kebanyakan masanya, maka karat dihatinya akan bertambah banyak sesuai dengan tingkat kelalaiannya. Jika hati berkarat, maka segala hal tidak terlihat di dalamnya sesuai dengan kenyataannya. Dia akan menemukan kebathilan dalam bentuk yang haq (kebenaran), dan melihat yang haq (kebenaran) dalam bentuk kebatilan. Karena, jika karat hati itu menumpuk, maka hati akan jadi gelap, hingga bentuk kebenaran tidak terlihat sebagaimana mestinya”.

Biografi Abdul Qadir Al-Jailani  dan Karakteristik Tafsir Al-Jailani

Nama lengkap lengkap Abdul Qadir Jailani adalahAbu Muhammad Muhyiddin Abdul Qadir Al-Jailani bin Abu Shalih Musa Janki Dausat bn Abdullah al-Jailani. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Ramadhan 470 H/1077 M di desa Jilan Thabaristan, terletak di sungai Dijlah. Letaknya dari kota Baghdad di tepuh sehari perjalanan. Sekarang sudah memisahkan diri dari Thabaristan. Ayah Abdul Qadir Jailani adalah seorang yang berketurunan mulia, dapat dilihat dari nasabnya yaitu As-Sayid asy-Syarif Abu Muhammad Muhyiddin Abdul Qadir Al-Jailani. ibunya adalah Abdul Qadir binti Ummul Khair Amatul Jabbar Fathimah binti Sayyid Abdullah ash-Shauma’i Zahid

Abdul Qadir menghabiskan waktu di Jilan sekitar 18 tahun yaitu dari tahun 470-488. Pada tahun 488-551 H, ia mengembara untuk menuntut itu di Bagdhad. Setelah mengeyam pendidikan dikota Bagdhad ia meulai mengembara menjadi sufi, hingga meninggalkan kota Bagdhad untuk menuju gurun-gurun guna menjalani kehidupan sufi. Lalu kembali lagi ke Bagdhad dan mengelola madrasah pemberian Abu Sa’ad al-Muharrimi. Selama kurang lebih 40 tahun dari tahun 521-561 H. Ia menjadi penasihat di madrsahnya, yakni di Bab al-Azaj. Ia mengabdikan hidupnya untuk mencari dan mengamalkan ilmu.

Pada Tahun 521H/ 1127M Sepeninggal guru fiqihnya yang bernama Abu Sa’id al-Mubarak, Abdul Qadir diberi amanah untuk memegang sekolahan yang diberi nama Bab al-Azaj yang didirikan oleh sang guru Abu Sa’id al-Mubarak. Hal ini dikarenakan tidak ada murid yang dinilai lebih menonjol dari pada Abdul Qadir. Akhirnya Ia pun memangku sekolah dengan mengajar, berfatwa, dan memberi nasihat. Dalam proses belajar-mengajar Ia bagi menjadi 2 jenis, antara lain:

  1. Materi pembelajaran terstruktur. Dalam hal ini mencakup berbagai macam ilmu pengetahuan yang erat kaitannya pada pembelajaran dalam bidang rohani. Pembelajaran ini telah dilakukan dari awal sekolah di dirikan
  2. Materi pembelajaran yang terfokus dengan dakwah. Dalam hal ini Ia menyampaikan materi secara rutin dalam 3 waktu, yakni: Jumat pagi, Selasa sore, dan Minggu pagi. Untuk hari Jumat dan Selasa pembelajaran dilakukan di sekolah, sedangkan untuk hari Minggu pembelajaran dilakukan di asrama.

Kehidupan Abdul Qadir Jailani secara garis besar dapat dibagi kedalam dua bagian penting. Lima puluh satu tahun pertma, sejak 470-521 H, dipergunakan sepenuhnya untuk mencari, menghimpun,dan mendapatkan ilmu. Empat puluh tahun terakhir hingga wafat dipergunakan sepenuhnya untuk memberikan pengajaran, nasihat, dan bimbingan yang berpusat di Madrasah Abi Sa’d al-Mukharrami di Baghdad. Abdul Qadir beribadah dan memberikan fatwa dengan mengikuti Madzhab Hanbali kemudian beralih mengikuti madzhab Syafi’i.

