Islamic Law
DOI: 10.21070/ijis.v4i0.1578

Legal Protection Against Substitute Heirs Based on Islamic Law


Perlindungan Hukum Terhadap Ahli Waris Pengganti Berdasarkan Hukum Islam

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Persengketaan Warisan Ahli Waris Putusan Pengadilan

Abstract

This study aims to determine and analyze the determination of substitute heirs in the Decision of the Sidoarjo Religious Court Number 1498/Pdt.5/2020/PA.Sda and the Judge's Decision whether to consider the principles of Islamic inheritance law in accordance with the Compilation of Islamic Law on legal protection of substitute heirs. This research method uses a normative research type using a case approach. By collecting data on primary legal materials and secondary legal materials from court decisions and materials related to problems, namely scientific articles, journals. The analysis of legal materials begins through a literature study, which begins with an inventory by collecting the legal rules as a whole by relating to the main issues that exist. As in the case of inheritance rights disputes that occur as a result of one of the heirs not wanting to divide each part by deliberation. So that it can be used as a valid reason to file a dispute. This study concludes that the Sidoarjo Religious Court in deciding cases of inheritance rights disputes, uses Islamic inheritance law as a material consideration that is adapted to the Compilation of Islamic Law to make the decision. In addition, it also uses the principle of balanced justice to determine the share of heirs and substitute heirs.

Pendahuluan

Sebagai negara bangsa yang besar dengan wilayah yang luas, Indonesia adalah negara dengan beragam bahasa, budaya, suku, dan agama. Karena adanya perbedaan kepentingan, keberagaman ini dapat menimbulkan konflik sosial. Untuk mengatasi perbedaan tersebut maka perlu disusun peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur kehidupan seluruh masyarakat untuk menciptakan rasa keadilan.

Sebagai penggerak perubahan kehidupan masyarakat, hukum harus mampu mengantisipasi dalam mengikuti perkembangan sosial serta budaya yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun masyarakat belum sepenuhnya memahami konsep hukum ini, karena penjelasannya masih umum belum secara terperinci terkait aturannya. Kejadian ini semata-mata untuk memenuhi keinginan publik untuk melakukan sebuah perubahan, tanpa memiliki pengetahuan yang cukup tentang konsep tersebut. Akibatnya di kalangan masyarakat dalam penegakan aturannya kurang maksimal. Sehingga instrumen seperti ini tidak dilakukan untul kepentingan individu atau kelompok, melainkan untuk capaian tertentu.

Hukum Islam merupakan bentuk hukum yang diadopsi oleh Indonesia untuk mengatur hubungan hukum antar orang Indonesia. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Undang-undang ini menjelaskan segala tindakan hukum yang menaati ajaran islam, seperti pada hukum waris.

Hukum Waris Islam yaitu berkaitan dengan pengalihan seorang almarhum yang akan mewarisi harta. Oleh karena itu, dalam hukum waris ada tiga unsur utama yang saling terkait yaitu ahli waris, harta peninggalan, dan ahli waris. Waris pada dasarnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, dan hukum merupakan bagian dari aspek pokok ajaran Islam.[1]

Terdapat tiga jenis waris yang berlaku di seluruh negeri, yakni hukum waris islam, waris adat, dan waris barat/sipil. Menurut hukum waris islam adalah hukum Syariah yang dianut oleh masyarakat islam, sedangkan hukum waris perdata dianut kelompok masyarakat Eropa dan China. serta hukum waris adat adalah hukum yang efektif jangka panjang dalam masyarakat yang sebagian besar masih berada di kekuatan dalam masyarakat Tidak tertulis dalam kegiatan sehari-hari, tetapi masih hidup, dan hukum waris adat berlaku untuk kelompok masyarakat adat Indonesia.[2]

Dalam menentapkan landasan bagi hukum waris Islam, juga ditetapkan untuk hukum waris umum (Hukum waris Barat dan Hukum waris adat), yang menjelaskan tentang hak waris almarhum. Dalam hukum Islam, hukum waris memiliki kedudukan yang sangat penting. Hal ini dapat dimaklumi, karena masalah waris merupakan sesuatu yang akan dihadapi setiap orang, dan masalah waris sangat mudah menimbulkan perselisihan antara ahli waris atau pihak ketiga. Masalah-masalah yang berkaitan dengan warisan dan masalah lain yang dihadapi umat manusia telah dijelaskan dalam Alquran dan surat As-Sunnah secara jelas dan terperinci, serta tidak bisa dirubah oleh siapapun.

Masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut Islam telah menganggap hukum waris Islam adalah suatu hukum yang baik. Akan tetapi, dapat menciptakan persengketaan, contohnya sengketa antara ahli waris utama dengan ahli waris pengganti. Penanganan persoalan warisan islam dapat dipecahkan dan menjadi kewenangan pengadilan agama.[3] Tertuang pada pernyataan melalui penjabaran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagimana sudah direvisi pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama diterangkan mengenai tupoksi Pengadilan Agama khusus untuk menyelesaikan masalah waris bagi warga yang menganut agama Islam dengan dilandaskan pada hukum kewarisan Islam. Dasarnya telah tercakup pada Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, setiap orang pasti akan mengalami suatu peristiwa, yaitu peristiwa hukum yang biasa disebut kematian. Apabila terjadi seseorang meninggal dunia menjadi penyebab adanya kasus hukum pada saat yang bersamaan,[4] yaitu bagaimana mengurus dan melanjutkan hak dan kewajiban almarhum. Hukum waris mengatur penyelesaian hak dan kewajiban yang disebabkan oleh peristiwa hukum yang disebabkan oleh kematian seseorang. Hukum waris Islam pada dasarnya berlaku untuk Muslim dimanapun di dunia. Namun, karakteristik masyarakat yang mayoritas beragama Islam pada suatu wilayah memberikan pengaruh pelaksanaan hukum waris di wilayah tersebut. Dampak ini terbatas dan tidak dapat melampaui cakupan utama hukum waris Islam. Hal ini mempengaruhi hasil ijtihad atau metode para ahli hukum Islam sendiri.[5]

Pada kenyataannya bidang kewarisan mengalami perkembangan yang berarti, disebabkan oleh kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan pola pemikirannya bisa berubah sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman. Diantaranya hukum kewarisan Islam yang mengalami perkembangan adalah dengan adanya ahli waris pengganti. Perkembangan tersebut bersamaan dengan adanya Kompilasi Hukum Islam lewat Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam untuk melengkapi hukum-hukum yang sudah ada dan juga mempunyai tujuan untuk memenuhi rasa keadilan bagi ahli waris. Waris pengganti pada dasarnya ialah ahli waris karena penggantian yakni orang-orang yang menjadi ahli waris kerena orang tuanya yang memiliki hak memperoleh warisan meninggal terlebih dulu dari pewaris, sehingga ia maju menggantikannya.[6] Dengan demikian, bagian ahli waris pengganti sejumlah bagian ahli waris yang digantikannya. Oleh sebab itu, ahli waris pengganti sebaiknya dikembangkan dalam hukum kewarisan Islam. Hal tersebut tidak akan menimbulkan kerugian bagi ahli waris yang lain.

Diantara upgrade-nya hukum kewarisan Islam dalam Kompilasai Hukum Islam (KHI) yaitu beralihnya warisan seseorang yang meninggal kepada ahli waris atau keturunannya. Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam menerangkan aturannya sebagai berikut :

  1. Meninggalnya ahli waris terlebih hulu dibandingkan pewaris, posisinya bisa digantikan oleh ahli waris pengganti atau anaknya, selain seseorang yang ada di Pasal 173.
  2. Bagian ahli waris harus lebih besar dibanding bagian ahli waris pengganti.

Pasal itu menunjukkan dua ayat dimana mempunyai makna untuk ahli waris pengganti eksistensinya agar mendapat perlindungan secara hukum. Namun, ketentuan tersebut tidak secara detail menentukan suatu bagian tertentu yang akan didapat bagi seorang ahli waris pengganti serta tidak juga menetapkan apakah seluruh atribut yang melekat pada ahli waris yang diganti tersebut diturunkan juga pada ahli waris yang menggantikannya. Disamping itu, pasal tersebut belum jelas ketetapan untuk ahli waris garis lurus ke bawah (nubuwwah), ataukah garis lurus ke atas (ubuwwah), serta untuk garis ke samping (ukhuwwah) juga. Dengan demikian, akan ada kemungkinan muncul persoalan pengganti ahli waris yang tidak dapat diterima pada keputusan surat hak waris.