Abdul Qadir al-Jailani wafat setelah menghabiskan hidupnya dalam ketaatan, ibdah dan lmu, di Baghdad pada malam sabtu tanggal 8 Rabiul Akhir tahun 561 H (1165 M). Ia dimakamkan pada malam itu juga di dalam madrasahnya pada gerbang al-Azj, Baghdad. Ia terpaksa dimakamkan pada malam hari karena terlalu banyak penziarah yang hadir, nyaris tidak ada seorang pun yang ingin melewatkan untuk dapat menghadari pemakamannya. Pada saat itu, semua lapang, jalan raya, pasar dan rumah padat oleh lautan manusia, sehingga tidak mungkin pemakamanya dapat dilaksanakan disiang hari. Ibnu an-Najjar mengatakan, “Jenazah Abdul Qadir sudah siap dimakamkan pada malam hari. Kemudian putranya yang bernama Abdul Wahhab menshalati jenazah ayahnya bersama orang-orang yang hadir dari kalangan keluarga, sahabat, dan murid-murid. Setelah itu jenazahnya dimakamkan diserambi madrasah, tetapi gerbang madrasah tidak kunjung dbuka samapai siang. Disepanjang hari itu, orang-orang ramai mendatangi pusara untuk melakukan shalat dan berziarah”. Kemudian Ibnu an-Najjar berkata “ Abdul Qadir al-Jailani wafat pada pemerintahan al-Mustanjid Billah Abul Muzhaffar Yusuf bin Al-Muqtafa li Amrillah bin Al-Mustazhhar Billah al-Abbasi”.

Dzikir Menurut Abdul Qadir Al-Jailani  Dan Jemaah Tarekat Naqsabandiyah

Makna Dzikir

Syeikh Abdul Qadir memberikan makna dzikir di beberapa ayat, diantaranya: (1) Mensucikan Allah secara konsisten atau secara terus menerus di segala kegiatan dan aktifitas baik ketika malam datang atau siang yang banyak di sibukan dengan berbagai aktifitas, dan di berbagai tempat. Abdul Qadir pun menafsirkan kata وَتَبَتَّلۡ dengan penafsirannya bahwa selalu beribadah dengan selalu mengingat Allah dengan tekun dan fokus yang sempurna dengan tidak memalingkan hati manusia dari mengingat Allah di setiap aktifitas manusia, dan jangan sampai aktifitas itu menjadikan suatu alasan manusia melupakan Allah.

(2) Mengingat Allah akan apa yang diperintah-Nya dan mengingat Allah Akan apa yang dilarang-Nya. Pengertian kedua ini yang uraikan oleh Syeikh Abdul Qadir dalam Q.S Al-A’raf [7] : 201 beliau menjelaskan dzikir dengan redaksi :

“(sesungguhnya orang-orang yang bertakwa) dari hamba-hamba Allah (jika ditimpa) dan dikuasai kepadanya (was-was) atau kekhawatiran yang menyelimuti hati mereka (dari) bisikan (setan maka ingatlah Allah) kepada apa yang diperintahkan mengingat Allah akan apa yang diperintah-Nya dan mengingat Allah Akan apa yang dilarang-Nyaoleh Allah kepada mereka dan apa yang dilarang oleh Allah (jika mereka) mengingatyang diperintahkan dan yang dilarang, (maka mereka melihat kesalahannya) atau merasa bersalah dan tidak lagi melakukan itu dan meminta kepada Allah untuk tidak jatuh kepada kesalahan lagi”.