Berdasarkan asal mula penelitian terkait pelaksanaan Pasal 185 KHI, bahwa seorang perempuan yang bernama almarhumah Mariyah alias Marija binti MARTAJIB (Alm) telah meninggal dunia pada tanggal 26 Desember 2019. Kedua orang tua Almarhumah Mariyah alias Marija binti Martajab (Alm) yang bernama Martajab (kakek) telah meninggal dunia pada tahun 1962 dan Waginah (nenek) telah meninggal dunia pada tahun 1960. Semasa hidup Almarhumah Maryah alias Marija binti Martajab (Alm) menikah dengan seorang laki-laki yang bernama Dul Kohar alias Dul Kahar bin Kawi telah meninggal dunia pada 21 Pebruari 1999 dan dikaruniai empat (4) orang anak yang masing-masing bernama yaitu Urip, Slamet Bidianto, Moch, Syafii dan Nurchasanah. Moch Syafii sebagai anak ketiga terlebih dahulu meninggal dunia. Moch Syafii sendiri mempunyai tiga orang anak. Dalam pembagian warisan pewaris, ketiga anak Moch Syafii berhak memperoleh jatah bagian warisan almarhum ayahnya untuk mengganti posisi ayahnya sebagai ahli waris neneknya.

Dalam menganalisa penelitian ini, penulis menggunakan beberapa instrument kajian literatur terdahulu yang telah ada sebelumnya dan terdapat relevansi dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu dimaksudkan sebagai batu pijakan dan landasan berpikir bagi penulis dalam menjawab persoalan yang ada dalam penelitian ini. Secara garis besar penelitian tentang perlindungan hukum terhadap ahli waris pengganti telah dibahas dalam bentuk jurnal dan buku.

Kajian literatur terdahulu yakni ditulis oleh Zuhro dengan judul “Konsep ahli waris dan ahli waris penganti: Studi putusan hakim Pengadilan Agama”. Dalam tulisan ini diungkapkan bahwa dalam beberapa putusan waris tampak Majelis Hakim yang menyelesaikan perkara waris tanpa sadar, sebagian yang lain ada yang ragu, mengutip pasal tersebut sebagai salah satu aspek pertimbangan hukum majelis hakim dalam menentukan status keahliwarisan para pemohon/ penggugat, sekalipun para pemohon/penggugat itu ialah “ahli waris langsung” dari si pewaris. Dampaknya, diktum putusan yang dikeluarkan tidak terdukung oleh pertimbangan hukum yang benar.

Yang membedakan kajian litaratur terdahulu dengan apa yang diteliti oleh penulis adalah penelitihan terdahulu fokus pada kedudukan, konsep dan bagian yang diterima oleh ahli waris pengganti berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan Islam maupun putusan Pengadilan. Sedangkan penelitian ini mencoba menganalisa seberapa besar perlindungan hukum terhadap ahli waris pengganti berdasarkan hukum Islam.

Sesuai dengan fenomena di atas maka penulis tertarik untuk membahas mengenai perlindungan hukum terhadap ahli waris penganti. Perlu dikaji bagaimana sesungguhnya hukum kewarisan Islam mengatur sistem ahli waris dan perlindungan hukum terhadap ahli waris pengganti, khusunya ahli waris yang merujuk pada kasus ahli waris pengganti yang telah diputuskan pada Penetapan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 1498/Pdt.G/2020/PA.Sda.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan kasus (case approach) yaitu dengan menganalisa dan mengkaji sebuah kasus atau perkara berdasarkan putusan pengadilan. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis deduktif ialah proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dari pembahasan ini mengenai permasalahan yang mempunyai sifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus. Teknik pengolaan bahan hukum dimulai melalui studi pustaka, yakni diawali dengan invetarisasi dengan pengumpulan aturan hukum secara keseluruhan dengan berhubungan pada persoalan utama yang ada. Lalu, melakukan validasi dengan cara melakukan seleksi bahan hukum yang relevan yang selanjutnya dibuat secara guna menentukan bahan hukum mana yang harus ditelaah lebih dulu supaya bisa lebih mudah untuk dibaca, dipelajari dan dipahami secara lebih mendalam.