Dari ayat ini Abdul Qadir menafsirkan bahwa dzikir adalah mengingat perintah dan laranganNya. Dan orang yang seperti itu merupakan orang-orang yang bertaqwa, karena orang yang bertakwa jika mereka mengingat kesalahannya yang di sebabkan oleh perbuatan mereka, maka mereka akan sangat merasa bersalah dan tidak mau lagi melakukan hal itu. Penjelasan di atas senada dengan Q.S Al-Baqarah [2] : 152) “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” Ayat ini menegaskan kepada manusia bahwa mengingat Allah adalah sebuah keharusan. yang tidak boleh ditinggalkan.

(4) Mengingat Allah dengan hati dan lisan. Dzikir ini mengingat Allah dengan melalui lisan dan dalam hati sebagai refleksi dari ketekunan dan focus kepada Allah SWT. Q.S Al-Imran [3] : 191 memvisualisasikan orang yang mengingat Allah dalam setiap keadaan, jika sudah demikian pasti akan selalu melaksanakan apa yang diperintah Allah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah, ia senantiasa bertawajuhkepadaNya. Sehingga seseorang yang berdzikir dengan serius akan berjalan kepada tingkatan sakr, lalu menjadi hairah, lalu masuk ke tingkatan istighraq, hingga pada tingkatan fana’.

Tingkatan fana’merupakan tingkatan yang sangat tinggi, seperti halnya tingkatan ma’rifat yang sangat tinggi tingkatnya, di mana seseorang yang sangat tekun dan fokus melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan selalu berdzikir dan merasakan kenikmatannya mengingat Allah, di situlah dia akan merasakan ketidak sadaran karena kenikmatan yang luar biasa bias melebur dengan Allah Swt.

Cara Berdzikir Menurut Syeikh Abdul Qadr Jaelani dan Praktek Dzikir Para Jemaah TQN

(1) Berdzikir hendaklah diiringi keimanan, dilakukan secara konsisten, penuh ketundukan, dan diliputi rasa takut dan kagum. Sehingga hatinya bergetar.

Abdul Qadir Al-Jailani menafsirkan firman Allah dalam Q.S Al-Anfal [8] : 2 إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya”  (Q.S. Al-Anfal [8] : 2)  “(sesungguhnya orang-orang yang beriman) yang sempurna keimanannya yang masuk kepada tingkatan yakin dan tingkatan ma’rifat, yang membenarkan para rasul yang menjelaskan kepada kalian jalan ketauhidan, kalian (yang jika disebut nama Allah) yang satu/esa, yang menyendiri dalam ketuhannya, yang satu dalam penciptaanya (maka gemetarlah) yaitu : takut dan kagum dan bergoncang (hati mereka) dihadapan keagungan kekuasan dan kegagahan Allah”

Menurut Syaikh Qadr Jailani, ada tingkatan yang akan dirasakan jika sudah melakukan dzikir secara konsisten. Seseorang yang berdzikir dengan sungguh-sungguh akan menuju pada tingkatan sakr, lalu menjadi hairah, kemudian pada tingkatan istighraq, lalu masuk lagi ketingkatan tauh, dan yang terakhir adalah tingkatan fana’, disinilah manusia yang beriman yang sudah konsisten dengan dzikirnya masuk ke tingkatan ma’rifatullah. Pada prakteknya untuk mencapai tingkatan ma’rifat, orang beriman harus melakukan dzikir dengan beberapa tahap. Pada tahap permulaan hendaknya dzikir diungkapkan dengan kata-kata yang diingat, kemudian tahap demi tahap menyebar keseluruh jasad, menurun ke hati kemudian naik ke jiwa, hingga mencapai alam rahasia, kemudian ketempat pesembunyian dari yang paling tersembunyi..