Hasil dan Pembahasan

A.Penetapan Ahli Waris Pengganti dalam Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor 1498/Pdt.5/2020/PA.Sda disesuaikan dengan Kompilasi Hukum Islam

Penelitian terhadap perlindungan hukum terhadap ahli waris pengganti berdasarkan hukum islam dilakukan dengan menenapkan ahli waris pengganti dalam Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor 1498/Pdt.5/2020/PA.Sda yang disesuaikan dengan Kompilasi Hukum Islam. Secara ringkas, duduk perkara pada putusan hakim tersebut dapat penulis kemukakan sebagai berikut :

Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo dengan Nomor 1498/Pdt.5/2020/PA.Sda dengan ini menyatakan Penggugat I (anak kandung laki-laki) berumur 70 tahun, agama Islam, pekerjaan pensiunan, tinggal di Kota Mojokerto. Penggugat II (anak kandung perempuan) umur 58 tahun, agama Islam, pekerjaan guru, tinggal di Kota Mojokerto. Penggugat III (ahli waris pengganti dari anak kandung laki-laki yang almarhum) umur 34 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan swasta, tinggal di Kota Bekasi. Penggugat IV (ahli waris pengganti dari anak kandung laki-laki yang almarhum) umur 24 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan swasta, tinggal di Kota Sidoarjo. Penggugat V (ahli waris pengganti dari anak kandung laki-laki yang almarhum) umur 24 tahun, beragama Islam, pelajar/mahasiswi, bertempat di Kota Sidoarjo menantang tergugat (saudara kandung laki-laki), umur 64 tahun, agama Islam, pekerjaan pensiunan PT XXX yang juga tinggal di Kabupaten Sidoarjo. Penggugat adalah saudara kandung dari tergugat yang digugat perkara warisan pada 20 April 2020, tercatat di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sidoarjo dan telah direvisi pada tanggal 23 Juni 2020 dengan Nomor 1498/Pdt.G/2020/PA.Sda.

Duduk perkara bahwasannya merujuk pada penggugat yang mengajukan gugatan waris terhadap tergugat dengan beberapa alasan sebagai berikut:

  1. Bahwasannya semasa hidup Almh. Mariyah mempunyai harta berupa tanah yang diatas berdiri bangunan sertipikat hak milik No. 278 dengan luas 105 M2 yang berada di Desa Margorejo Wonocolo Surabaya.
  2. Bahwa obyek peninggalan tersebut diatas belum pernah dibagi waris dan para penggugat mohon untuk dibagi masing-masing ahli waris Almh. Mariyah menurut hukum waris Islam / sesuai kaidah hukum yang berlaku.
  3. Bahwa tergugar harus menyerahkan bagian para penggugat dengan cara sukarela dan jika tidak dapat dibagi secara natural maka dapat dinilai dengan uang atau dijual.

Skema Golongan II dan III

Mariyah (x) Dul Kohar (x)

Urip (P1) Nurchasanah (P2)

Slamet (T) Moch. Syafi’I (x)

(P)

Hendry (P3) Hendra (P4) Heny (P5)

Ahli Waris Pengganti

Gambar 1 . Skema Pewarisan

Keterangan:

Mariyah menikah dengan Dul Kohar dan perkawinan ini mempunyai 4 (empat) orang anak, yaitu Urip, Slamet Budianto, Moch. Syafi’i, dan Nurchasanah Hariyati. Dul Kohar meninggal pada 21 Februari 1999 dan Mariyah meninggal dunia pada 26 Desember 2019. Sehingga ahli warisnya adalah Urip, Slamet Budianto, Moch. Syafi’i, dan Nurchasanah Hariyati. Akan tetapi, Moch. Syafi’i meninggal dunia pada tanggal 26 Desember 2012 dan mempunyai 3 (tiga) orang anak, yaitu Hendry Cipta Pratama, Hendra Dwi Prasetyo, dan Henny Tri Wulandari sebagai ahli waris pengganti.

Setelah seorang perempuan (Ibu Para Penggungat atau Pewaris) yang menikah dengan seorang suami (Pewaris) dan mereka telah meninggal dunia, serta dikaruniai 4 (empat) orang anak, 1 (satu) orang anak telah meninggal dengan memiliki 3 (tiga) orang anak dan diantaranya ada 2 (dua) anak laki-laki dan perempuan yang menggugat anak laki-laki lain (saudara kandung yang masih hidup). Semasa hidup Ibu Para Penggugat dan Tergugat mempunyai harta berupa tanah yang diatas berdiri bangunan SHM No. 278 Surat Ukur No. 729/1981 tanggal 24 Februari 1981 Luas ± 105 M2 terletak di Desa Margorejo Blok 17 C, Kecamatan Wonocolo Kota Surabaya, beserta batas-batasnya. Sebelah Utara adalah sungai kecil dan sebelah Timur adalah musholla, dan sebelah Selatan dan Barat adalah rumah tetangga. Harta peninggalan tersebut belum dibagi waris, sehingga Para Penggugat memohon kepada Tergugat untuk menyerahkan bagian dengan sukarela atau bernilai uang dengan cara menjual atau melelang dan hasilnya dibagi sesuai kadar masing-masing menurut Hukum Waris Islam atau Undang-Undang yang berlaku. Akan tetapi, pada hari sidang, Tergugat tidak pernah hadir dan tidak mengutus seseorang untuk mewakilinya dalam persidangan.

Pertimbangan hakim Sebelum memutuskan perkara sengketa ahli waris, Hakim telah memberi nasehat untuk Penggugat memilih jalan damai dengan Tergugat akan tetapi tidak menunjukkan hasil. Lalu Hakim memperhatikan keterangan para saksi yang sudah dewasa dan bersedia disumpah dalam menjelaskan bahwa saksi merupakan tetangga dari Para Penggugat dan mengenal siapa saja keluarganya, selain itu saksi merupakan pembantu Ibu Para Penggugat dari tahun 2010 sampai 2019 hingga meninggal dunia.

Saksi juga mengetahui Ibu Para Penggugat juga disebut Pewaris, karena memiliki rumah di Surabaya (Margorejo 17 C) dan harta yang belum pernah dibagi waris. Sehingga rumah tersebut telah kosong dan pernah disewakan. Yang menjadi pokok perkara Para Penggugat adalah Tergugat tidak bersedia tanda tangan untuk pembagian warisan, sedangkan yang membayar pajak rumah tersebut adalah salah satu dari Para Penggugat. Lantas kemudian. Hakim juga memunculkan realita yang dijadikan fakta hukum terkait tempat atau tanah yang dinyatakan sebagai sengketa telah dilakukan pemeriksaan dan dibantu oleh Pengadilan Agama Surabaya sejak bulan September hingga Oktober 2020.

Berdasarkan realita yang disampaikan, Hakim menyimpulkan bukti adanya sebuah perselisihan untuk sengketa kewarisan disebabkan dari Pewaris yang telah meninggal dunia karena sakit. Lantas kemudian Seorang anak laki-laki Pewaris telah meninggal dunia dan meninggalkan 3 (tiga) ahli waris sebagai ahli waris pengganti. Selain itu, Pewaris dan semua ahli waris beragama Islam dan tidak memiliki catatan kriminal, sebagaimana Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam menjabarkan Pewarisadalah orang yang pada saatmeninggalnyaatau yang dinyatakanmeninggalberdasarkanputusanpengadilanberagama Islam, meninggalkanahliwaris dan hartapeninggalan.” DitambahPasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam mengatakan “Ahli warisatauwaritsun (ahliwarislaki-laki) dan waritsat (ahliwarisperempuan) adalah orang-orang yang mempunyaihubunganpewarisandenganmayit (muwarrits), dan masihhidup pada saatkematianmayit, meskipunsetelahituahliwaristersebutmatisebelumhartawarisandibagi, dan beragama Islam, sertatidakterhalangkarenahukumuntukmenjadiahliwaris”.[7]

Dapat juga disandingkan dengan Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam tentang seseorang yang ditetapkan sebagai ahli waris dan Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam mengenai penentuan ahli waris melalui jalan musyawarah atau damai, agar pembagian warisan menjadi sama rata antara semua ahli waris. Akan tetapi, dalam kasus kewarisan kali ini jalan tersebut tidak terwujud. Penggugat tetap ingin mempertahankan gugatannya, karena Tergugat tidak memberikan alasan atau jawabannya. Dalam pedoman agama Islam bahwa persengketaan warisan adalah tindakan yang tidak disukai oleh Allah SWT, Pertimbangan Hakim juga didasarkan pendapat dari Abdullah bin Abbas RA dalam Al-Hadist, Nabi SAW bersabda:

Bagilahhartawarisan di antara para ahliwaris yang berhakberdasarkan kitab Allah. Adapun sisanyadarihartawarisanmakauntuk orang laki-laki yang berhak”.(HR. Bukahari Muslim).