Dzikir yang dilafalkan secara verbal hanyalah sebagai wujud manifestasi dari hati agar tidak melupakan Allah Swt dan biasanya dzikir oleh mulut dilakukan setelah shalat. Namun tidak hanya sampai disitu, cara berdzikir yang diutarakan Abdul Qadir tidak hanya dengan lisan, namun dzikir dalam hati yang dilakukan dalam berbagai keadaan. berbagai tempat dan berbagai aktifitas harus selalu mengingat Allah yaitu dengan cara :

Selalu menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya setiap saat di dalam hati ataupun lisannya, sehingga di dalam hatinya hanya ada nama Allah Swt, tidak ada nama selain nama Allah di dalam hatinya. Srbagaimana diperintahkan dalam Q.S Al- Imran [3] : 41.

وَٱذۡكُر رَّبَّكَ كَثِيرٗا وَسَبِّحۡ بِٱلۡعَشِيِّ وَٱلۡإِبۡكَٰرِ

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari” (Q.S. Al-Imran [3] : 41)

Memaksimalkannya dengan selalu membacakan tasbih di setiap waktu. Sebagaimana Q.S Al-Ahzab [33] : 41-42 :

وَسَبِّحُوهُ بُكۡرَةٗ وَأَصِيلًا

“Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang” (Q.S Al-Ahzab [33] : 41-42)

Menurut Syeikh Abdul Qadir: “(dan bertasbihlah kepada-Nya) maksudnya mensucikan Allah dari segala hal yang tidak pantas disandarkan kepada Allah (pada waktu pagi dan petang) maksudnya setiap aktifitas kalian untuk mencari peningkatan dari yakin indrawi ke keyakinan yang hakiki.”

Tidak mengikuti hawa nafsu yang sibuk terhadap berbagai urusan duniawi, seperti dalam Q.S Al-Kahfi [18] : 28

...مَعَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجۡهَهُۥۖ وَلَا تَعۡدُ عَيۡنَاكَ عَنۡهُم...

“serta orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kamu berpaling mata kamu kepada orang kaya” (Q.S. Al-Kahfi [18] : 28)

Syeikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa :

“(serta) orang-orang fakir adalah ( orang-orang) yang menyembah (dan menyeru tuhannya) serta beribadah (kepada tuhannya di pagi dan senja hari) maksudnya di penghujung siang dan di antara keduanya (dengan mengaharap Dzat Allah) . Ia menghadap Allah dengan dipenuhi rasa ikhlas tanpa ada kecenderungan hawa nafsu dan kecenderungan oleh dunia , mere ka sesungguhnya dalam keadaan fakir (dan janganlah kamu berpaling) maksudnya jangan condong dan berpaling (mata kamu kepada orang kaya)”

Ketika berdzikir haruslah berusaha keras mengingat Allah, agar merasakan kenikmatan yang tidak ada batasnya sebagaimana hati dan mulut selalu mengingat Allah di setiap saat. Dengan kenikmatan dzikir itu manusia akan mendapatkan kenikmatan bertemu dengan Allah di dalam ke fana’annya. Sebagaimana Qs. Al-Ahzab [33] : 21

وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا

dan dia banyak menyebut Allah” .

Syeikh Abdul Qadir menjelaskan (dan ingatlah kepada Allah sebanyak-banyaknya) dalam bebagai kesaksian,dan rasakanlah hingga merasakan kenikmatan dalam menyebut nama Allah yang maha suci Allah, sehingga mendapatkan apa yang dijanjikan dari kemenangan yaitu bertemu dengan Allah.”

Itulah dzikir yang dilakukan manusia ketika sedang tidak berdzikir setelah shalat atau yang disebut dengan dzikir dzahr. Memang akan sulit bagi orang yang tidak terbiasa dengan dzikir yang dilakukan ketika sedang beraktifitas, tetapi jika sudah terbiasa maka dzikir itu akan menjadi sebuah kebutuhan batin yang sangat berguna.

Untuk dzikir yang dengan lisan, yaitu dzikir yang sering digunakan setelah shalat, dimana dzikir setelah shalat itu merupakan dzikir dengan selalu mengucapkan lafadz laa ilaaha ilallah. Karena kalimat yang paling utama dalam berdzikir adalah mengucapkan laa ilaaha iallah. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi menerangkan :

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَبِيبِ بْنِ عَرَبِيٍّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ كَثِيرٍ الْأَنْصَارِيُّ قَال سَمِعْتُ طَلْحَةَ بْنَ خِرَاشٍ قَال سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ

“Yahya bin Habib bin Arabi menceritakan kepada kami, Musa bin Ibrahim bin Katsir Al Anshari menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Abu Thalhah bin Khirasy berkata: Aku mendengar Jabir bin Abdullah r.a berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "D dzikir yang paling utama adalah, 'Tidak ada Tuhan selain Allah,' dan doa yang paling utama adalah (mengatakan), 'segala puji bagi Allah'. "

Abu Isa berkata, "Hadits ini adalah hadits hasan gharib. Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali dari hadits Musa bin Ibrahim." Ali bin Al Madini dan yang lainnya meriwayatkan hadits ini dan Musabin Ibrahim.

Kalimat inilah yang paling utama diucapkan ketika berdzikir, karena kalimat ini adalah sebuah penyaksian bahwa kita sebagai manusia hanya menyembah kepada Allah Swt semata.

Manfaat Berdizkir

Manfaat berdikir sebagaimana yang diutarakan Abdul Qadir adalah :

Akan selalu diingat oleh Allah Swt dengan embusan rahmaniah dan ruhaniah dari Allah langsung.

Orang yang senantiasa mengingat Allah setiap saat, akan selalu diingat pula oleh Allah Swt dengan embusan rahmaniah, dan embusan ruhaniah-Nya, bahkan Allah lebih sering mengingatnya dan lebih spontan daripada seseorang yang selalu ingat kepada Allah. Dengan melaksanakan dzikir setiap saat maka akan menambah kedekatan antara manusia dan sang penciptanya. Sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah [2] :152, Syeikh Abdul Qadir menjelaskan : (Maka ingatlah kalian kepada-Ku), wahai orang-orang yang beriman, degan senantiasa menjaga kecenderungan kepada-Ku serta bertawajuh/ menghadap kepada-Ku dengan tulus (niscaya Aku ingat kepada kalian) dengan embusan rahmaniyah dan semilir angin ruhaniyah (dan bersyukurlah kepada-Ku dengan menyandarkan semua nikmat kepada-Ku (dan janganlah kalian mengingkari nikmat-Ku) dengan menyandarkan nikmat-nikmat itu kepada berbagai sebab dan perantara.

Akan diampuni dosa-dosanya

Orang yang selalu mengingat Allah adalah orang sangat yang sangat istimewa di hadapan Allah karena Allah pun akan ingat kepada orang yang selalu berdzikir, oleh karenanya Allahpun pasti akan selalu mengampuni dosa yang telah dilakukan oleh orang yang selalu ingat kepada-Nya. Seseorang yang berdzikir jika melakukan dosa, dia langsung meminta ampun kepada Allah, dan dosanya pun diampuni oleh Allah. Namun tidak sampai disitu, setelah diampuni dosanya, dia merasakan penyesalan yang besar karena dosa yang telah dilakukannya dan bermaksud untuk tidak akan mengulangi dosanya tersebut. Sesuai dengan Firman Allah :

...ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ

“...mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (Q.S Al-Imran [3] : 135)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah lah yang selalu mengampuni dosa seseorang. Dan orang yang selalu ingat kepada Allah lah yang akan selalu mendapatkan pengampunan dosa dari Allah.

Orang yang berdzikir dipenuhi keimanan, rasa cinta dan kagum akan sampai pada tingkatan yang disebut fana’ yaitu hilangnya kesadaran karena nikmatnya bersama Allah.