Merujuk pada hasil pembahasan diatas, maka argumentasi penulis berdasarkan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara persengketaan hak waris tersebut, Penulis memiliki asumsi harga terkait rumah di Surabaya (Margorejo 17 C) dan hartanya bekisar 350 juta rupiah dengan rincian setiap bagian ahli warisnya sebagai berikut:

Urip mendapat 2/7 x 350 juta = 100 juta, Slamet mendapat 2/7 x 350 juta = 100 juta, Moch. Syafi’i (Alm) mendapat 2/7 x 350 juta = 100 juta, dan Nurchasanah mendapat 1/7 x 350 juta = 50 juta. Selanjutnya. 100 juta milik Moch. Syafi’i (Alm) dibagi 5 (jumlah Pengunggat), sehingga anaknya yaitu Hendry mendapat 2/5 x 100jt = 40 juta, Hendra mendapat 2/5 x 100jt = 40 juta, dan Heny mendapat 1/5 x 100jt = 20 juta.

Analisis pertimbangan hakim merujuk pada apa yang menjadi pertimbangan menjadikan alasan telah terjadinya perselisihan yang menjadi penyebab terjadinya sengketa adalah pilihan terakhir bagi Majelis Hakim, mengingat duduk perkara yang sebenarnya terjadi adalah Tergugat tidak menginginkan warisan dibagi sama rata, dibuktikan dengan pengakuan Penggugat serta saksi-saksi yang menyatakan bahwa Tergugat tidak bersedia bertanda tangan. Sedangkan apabila ditinjau dari segi dasar hukum, Majelis Hakim sudah tepat jika menggunakan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist dalam mengelaborasi pertimbangan putusannya, yang menyatakan bahwa tujuan pernikahan masih belum bisa diwujudkan dalam suatu rumah tangga, sehingga Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat terhadap Tergugat secara Verstek.

Hal ini disebabkan oleh Tergugat yang tidak pernah hadir dalam persidangan, maka Majelis Hakim tidak dapat mengupayakan perdamaian sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Adapun sisi negatif dari diputuskannya gugatan secara verstekadalah Majelis Hakim dianggap terlalu mudah untuk menghilangkan salah satu asas dalam kewarisan yakni jalan damai atau kekeluargaan.

B.Putusan Hakim Nomor 1498/Pdt.5/2020/PA.Sda Berdasarkan Asas Hukum Waris Islam

Apabila ditinjau dari aspek pertimbangannya, maka penggunaan alasan telah terjadinya perselisihan sebagai sebab terjadinya persengketaan hak waris dianggap sudah tepat. Namun apabila ditinjau dari aspek nilai keadilan maka sebenarnya belum memenuhi keadilan prosedural dalam setiap pemeriksaan perkara, karena setiap dalil gugatan yang disampaikan oleh Pemohon kemudian tidak dijawab atau dibantah oleh Termohon, sehingga Majelis Hakim untuk menindaklanjuti perkara ini, dengan menanggapi secara langsung pada tahap pengakuan Termohon yang dianggap pengakuan yang terkwalifikasi karena Termohon mengakui sebagian dari dalil gugatan yang diajukan oleh Pemohon meskipun tidak secara keseluruhan.

Apabila ditinjau dari segi dasar hukum, Majelis Hakim menggunakan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist yang menghasilkan Asas Hukum Kewarisan Islam seperti, 1)Ijbari, 2) bilateral, 3) individual, 4)keadilanberimbang, dan5)akibatkematian.[8]

Hal ini disebabkan oleh Tergugat yang tidak pernah hadir dalam persidangan, maka Majelis Hakim tidak dapat mengupayakan perdamaian sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Adapun sisi negatif dari diputuskannya gugatan secara verstekadalah Majelis Hakim dianggap terlalu mudah untuk menghilangkan salah satu asas dalam kewarisan yakni jalan damai atau kekeluargaan.

Menurut Muhammad Daud Ali terdapat 5 (lima), antara lain :

  1. Asas ijbari, ialah perpindahan kekayaaan yang telah meninggal yang diberikan untuk ahli warisnya, sehingga Ahli waris langsung menerimanya. Asas ini terkadang dijadikan dalil oleh pengacara terkait Pewaris yang meninggal dunia, seketika hartanya langsung ke ahli warisnya. Jika terjadi sengketa, tidak dapat menentukan siapa saja pemilik ahli waris dan jumlah bagiannya. Akan tetapi, belum dikatakan sesuai dengan hukum waris islam, karena masih membutuhkan putusan dari pengadilan agama.
  2. Asas bilateral, merupakan seseorang penerima warisan dari bapak dan ibu. Asas ini tercantum di surat An-Nisa’ ayat 12, dimana baik duda, janda, saudara lakilaki atau saudara perempuannya mewarisi. Selain itu, sesuai dengan hukum waris Islam. Mewaris garis keatas, kesamping atau jika istri masih hidup (janda) maka diberikan kepada itu dan sebaliknya, jika suami masih hidup (duda) maka diberikan kepada ahli warisnya. Namun, jika suami dan istri meninggal dua-duanya, yang sebagai ahli waris pengganti adalah anaknya.
  3. Asas Individual, yaitu warisan dibagi secara otomatis pada setiap individu. Contohnya pada surat An-Nisa’ ayat 11, dimana pembagian kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Asas ini juga sesuai dengan hukum waris Islam, karena asas ini menjelaskan masing-masing ahli waris ditetapkan hak bagian masing-masing dari waris yang sesuai dengan tingkatannya
  4. Asas keadilan berimbang, merupakan ahli waris baik laki-laki ataupun perempuan semuanya berhak mewarisi harta peninggalan yang ditinggal mati oleh pewaris sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 7, yakni bahwa anak laki-laki demikian juga anak perempuan ada bagian harta dari peninggalan ibu bapaknya (al-walidani). Mengenai hak-hak ahli waris baik untuk anak laki-laki dan perempuan maupun suami dan istri terdapat pada ayat 11, 12, dan 176 surat An-Nisa, penjelasannya sebagai berikut:
  1. Ayat 11 dan 12 surat An-Nisa, menentukan bagian laki-laki atau dan perempuan atau ibu memperoleh bagian yang sama pewaris yang meninggalkan anak. Atau pada kasus pewaris kalalah sama-sama mendapat seperenam.
  2. Ayat 176 surat An-Nisa, jatah bagian laki-laki lebih besar dari bagian perempuan, baik antara anak laki-laki dan perempuan maupun dengan saudara laki-laki dan perempuan. kasus lain seperti duda juga mendapat lebih banyak dari bagian janda yaitu seperdua untuk duda yang merawat anak, sedangkan bagi janda yang tidak merawat anak bagiannya hanya seperempat.

Asas keadilan berimbang sesuai dengan hukum waris Islam, karena memberikan hak ahli waris sesuai porsinya. Menjelaskan hak bagian ahli waris menurut hukum Islam. Dimana hak anak laki-laki mendapatkan 2, sedangkan bagian anak perempuan mendapatkan 1. Sehingga apabila di implementasi dengan kasus posisi tersebut, maka memenuhi asas keadilan berimbang yang dibuktikan dengan hak bagian waris dan ahli waris sesuai dengan tingkatan atau derajat ahli warisnya.

Bahwasannya merujuk pada Analisis Penerapan Asas Hukum Islam dengan Putusan Hakim dalam memutuskan perkara hukum waris ini menyatakan bahwa tujuan adanya peninggalan warisan Pewaris yang belum dibagikan Ahli Waris dan apabila masih tidak ada persetujuan dari semua Ahli Waris, maka hal tersebut akan menyebabkan persengketaan hak waris hanya dengan perselisihan melalui jalur hukum yang menjadi jalan keluarnya. Dalam pertimbangan Hakim menerapkan asas keadilan berimbang sebagai dasar hukumnya dianggap tepat, mengingat warisan adalah hak setiap anak untuk mencapai kesejahteraan kehidupannya, sehingga harus dibagi sesuai kadarnya agar dari semua pihak merasa aman dalam waktu yang berkepanjangan. Suami istri yang telah meninggal dunia, warisannya akan beralih ke ahli waris. Sebagaimana menetapkan bagian ahli waris 2/7 dari harta waris bagi anak laki-laki atau Para Pemohon dan 1/7 bagi anak perempuan atau salah satu dari Para Pemohon.[9]