Orang yang selalu mengingat Allah Swt dari mulai keadaan berdiri, duduk sampai dia berbaring, akan mendapatkan tingkatan fana’. Tingkatan fana’ adalah tingkatan dimana seseorang yang mengingat Allah dengan tekun dan konsisten akan merasakan hilangnya rasa dan kesadaran terhadap segala sesuatu selain Allah, karena hanyut, lebur dan berada dalam kesadaran hakiki bersama Allah. Dengan demikian orang yang mengingat Allah Swt tidak akan pernah kosong hatinya dari mengingat Allah, Sesuai dengan penafsiran Abdul Qadir dalam Q.S Al-Imran [3] : 191 :

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ

“ (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi” (Q.S Al-Imran [3] : 191)

Selanjutnya Syeikh abdul Qadir Jaelani menjelaskan, “Orang-orang yang mengingat Allah) yang Maha Tunggal dalam Dzat-Nya, disemua keadaan mereka (sambil berdiri) (sambil duduk) (atau berbaring) atau bersandar (dan mereka memikirkan) secara terus menerus (tentang penciptaan langit dan bumi) sampai mereka sakr, lalu sakr itu meningkat menjadi hairah. Setelah mengalami hairah mereka akan istighraq. Setelah istighraq, mereka akan mengalami tauh, setelah tauh mereka akan mencapai fana”.

Masuk ke tingkatan keimanan kepada Allah yang tinggi dan masuk ke tingkatan ma’rifatullah

Ma’rifatullah merupakan tingkatan tertinggi dari tingkatan yang membuat seseorang merasa dekat bersama Allah. Dengan ddzikir, seseorang akan cepat naik ke tingkatan ma’rifat, karena hatinya selalu mengingat Allah di setiap saat. Tingkatan ma’rifat ini akan menunjukan betapa nikmatnya jika sudah merasakan kebersamaan dengan Allah yang membuat seluruh alam semesta ini.

Allah berfirman dalam Q.S Al-Anfal [8] :2

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambah (kuat) imannya, dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal” (Q.S. Al-Anfal [8] : 2)

Syeikh Abdul Qadir menjelaskan bahwa “(sesungguhnya orang-orang yang beriman) yang sempurna keimanannya yang masuk kepada tingkatan yakin dan tingkatan ma’rifat, yang membenarkan para rasul yang menjelaskan kepada kalian jalan ketauhidan, kalian (yang jika disebut nama Allah) yang satu/esa, yang menyendiri dalam ketuhannya, yang satu dalam penciptaanya (maka gemetarlah) yaitu : takut dan kagum dan bergoncang (hati mereka) dihadapan keagungan kekuasan dan kegagahan Allah (dan jika dibacakan ayat ayat-Nya) yang menunjukan kepada kekuatan dan keagungan Allah, yang turun kepada rasul-rasul dan Nabi-nabi Allah, (maka bertambahlah) itu ayat (iman kalian) dan membenarkan keyakinan, serta kema’rifatan (dan) mereka itu adalah orang-orang yang sempurna keyakinannya dan kema’rifatannya (kepada tuhanlah) bukan kepada tuhan mereka dari sebab-sebab yang kurang (bertawakal) yaitu menyambungkan dan meminta tolong dalam segala urusan untuk membenarkan/meyakini dan diam di posisi tauhid yang gugur untuk berpaling kepada selain Allah”.

Hatinya tentram dan selalu merasa tenang

Di zaman modern ini, dimana manusia sangatlah sibuk dengan kesibukannya masing-masing, sehingga manusia di zaman sekarang sangat banyak fikiran karena kegiatan yang sangat banyak itu. Oleh karena itu umat manusia butuh sekali dengan ketengan hati. Dzikir ini adalah salah satu metode yang berguna untuk menenangkan hati sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Ra’d [13] : 28

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (Q.S Al-Ra’d [13] : 28)

Abdul Qadir menjelaskan tentang ayat ini bahwa orang yang tentram dan yang tenang hati adalah orang yang terhindar dari ikut-ikutan kepada yang bathil dan mencampur adukan keyakinan.