Pembuktian dalam perkara sengketa waris guna membenarkan adanya kejadian persengketaan yang dialami oleh para pihak kepada Hakim. Persoalan sengketa disebabkan dari adanya perselisihan hak waris antara Ahli Waris dan Ahli Waris Pengganti agar menjadi kewenangan Pengadilan Agama, dibuktikan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 junctoPasal 171 (butir b, c, d, dan e) Kompilasi Hukum Islam tersebut yang diterima Pengadilan Agama oleh kejelasan sebab dan akibatnya, ditambahi dengan keterangan dari orang-orang terdekat atau sanak keluarga Para Pemohon yang menunjukkan persengketaan hak waris itu.

Terdapat 6 (enam) poin untuk dapat dikabulkannya suatu gugatan sengketa hak waris yang berdasarkan alasan karena terjadinya suatu perselisihan diantara Ahli Waris, yaitu :

  1. Hakim telah meneliti dan membuktikan adanya perselisihan serta mengetahui bagaimana bentuknya.
  2. Hakim telah meneliti dan membuktikan sebab-sebab terjadinya perselisihan.
  3. Majelis Hakim telah mempertimbangkan sebab perselisihan apakah berpengaruh terhadap kerukunan antar Ahli Waris dan Ahli Waris Pengganti.
  4. Majelis Hakim memperhatikan penjelasan Para Saksi yang telah disumpah, serta berasal dari orang terdekat Para Pemohon.
  5. Majelis Hakim telah memberikan nasehat untuk bisa berdamai sebagi jalan tengah diantara Para Pemohon dan Termohon, tetapi tidak berbuah hasil.
  6. Majelis Hakim dapat membuktikan tidak adanya harapan untuk jalan damai selain jalur hukum.

Fakta yang muncul pada Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo dengan pertimbangan hukumnya, Hakim membuktikan pada penjelasan para saksi, dimana dapat dijadikan syarat sah untuk sebuah perkara persengketaan antara para pihak.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penetapan ahli waris pengganti menurut Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor 1498/Pdt.5/2020/PA.Sda sudah sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam yang tertuang pada Pasal 171 (butir b, c, d, dan e) KHI. Putusan Hakim Nomor 1498/Pdt.5/2020/PA.Sda juga menggunakan asas keadilan berimbang sebagai dasar pertimbangannya, sehingga Majelis Hakim perihal memutuskan sebuah perkara hak waris kali ini, telah mempertimbangkan asas hukum waris Islamnya. Hak bagian ahli waris pengganti ditetapkan sebesar hak bagian ahli waris yang digantikannya. Besarnya hak bagian ahli waris ditetapkan berdasarkan hukum waris islam yaitu laki-laki mendapatkan 2 bagian sedangkan perempuan mendapatkan 1 bagian. Dalam pasal 185 KHI pada ayat (1) terdapat kalimat dapatdigantikan oleh anaknya dan pada ayat (2) terdapatkalimattidakbolehmelebihibagianahliwaris yang sederajatdengan yang digantikan”.

References

  1. A. Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
  2. R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, XXXI. Jakarta: Intermasa, 2003.
  3. P. R. Listyawati and W. Dazriani, “Perbandingan Hukum Kedudukan Ahli Waris Pengganti Berdasarkan Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan Menurut KUHPerdata,” J. Pembaharuan Huk., vol. II, no. 3, pp. 335–344, 2015.
  4. P. Dalam and H. Islam, “Kedudukan Dan Bagian Ahli Waris Pengganti Dalam Hukum Islam,” Lex Soc., vol. 2, no. 8, 2014.
  5. M. Mustofa, “Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam,” Inklusif (Jurnal Pengkaj. Penelit. Ekon. Dan Huk. Islam., vol. 2, no. 2, p. 33, 2017, doi: 10.24235/inklusif.v2i2.1551.
  6. A. Zahari, Hukum Kewarisan Islam. Pontianak: FH Untan Pres, 2008.
  7. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2010.
  8. A. M. Daud, Asas-asas Hukum Islam–Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2000.
  9. D. Zuhroh, “KONSEP AHLI WARIS DAN AHLI WARIS PENGGANTI: Studi Putusan Hakim Pengadilan Agama,” Al-Ahkam, vol. 27, no. 1, p. 43, 2017, doi: 10.21580/ahkam.2017.27.1.1051.