Bertemu dengan Allah

Kenikmatan yang amat besar adalah kenikmatan bertemu dengan Allah. Kenikmatan bertemu dengan Allah ini akan tercapai dengan dzikir yang selalu dilakukan di setiap saat, Abdul Qadir yang merangkan dzikir sebagai alat untuk bertemu Allah adalah Q.S Al-Ahzab [33] : 21

...لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا

“...bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S Al-Ahzab [33] : 21)

Faktor yang sangat mempengaruhi agar doa manusia yang berdoa dapat segera di ijabah

Selanjutnya dzikir adalah salah satu faktor yang membuat doa seseorang segera diijabah oleh Allah. Abdul Qadir membawa sebuah cerita bahwa seseorang yang mengetahui kejadian Nabi Zakariya yang di ijabahnya dengan mengosongkan hatinya selain nama Allah, dan itu menjadi faktor yang amat mempengaruhi doa seseorang dapat cepat di ijabah oleh Allah sebagaimana penafsiran Abdul Qair dalam Q.S Al-Imran [3] : 41

....وَٱذۡكُر رَّبَّكَ كَثِيرٗا وَسَبِّحۡ بِٱلۡعَشِيِّ وَٱلۡإِبۡكَٰرِ

...Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari” (Q.S. Al-Imran [3] : 41)

Penafsiran Abdul Qadir tentang ayat ini menjelaskan dengan mencantumkan kisah Nabi Zakariya yaitu :“(Sebutlah nama tuhanmu) dalam kalbumu (sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah) sucikan Dia dari segala bentuk kekurangan dalam tasbih yang dilakukan (di waktu petang) maksudnya, sepanjang malam (dan pagi) maksudnya, sepanjang siang, sehingga seluruh waktumu hanya engkau gunakan untuk mengingat Allah.

Dari pengalaman Zakariya ini seorang ‘arif mengetahui bahwa orang yang berdoa dan ingin diijabah oleh Allah harus terlebih dulu mengosongkan kalbunya dari semua yang selain Allah, serta menghabiskan waktu dengan berdzikir mengingat Allah. Bahkan, harus menghentikan lidanya dari mengucapkan apapun selain Allah, agar ia berhasil mendapatkan keinginannya dan doanya dikabulkan oleh Allah dengan anugerah dan nikmat-Nya”.

Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis tentang penafsiran tentang dzikir menurut Abdul Qadir Jailni dalam tafsir al-Jailani, maka penulis berkesimpulan bahwa :

Makna dzikir menurut Abdul Qadir Jailani adalah mengingat Allah dengan tekun, konsisten khusu’ serta diiringi dengan keimanan, rasa cinta, kagum dan ketundukan. Mengingat nama-Nya di lisan dan di dalam hati setiap manusia dalam setiap momen. Sehingga seseorang yang berdzikir dengan serius akan berjalan kepada tingkatan sakr, lalu menjadi hairah, lalu masuk ke tingkatan istighraq, lalu masuk lagi ketingkatan tauh, dan yang terakhir adalah tingkatan fana’

Cara berdzikir menurut Abdul Qadir adalah seperti biasa yaitu dengan lisan dan hati. Untuk dzikir lisan yaitu dzikir yang sering digunakan setelah shalat, dimana dzikir setelah shalat itu merupakan dzikir dengan selalu mengucapkan lafaz laa ilaaha ilallah. Untuk dzikir dengan hati yang digunakan setiap saat dan setiap waktu yaitu

  1. Selalu menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya setiap saat di dalam hati ataupun lisannya, sehingga di dalam hatinya hanya ada nama Allah Swt, tidak ada nama selain nama Allah di dalam hatinya
  2. Memaksimalkan dzikir yang selalu dilakukan di setiap saat itu dengan selalu membacakan tasbih di setiap waktu.
  3. Setelah itu seseorang yang berdzikir setiap saat itu lalu tidak mengikuti hawa nafsu yang memojokan manusia terhadap berbagai urusan duniawi
  4. Berusaha keras dengan selalu mengingat Allah itu sehingga merasakan kenikmatan yang tidak ada batasnya sebagaimana hati dan mulut selalu mengingat Allah di setiap saat, dan dengan kenikmatan dzikir itu manusia akan mendapatkan kenikmatan bertemu dengan Allah di dalam ke fana’annya.

Manfaat seseorang yang selalu melakukan dzikir di setiap saat

  1. Akan selalu diingat pula oleh Allah Swt dengan embusan rahmaniah dan ruhaniah dari Allah langsung.
  2. Seseorang yang berdzikir jika melakukan dosa, dia langsung meminta ampun kepada Allah, dan dosanya pun diampuni oleh Allah
  3. Bisa sampai ke tingkatan disebut fana’ yaitu hilangnya kesadaran karena nikmatnya bersama Allah.
  4. Masuk ke tingkatan keimanan kepada Allah yang tinggi dan masuk ke tingkatan ma’rifatullah
  5. Hatinya tentram dan selalu merasa tenang
  6. Bertemu dengan Allah. Kenikmatan bertemu dengan Allah ini akan tercapai dengan dzikir
  7. Faktor yang sangat mempengaruhi agar doa manusia yang berdoa dapat segera di ijabah

References

  1. M. F. A. Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfaz Al Qur’an Al Karim, ser. Dar Al Hadits, Kairo. Kairo: Dar Al Hadits, 2007, hlm 343-349.
  2. A. Azra, Ensiklopedia Tasawuf. Bandung: Angkasa, 2008.
  3. A. bin Ali bin Hajar Al-Ashqolani, Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Darru Al-Thayibah, 2005.
  4. Al-Ghazali, Ihya’ Ululumuddin. Jakarta: Gramedia, 2011, cet. Ke 1, jilid 2, hal 280.
  5. M. al-Lughah al Arabiyah, Mu’jam al-Fazh al- Qur’an al-Karim, and others, Ed. Kairo: al-Hay’ah al-Mishiriyah li al-ta’lif wa al-Nasr, Jilid 1 hal 171.
  6. M. N. Fuady, “Dzikir,” Jurnal Ta’lim Muta’alim, vol. 2, no. 4, 2012, hal 347.
  7. M. A. Sjukur, Ilmu Tasawuf II. Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
  8. I. A. al Sakandari, Miftah al-Fallah wa Misbah al- arwah. Beirut: Kutub al-Ilmiyyah, hal 256.
  9. I. Q. al Jauziyyah, “Al-Waˆbil wa al-Sayyib wa Raˆfi’ al-kalim al-Thayyib,” and others, Ed. Daˆr ‘Ilm al- Fawaˆid, hal 92.
  10. M. S. al Aziz, Terjemah Manaqib (Kisah Kehidu- pan) Syaikh Abdul Qadir Jailani. Surabaya: Terbit.
  11. A. Q. al Jailani, Tafsir al-Jilani. Tanggerang: Sal- ima Publika, 2013.
  12. A. Q. al Jilani, Al-Fath al-Rabbani wa al-Faiiz al- Rahmani/ meraih cinta ilahi: Lautan Hikmah Sang Wali Allah. Jakarta: Khatulistiwa, 2009, hal xiii.
  13. A. Q. al Jailani, Adab al-Sulk wa al-Tawasul ila Manazil al-Muluk/ Raihlah Hakikat Jangan Abaikan Syariat: Adab Perjalanan Spiritual. Bandung: IKAPI, 2007.
  14. A. Taufik, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.
  15. A. Q. al Jailani, Tafsir al-Jilani. Pakistan: Al- Maktabah al-Ma’rufiah, 2010.
  16. ——, Sirul Al-asrar. Damaskus: Daru Al-Sanabil, 1994.
  17. K. A. RI, Bukhara : Alqur an Tajwid dan Terjemah- nya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadits Sahih. Bandung: Syaamil quran, 2010.
  18. Turmudzi, Jami’ul Kabir. Beirut: Darrul Gharab Al-Islamy, 1996.